Siapa yang Harus Kita Sembah?
Dulu
saat pengajuan persetujuan karya ilmiah, ada beberapa hal yang harus direvisi.
Satu hal yang biasa terjadi dalam persetujuan skripsi/tesis di perguruan
tinggi. Salah satu yang patut direvisi kata dosen pembimbing adalah penggunaan
kata Tuhan yang harus diganti dengan kata Allah pada halaman motto. Memang,
dalam Islam asma yang galib untuk Tuhan Semesta Alam adalah Allah, namun apakah
harus sebaku itu? Apa bedanya Nabi Muhammad saww dengan Nabi Ahmad saww? Apakah
tidak sama Nabi Ibrahim dengan Prophet Abraham? Apakah tidak sama Allah dengan
Gusti Pangeran? Sebenarnya ini masalah sederhana yang muncul karena perbedaan
bahasa dari daerah/kelompok yang berbeda. Tuhan bagi umat Nabi Musa/Yahudi
disebut dengan Yahweh, Tuhan bagi umat Nasrani, semisal di Indonesia dikenal
sebagai Allah (baca Alah), Brahman bagi umat Hindu, sebutan Gusti Pengeran
dalam bahasa Jawa atau Tuhan dalam bahasa Indonesia. Meski nama-nama tersebut
berbeda namun semua nama itu merujuk pada Dzat yang sama yaitu Tuhan Sang
Pencipta semesta alam.
Menelisik lebih jauh
dengan kacamata ilmu tasawuf terdapat pandangan yang lebih mendalam tentang
siapa itu Tuhan?. Ibn Arabi mengatakan, “Maka berhati-hatilah agar anda tidak
mengikatkan diri kepada ikatan ('aqd) tertentu dan mengingkari ikatan lain yang
mana pun, karena dengan demikian itu anda akan kehilangan kebaikan yang banyak;
sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu yang
sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk
kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta'ala terlalu luas dan terlalu besar untuk
dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: "Kemana pun
kamu berpaling, di situ ada wajah Allah", [Q 2:115] tanpa menyebutkan arah
tertentu mana pun.”
Pandangan Ibn Arabi
di atas dijelaskan oleh Kautsar Azhari Noer sebagai berikut: “Orang yang
menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah
orang yang bodoh karena Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam
kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia
sebenarnya, karena Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui.
Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau
kepercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk
berbagai kepercayaan lain. Padahal Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua
bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berbeda itu adalah satu dan sama.”
Jauh sebelum Ibn
Arabi, hal senada juga diungkapkan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq as, guru spiritual
baik dari jalur Sunni maupun Syiah tentang asma Allah. Hisyam ibn al-Hakam
berkata, suatu kali ketika dia bertanya kepada Imam Ja’far ash-Shadiq tentang
sifat-sifat Allah juga derivasi dari kata “Allah”, Imam Ja’far berkata: “Wahai
Hisyam! Kata “Allah” berasal dari kata “ilah”; Sang Pencipta membutuhkan
eksistensi ciptaan (untuk membuktikan keberadaan-Nya sebagai Pencipta). Ini
adalah kata benda, bukan kata sifat. Siapa yang menyembah (Allah sebagai) nama
tanpa menyembah makna (di balik nama Allah itu), maka ia telah kufur; karena sesungguhnya
ia tidak menyembah apa-apa. Siapa yang menyembah (Allah sebagai) nama sekaligus
sebagai makna, maka iapun telah kufur, karena ia telah menyembah dua
(sesembahan). Hanya ia yang menyembah (Allah sebagai) makna, dan bukan sebagai
nama, yang sesuai dengan tauhid. Sudahkah engkau mengerti wahai Hisyam?” Imam
Ja’far ash-Shadiq melanjutkan, “Ada sembilan puluh sembilan sifat/atribut (yang
dikenakan kepada) Allah. Masing-masing sifat itu sesuai dengan yang
digambarkannya, setiap sifat itu adalah tuhan dengan sendirinya. Tetapi ‘Allah’
adalah suatu makna yang sekali digunakan orang, ia menjadi dikenali dengan
semua sifat itu. Semua itu, wahai Hisyam, dalam pengertian kolektifnya tidaklah
sama dengan Dia Sendiri. Roti adalah (atribut yang dikenakan pada) sesuatu yang
engkau makan. Air adalah (atribut yang dikenakan pada) sesuatu yang engkau
minum. Pakaian adalah (atribut yang dikenakan pada) sesuatu yang engkau
kenakan. Dan api adalah (atribut yang dikenakan pada) sesuatu yang membakar…”.
Secara
sederhana inti penjelasan ucapan Imam Ja’far ash-Shadiq di atas, sebagaimana
dikutip alm. Cak Nur kurang lebih demikian, “Barangsiapa menyembah Allah
sebagai nama, maka ia tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah Allah
sebagai nama sekaligus sebagai makna, maka ia telah syirik. Yang benar adalah
sembahlah Allah sebagai makna.” Jadi Tuhan kita adalah Allah sebagai MAKNA, dan
BUKAN sebagai NAMA. Inilah tauhid yang benar, sebagaimana diungkapkan oleh Imam
Ja’far ash-Shadiq. Karena Tuhan di luar jangkauan pengetahuan manusia dan tidak
dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa manusia, pengetahuan yang benar
dan tertinggi tentang Tuhan adalah pengetahuan dengan "tidak
mengetahui" atau "ketidaktahuan". Pengetahuan seperti ini tidak
dapat diperoleh dengan pikiran, tetapi adalah pemberian Tuhan kepada hamba-Nya
yang telah mempersiapkan diri untuk menerimanya dengan doa dan penyucian.