"Ingin meningkatkan traffic pengunjung dan popularity web anda secara cepat dan tak terbatas...? ...Serahkan pada saya..., Saya akan melakukannya untuk anda GRATIS...! ...Klik disini-1 dan disini-2"

Sabtu, 03 Januari 2015

Siapa yang Harus Kita Sembah?



Siapa yang Harus Kita Sembah? 

Dulu saat pengajuan persetujuan karya ilmiah, ada beberapa hal yang harus direvisi. Satu hal yang biasa terjadi dalam persetujuan skripsi/tesis di perguruan tinggi. Salah satu yang patut direvisi kata dosen pembimbing adalah penggunaan kata Tuhan yang harus diganti dengan kata Allah pada halaman motto. Memang, dalam Islam asma yang galib untuk Tuhan Semesta Alam adalah Allah, namun apakah harus sebaku itu? Apa bedanya Nabi Muhammad saww dengan Nabi Ahmad saww? Apakah tidak sama Nabi Ibrahim dengan Prophet Abraham? Apakah tidak sama Allah dengan Gusti Pangeran? Sebenarnya ini masalah sederhana yang muncul karena perbedaan bahasa dari daerah/kelompok yang berbeda. Tuhan bagi umat Nabi Musa/Yahudi disebut dengan Yahweh, Tuhan bagi umat Nasrani, semisal di Indonesia dikenal sebagai Allah (baca Alah), Brahman bagi umat Hindu, sebutan Gusti Pengeran dalam bahasa Jawa atau Tuhan dalam bahasa Indonesia. Meski nama-nama tersebut berbeda namun semua nama itu merujuk pada Dzat yang sama yaitu Tuhan Sang Pencipta semesta alam. 

Menelisik lebih jauh dengan kacamata ilmu tasawuf terdapat pandangan yang lebih mendalam tentang siapa itu Tuhan?. Ibn Arabi mengatakan, “Maka berhati-hatilah agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan ('aqd) tertentu dan mengingkari ikatan lain yang mana pun, karena dengan demikian itu anda akan kehilangan kebaikan yang banyak; sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu yang sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta'ala terlalu luas dan terlalu besar untuk dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: "Kemana pun kamu berpaling, di situ ada wajah Allah", [Q 2:115] tanpa menyebutkan arah tertentu mana pun.”

Pandangan Ibn Arabi di atas dijelaskan oleh Kautsar Azhari Noer sebagai berikut: “Orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh karena Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, karena Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berbeda itu adalah satu dan sama.”

Jauh sebelum Ibn Arabi, hal senada juga diungkapkan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq as, guru spiritual baik dari jalur Sunni maupun Syiah tentang asma Allah. Hisyam ibn al-Hakam berkata, suatu kali ketika dia bertanya kepada Imam Ja’far ash-Shadiq tentang sifat-sifat Allah juga derivasi dari kata “Allah”, Imam Ja’far berkata: “Wahai Hisyam! Kata “Allah” berasal dari kata “ilah”; Sang Pencipta membutuhkan eksistensi ciptaan (untuk membuktikan keberadaan-Nya sebagai Pencipta). Ini adalah kata benda, bukan kata sifat. Siapa yang menyembah (Allah sebagai) nama tanpa menyembah makna (di balik nama Allah itu), maka ia telah kufur; karena sesungguhnya ia tidak menyembah apa-apa. Siapa yang menyembah (Allah sebagai) nama sekaligus sebagai makna, maka iapun telah kufur, karena ia telah menyembah dua (sesembahan). Hanya ia yang menyembah (Allah sebagai) makna, dan bukan sebagai nama, yang sesuai dengan tauhid. Sudahkah engkau mengerti wahai Hisyam?” Imam Ja’far ash-Shadiq melanjutkan, “Ada sembilan puluh sembilan sifat/atribut (yang dikenakan kepada) Allah. Masing-masing sifat itu sesuai dengan yang digambarkannya, setiap sifat itu adalah tuhan dengan sendirinya. Tetapi ‘Allah’ adalah suatu makna yang sekali digunakan orang, ia menjadi dikenali dengan semua sifat itu. Semua itu, wahai Hisyam, dalam pengertian kolektifnya tidaklah sama dengan Dia Sendiri. Roti adalah (atribut yang dikenakan pada) sesuatu yang engkau makan. Air adalah (atribut yang dikenakan pada) sesuatu yang engkau minum. Pakaian adalah (atribut yang dikenakan pada) sesuatu yang engkau kenakan. Dan api adalah (atribut yang dikenakan pada) sesuatu yang membakar…”. 

Secara sederhana inti penjelasan ucapan Imam Ja’far ash-Shadiq di atas, sebagaimana dikutip alm. Cak Nur kurang lebih demikian, “Barangsiapa menyembah Allah sebagai nama, maka ia tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah Allah sebagai nama sekaligus sebagai makna, maka ia telah syirik. Yang benar adalah sembahlah Allah sebagai makna.” Jadi Tuhan kita adalah Allah sebagai MAKNA, dan BUKAN sebagai NAMA. Inilah tauhid yang benar, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq. Karena Tuhan di luar jangkauan pengetahuan manusia dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa manusia, pengetahuan yang benar dan tertinggi tentang Tuhan adalah pengetahuan dengan "tidak mengetahui" atau "ketidaktahuan". Pengetahuan seperti ini tidak dapat diperoleh dengan pikiran, tetapi adalah pemberian Tuhan kepada hamba-Nya yang telah mempersiapkan diri untuk menerimanya dengan doa dan penyucian.

Mari kita bersuluk mendekati-Nya. Salam Damai Sejahtera :)