"Ingin meningkatkan traffic pengunjung dan popularity web anda secara cepat dan tak terbatas...? ...Serahkan pada saya..., Saya akan melakukannya untuk anda GRATIS...! ...Klik disini-1 dan disini-2"
Tampilkan postingan dengan label Tafsir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tafsir. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 03 Januari 2015

Siapa yang Harus Kita Sembah?



Siapa yang Harus Kita Sembah? 

Dulu saat pengajuan persetujuan karya ilmiah, ada beberapa hal yang harus direvisi. Satu hal yang biasa terjadi dalam persetujuan skripsi/tesis di perguruan tinggi. Salah satu yang patut direvisi kata dosen pembimbing adalah penggunaan kata Tuhan yang harus diganti dengan kata Allah pada halaman motto. Memang, dalam Islam asma yang galib untuk Tuhan Semesta Alam adalah Allah, namun apakah harus sebaku itu? Apa bedanya Nabi Muhammad saww dengan Nabi Ahmad saww? Apakah tidak sama Nabi Ibrahim dengan Prophet Abraham? Apakah tidak sama Allah dengan Gusti Pangeran? Sebenarnya ini masalah sederhana yang muncul karena perbedaan bahasa dari daerah/kelompok yang berbeda. Tuhan bagi umat Nabi Musa/Yahudi disebut dengan Yahweh, Tuhan bagi umat Nasrani, semisal di Indonesia dikenal sebagai Allah (baca Alah), Brahman bagi umat Hindu, sebutan Gusti Pengeran dalam bahasa Jawa atau Tuhan dalam bahasa Indonesia. Meski nama-nama tersebut berbeda namun semua nama itu merujuk pada Dzat yang sama yaitu Tuhan Sang Pencipta semesta alam. 

Menelisik lebih jauh dengan kacamata ilmu tasawuf terdapat pandangan yang lebih mendalam tentang siapa itu Tuhan?. Ibn Arabi mengatakan, “Maka berhati-hatilah agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan ('aqd) tertentu dan mengingkari ikatan lain yang mana pun, karena dengan demikian itu anda akan kehilangan kebaikan yang banyak; sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu yang sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta'ala terlalu luas dan terlalu besar untuk dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: "Kemana pun kamu berpaling, di situ ada wajah Allah", [Q 2:115] tanpa menyebutkan arah tertentu mana pun.”

Pandangan Ibn Arabi di atas dijelaskan oleh Kautsar Azhari Noer sebagai berikut: “Orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh karena Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, karena Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berbeda itu adalah satu dan sama.”

Jauh sebelum Ibn Arabi, hal senada juga diungkapkan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq as, guru spiritual baik dari jalur Sunni maupun Syiah tentang asma Allah. Hisyam ibn al-Hakam berkata, suatu kali ketika dia bertanya kepada Imam Ja’far ash-Shadiq tentang sifat-sifat Allah juga derivasi dari kata “Allah”, Imam Ja’far berkata: “Wahai Hisyam! Kata “Allah” berasal dari kata “ilah”; Sang Pencipta membutuhkan eksistensi ciptaan (untuk membuktikan keberadaan-Nya sebagai Pencipta). Ini adalah kata benda, bukan kata sifat. Siapa yang menyembah (Allah sebagai) nama tanpa menyembah makna (di balik nama Allah itu), maka ia telah kufur; karena sesungguhnya ia tidak menyembah apa-apa. Siapa yang menyembah (Allah sebagai) nama sekaligus sebagai makna, maka iapun telah kufur, karena ia telah menyembah dua (sesembahan). Hanya ia yang menyembah (Allah sebagai) makna, dan bukan sebagai nama, yang sesuai dengan tauhid. Sudahkah engkau mengerti wahai Hisyam?” Imam Ja’far ash-Shadiq melanjutkan, “Ada sembilan puluh sembilan sifat/atribut (yang dikenakan kepada) Allah. Masing-masing sifat itu sesuai dengan yang digambarkannya, setiap sifat itu adalah tuhan dengan sendirinya. Tetapi ‘Allah’ adalah suatu makna yang sekali digunakan orang, ia menjadi dikenali dengan semua sifat itu. Semua itu, wahai Hisyam, dalam pengertian kolektifnya tidaklah sama dengan Dia Sendiri. Roti adalah (atribut yang dikenakan pada) sesuatu yang engkau makan. Air adalah (atribut yang dikenakan pada) sesuatu yang engkau minum. Pakaian adalah (atribut yang dikenakan pada) sesuatu yang engkau kenakan. Dan api adalah (atribut yang dikenakan pada) sesuatu yang membakar…”. 

Secara sederhana inti penjelasan ucapan Imam Ja’far ash-Shadiq di atas, sebagaimana dikutip alm. Cak Nur kurang lebih demikian, “Barangsiapa menyembah Allah sebagai nama, maka ia tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah Allah sebagai nama sekaligus sebagai makna, maka ia telah syirik. Yang benar adalah sembahlah Allah sebagai makna.” Jadi Tuhan kita adalah Allah sebagai MAKNA, dan BUKAN sebagai NAMA. Inilah tauhid yang benar, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq. Karena Tuhan di luar jangkauan pengetahuan manusia dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa manusia, pengetahuan yang benar dan tertinggi tentang Tuhan adalah pengetahuan dengan "tidak mengetahui" atau "ketidaktahuan". Pengetahuan seperti ini tidak dapat diperoleh dengan pikiran, tetapi adalah pemberian Tuhan kepada hamba-Nya yang telah mempersiapkan diri untuk menerimanya dengan doa dan penyucian.

Mari kita bersuluk mendekati-Nya. Salam Damai Sejahtera :)

Rabu, 18 Juli 2012

Download Artikel, Buku, Ebook, Kitab Gratis ... Gerrratis

Masih belum dan terus diupdate ....

Untuk pencarian buku yang lebih cepat, gunakan CTRL F 
 
Bahasa Indonesia
I Love Him, Ikram Abidi : Cerita pendek tentang sejarah pengorbanan Husayn as di Karbala.
Cinta yang Terlambat, Ikram Abidi : Novel kisah cinta beda mazhab
Menuju Persatuan Ummat
Ratib al-Haddad
Kalau Ada Mut'ah Kenapa Harus Pakai Kondom
Tragedi Karbala dan Menjaga Pelbagai Keraguan Tentangnya
Nahjul Balaghah
Doa Kumayl
Bandit Ekonomi, John Perkins
Di Bawah Lindungan Ka'bah,HAMKA
Dari Perbendaharaan Lama, HAMKA
Cerita Anak Cerdas 1, Harun Yahya
Cerita Anak Cerdas 2, Harun Yahya
Dalam Mihrab Cinta, Habiburrahman El Shirazy
Monte Cristo
Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib ra, H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Soal Ujian Teori SIM A, B1, B2, B Umum, C dan D. 500 Prediksi soal ujian teori SIM di Kepolisian Republik Indonesia beserta kunci jawabannya.
Mana Dalilnya 1, Habib Novel bin Muhammad:  berisi tentang dalil-dalil ziarah kubur, peringatan Maulid Nabi dan hari-hari besar Islam lainnya., majelis dzikir berjamaah, majelis khotmul qur’an dan lain-lain.
Taudlihul Adillah IV, KH. Syafi'i Hadzami: 100 Masalah Agama
Argumen Amaliah di Bulan Sya’ban dan Ramadhan, KH. Muhyiddin Abdusshomad:
Amaliah Bulan Rajab
Kesahihan Dalil Talqin, KH. M. Hanif Muslih, Lc.



Bahasa Arab
Jawsyan Kabir  ada terjemahannya, lebih lengkap klik di sini
Saluunii Qabla an Tafquduunii
Rasail al-Junaid:
Majmu' Lathif; Syarh Doa Jaljalutiyah, dll: al-Ghazaly
Ibanah fi Usul al-Diyanah: Abu Hasan al-Asy'ari: konon yang paling sedikit perubahan/tahrifnya tahqiq Fauqiyah Husain Mahmud
Nashifah al-Dzahabiyah li Ibn Taymiyah: Nasihat al-Dzahabi untuk Gurunya Ibnu Taymiyah yang salah.
Kitab al-Furqan fih Itsbaatihi li Tahriif al-Qur'an:كتاب الفرقان ــ فيه إثباته لتحريف القرآن ــ لابن الخطيب المصري الأزهري: Ibn Khatib al-Mishry al-Azhary; Kitab yang membuktikan adanya tahrif al-Quran dari al-Azhar Mesir
al-Ajwibah al-Ghaliyyah fi Aqidah al-Firqah al-Najiyah : الأجوبة الغالية في عقيدة الفرقة الناجية , Habib Zainal Abidin bin Ibrahim bin Smith al-Alawi al-Husaini: berisi jawaban atas amaliyah golongan Ahlusunnah wal Jama’ah yang selama ini dianggap oleh sebagian kelompok kecil umat Islam sebagai amalan yang menyimpang, meski amaliyah tersebut telah dilakukan oleh generasi Islam terdahulu, yaitu para sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, dan terus hingga masa kita sekarang ini. Setiap jawaban disertai dalil Al-Quran, sunnah, atsar sahabat, dan pendapat para imam ahli ijtihad. PDF n Word
Shahih Shifat Shalat an-Nabiy SAW, Hasan Ali Saqqaf
الإعلام بفتاوى أئمة الإسلام حول مولده عليه الصلاة والسلام , Muhammad bin Alwi al-Maliki
Yasin dan Tahlil: untuk semua HP yang mendukung JAVA/ format jar, untuk kalangan umum termasuk yang gak suka bid'ah



Bahasa Inggris
International Jew: Henry Ford
Jewish Ritual Murder: Leese



Bahasa Melayu

Senin, 14 Februari 2011

Kontroversi Kedatangan Imam Mahdi

PENGANTAR
Polemik berita datangnya Imam Mahdi selalu actual untuk diulas dan dibicarakan. Pasalnya, masalah ini hingga kini masih menjadi buah bibir di kalangan kaum muslimin, khususnya kaum pelajar dan intelektual. Ironis memang, tatkala melihat orang yang bukan bidangnya ikut andil terjun menangani kontroversi masalah prinsip ini, sehingga bukannya menyembuhkan, tetapi justru malah meruwetkan masalah.
Beragam komentar pro kontra bermunculan seputar masalah Mahdi di akhir zaman. Betapa banyak para penulis dan penceramah berani menegaskan dengan penuh percaya diri, tanpa ragu sedikitpun: “Hadits-hadits tentang Mahdi seluruhnya palsu, hanya karangan politisi Syi’ah”!![1]. Sebaliknya, tak sedikit juga kalangan yang berkomentar dengan mantap: “Si anu adalah Mahdi yang ditunggu-tunggu”. Padahal dia tidak mengerti ciri-ciri Mahdi yang hakiki.
Melihat fenomena di atas, tentu kita tidak bisa tinggal diam begitu saja, kita harus berani bicara kebenaran dan menepis kebatilan. Alangkah bagusnya ucapan Ali ad-Daqqaqrahimahullah: “Orang yang tidak berani bicara kebenaran adalah syetan yang bisu dan orang yang bicara kebatilan adalah syetan yang bicara”. [2]
.
TEKS DAN TAKHRIJ HADITS
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah merahmatimu- bahwa hadits-hadits tentang datangnya Imam Mahdi banyak sekali, ada yang shahih, hasan, dha’if bahkan maudhu’. Untuk menyeleksinya perlu penelitian ahli hadits. Berikut kami paparkan beberapa contoh hadits yang shahih mengenai kedatangan Imam Al-Mahdi:
Hadits Pertama:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ يَوْمٌ لَطَوَّلَ اللهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ حَتَّى يَبْعَثَ فِيْهِ رَجُلاً مِنِّيْ أَوْ مِنْ أهْلِ بَيْتِيْ يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِيْ وَاسْمَ أَبِيْهِ اسْمَ أَبِيْ يَمْلأُ الأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَجَوْرًا
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya dunia tidak tersisa kecuali tinggal sehari saja, maka Allah akan memanjangkan hari itu sehingga mengutus seorang laki-laki dari keturunanku atau dari ahli baitku, namanya seperti namaku dan nama ayahnya seperti nama ayahku, dia memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi kedhaliman dan penganiayaan”.
Orang yang meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ada dua:
1. Zirr bin Khubaisy
  • Riwayat Abu Daud: 4282, Tirmidzi: 2230, 2231, Ahmad 1/376, 377, 430, 448,Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 10/10213-10230 dan Al-Mu’jam Ash-Shaghir hal. 245, Abu Nuaim dalam Al-Hilyah dan Al-Khatib dalam Tarikh Baghdad.
  • Imam Tirmidzi berkata: “Hasan Shahih”. Imam Adz-Dzahabi menshahihkannya dalam At-Talkhis 4/442 dan disetujui oleh Syaikh Al-Albani.
2. Alqomah (bin Martsyad)
  • Riwayat Ibnu Majah: 4082 dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 4/264.
  • Syaikh Al-Albani berkata: “Sanadnya hasan”.
Hadits Kedua:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه: الْمَهْدِيْ مِنَّا أَهْلَ الْبَيْتِ يُصْلِحُهُ اللهُ فِيْ لَيْلَةٍ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: “Al-Mahdi adalah dari keturunan kami, ahli bait, Allah memperbaikinnya (memberi taufik dan hidayah) dalam sehari”.
Orang yang meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ada dua:
1. Muhammad bin Hanafiyyah
  • Riwayat Ibnu Majah: 4085, Ahmad 1/84, Al-Uqaili dalam Adh-Dhu’afa: 470, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 2/360 dan Abu Nuaim dalam Al-Hilyah 3/177 dari Yasin Al-Ijli dari Ibrahim bin Muhammad bin Hanafiyyah dari ayahnya.
  • Sanad hadits ini hasan. Seluruh perawinya terpercaya kecuali Yasin yaitu Ibnu Syaiban, haditsnya hasan. Namun dia tidak sendirian, dia dikuatkan oleh Salim bin Abu Hafshah (haditsnya hasan) sebagaimana riwayat Abu Nuaim dalamAkhbar Ashbahan 1/170 sehingga hadits ini naik kepada derajat shahih.[3]
2. Abu Thufail
  • Riwayat Abu Daud: 4283, Ahmad 1/99 dengan lafadz seperti hadits Abdullah bin Mas’ud.
  • Syaikh Adzim Abadi berkata dalam Aunul Ma’bud 11/251: “Sanadnya hasan dan kuat”. Dan dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh Al-Albani dalam Takhrij Ahadits Fadhail Syam hal. 44.
Hadits Ketiga:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: الْمَهْدِيْ مِنِّيْ أَجْلَى الْجَبْهَةِ أَقْنَى الأَنْفِ يَمْلأَ الأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا وَ يَمْلِكُ سَبْعَ سِنِيْنَ
Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: “Al-Mahdi adalah dari keturunanku, berdahi lebar dan berhidung mancung, dia memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya terpenuhi dengan kedhaliman dan dia berkuasa selama tujuh tahun lamanya”.
Orang yang meriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri ada dua:
1. Abu Nadhrah
  • Riwayat Abu Daud: 4285 dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/556 dari jalur Imran Al-Qaththan dari Qotadah dari Abu Nadhrah dengannya.
  • Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih menurut syarat Muslim”. Dan disetujui Adz-Dzahabi. Syaikh Al-Albani berkata: “Sanadnya hasan”.
2. Abu Ash-Shiddiq[4]
  • Riwayat Tirmidzi: 2232, Ibnu Majah: 4083, Ahmad 3/21 dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 4/557 dari jalur Zaid Al-‘Ummi dari Abu Ash-Shiddiq.
  • Imam Tirmidzi berkata: “Haditsnya hasan”.
  • Al-Hakim berkata: “Shahih menurut syarat Muslim”. Dan disetujui Adz-Dzahabi dan Al-Albani.
.
Hadits Keempat:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ : الْمَهْدِيْ مِنْ عِتْرَتِيْ مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Al-Mahdi adalah dari keturunanku dari anak keturunan Fathimah”.
  • Riwayat Abu Daud: 4284, Ibnu Majah: 4086, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak4/557, Abu Amr Ad-Dani dalam As-Sunan Al-Waridah fil Fitan: 99-100 dan Al-Uqaili dalam Adh-Dhu’afa: 139, 300 dari jalur Ziyad bin Bayan dari Ali bin Nufail dari Said bin Musayyib dari Ummu Salamah secara marfu’.
  • Syaikh Al-Albani berkata: “Sanadnya jayyid (bagus), seluruh rawinya terpercaya”.[5]
Demikianlah beberapa contoh hadits yang shahih tentang kedatangan Imam Al-Mahdi. Bagi saudara yang ingin memperluas hadits-hadits lainnya, silahkan membaca kitab Al-Idha’ah Lima Kana wa Maa Yakunu Baina Yadai As-Sa’ah oleh Al-Allamah Shiddiq Hasan Khan danAl-Urful Wardi oleh Imam As-Suyuthi. Wallahu A’lam.
1. Haditsnya Mutawatir
Melihat begitu banyaknya hadits tentang kedatangan Imam Mahdi, maka para pakar ilmu hadits menetapkan bahwa hadits-haditsnya mencapai derajat mutawatir, diantaranya adalah Imam Abul Hasan Al-Aaburri[6], as-Sakhawi dalam Fathul Mughits 3/43, asy-Syaukani dalamAt-Taudhih fi Tawaturi Maa Jaa fil Muntadhar wad Dajjal wal Masih[7], Shiddiq Hasan Khan dalam al-Idha’ah hal. 112, As-Saffarini dalam Lawami’ Anwar 2/84, Syaraful Haq Adzim Abadi dalam Aunul Ma’bud 11/243, al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 147, al-Barazanji dalam Al-Isya’ah li Asyrat As-Saa’ah hal. 87, Muhammad Habibullah Asy-Syinqithi dalam Al-Muqni’ Al-Muharrir hal. 30, al-Albani dalam Majalah Tamaddun Islami 22/646 -sebagaimana dalam Maqalat Al-Albani hal. 110-, Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu Fatawanya 4/98-99, dll.
2. Para Ulama Yang Menshahihkan
Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah 4/41 menyebutkan lima belas nama ulama yang menshahihkan hadits-hadits-hadits tentang Mahdi, bahkan sebagian mereka menegaskan tentang kemutawatirannya. Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Ismail menulis sebuah kitab berjudul “Al-Mahdi Haqiqah Laa Khurafah”[8]. Pada hal. 35-36 beliau menyebutkan daftar nama ulama yang menshahihkan hadits-hadits tentang Mahdi, baik para ulama dahulu maupun sekarang:
  1. al-Uqaili
  2. al-Aburri
  3. as-Suhaili
  4. al-Khaththabi
  5. al-Baihaqi
  6. Ibnu Atsir
  7. al-Haitsami
  8. Ibnu Hibban
  9. Ibnul Jauzi
  10. al-Mundziri
  11. Ibnu Taimiyyah
  12. Ibnu Qayyim
  13. adz-Dzahabi
  14. Ibnu Katsir
  15. Ibnul Arabi
  16. ash-Shan’ani
  17. al-Munawi
  18. al-Mubarakfuri
  19. Syamsul Haq Abadi
  20. al-Haitami
  21. al-Ajluni
  22. az-Zurqani
  23. Ibnu Hajar
  24. ash-Shabban
  25. Shiddiq Hasan Khan
  26. as-Sindi
  27. as-Suyuthi
  28. Ali al-Qari
  29. al-Kattani
  30. abu Su’ud
  31. abul Ala’ Iraqi
  32. as-Sakhawi
  33. as-Saffarini
  34. al-Qasthalani
  35. al-Bushiri
  36. al-Kisymiri
  37. Abdur Rahman asy-Syaibani
  38. al-Qurthubi
  39. asy-Syakani
  40. as-Samruzi
  41. Muhammad al-Faasi
  42. Jalaluddin Yusuf
  43. Abu Zaid al-Qasimi
  44. Ahmad Syakir
  45. Abu Abdir Rahman
  46. al-Albani
  47. Abdul Qadir al-Farisi
  48. Muhammad Abu Syuhbah
  49. al-Mar’I Hanbali
  50. Humud at-Tuwaijiri
  51. Muhammad Basyir as-Sahsawani
  52. Abdul Aziz bin Baz
  53. Abdul Qadir Salim
  54. Muhammad Husain Makhluf
  55. Habibullah as-Syinqithi
  56. Sayyid Sabiq
  57. Manshur Ali Nashif
  58. Muhammad Amin as-Sinqithi
  59. Dan masih banyak lagi lainnya.
Barangsiapa yang mencoba untuk menyelisihi mereka, maka hendaknya meletakkan mereka dalam suatu timbangan kemudian meletakkan dirinya dalam timbangan, kemudian bercermin dengan keadilan . Semoga Allah merahmati seorang yang mengetahui kadar dirinya sendiri.
أُوْلَئِكَ آبَائِيْ فَجِئْنِيْ بِمِثْلِهِمْ
إِذَا جَمَعَتْنَا يَا جَرِيْرُ الْمَجَامِعُ

Merekalah orang tuaku, maka datangkanlah padaku semisal mereka
Apabila perkumpulan mengumpulkan kita wahai Jarir.[9]

3. Kesepakatan Ulama
Berdasarkan dalil-dalil yang sangat jelas di atas, maka seluruh ulama terpercaya bersepakat bahwa turunnya Isa kelak di akhir zaman merupakan aqidah Islam yang wajib diimani oleh setiap muslim. Diantara para ulama yang menegaskan kesepakatan tersebut adalah Imam As-Saffarini.dalam Lawami’ul Anwar 2/84, kata beliau: “Iman terhadap kedatangan Mahdi merupakan kewajiban sebagaimana ditetapkan oleh ahli ilmu sehingga dikategorikan termasuk aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah”.
4. Beberapa Kitab Khusus Tentang Al-Mahdi[10]
Begitu seriusnya masalah penting ini, maka sebagian peneliti hadits menulis secara khusus. Diantaranya:
  • Imam Abu Nuaim Al-Ashbahani rahimahullah menulis sebuah kitab berjudul“Akhbar Al-Mahdi” sebagaimana disebutkan Imam Suyuthi dalam Al-Urful Wardi 2/64 -Al-Hawi-.
  • Al-Hafizh Ibnu Abi Khaitsamah rahimahullah mengumpulkan hadits-hadits tentang Al-Mahdi dalam sebuah kitab sebagaimana disebutkan Ibnu Khuldun dalam Muqaddimah Tarikhnya hal. 556.
  • Al-Hafizh Jalaluddin Ash-Suyuthi rahimahullah dalam bukunya yang berjudul“Al-Urful Wardi fi Akhbar Al-Mahdi” telah dicetak bersama Al-Hawi lil Fatawi 2/57.
  • Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menulis risalah khusus tentang Al-Mahdi sebagaimana beliau sebutkan dalam kitabnya An-Nihayah 1/30.
  • Syaikh Ali Al-Muttaqi Al-Hindi rahimahullah memiliki risalah khusus tentang Al-Mahdi sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Isya’ah li Asyrat Sa’ah hal. 121.
  • Syaikh Mula Ali Al-Qari rahimahullah menulis kitab berjudul “Al-Masyrab Al-Wardi fi Madzhab Al-Mahdi” sebagaimana dalam Al-Isya’ah hal. 113.
  • Al-Hafizh Asy-Syaukani rahimahullah dalam risalahnya “At-Taudhih fi Tawaturi Maa Ja’a fi Al-Mahdi wa Dajjal wal Masih”.
  • Al-Allamah Ash-Shan’ani rahimahullah dalam telah mengumpulkan hadits-hadits tentang kedatangan Al-Mahdi sebagaimana disebutkan Shiddiq Hasan Khan dalam Al-Idha’ah hal. 114
  • Syaikh Abdul Alim Abdul Adzim rahimahullah menulis sebuah risalah “Al-Ahadits Al-Waridhah fi Al-Mahdi fi Mizan Al-Jarh wa At-Ta’dil”. Risalah ini adalah referensi yang paling luas tentang Al-Mahdi sebagaimana dikatakan oleh Al-Allamah Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad dalam Majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyyahedisi 45 hal. 323.
  • Syaikh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad rahimahullah dalam risalahnya“Aqidah Ahli Sunnah wal Atsar fi Al-Mahdi Al-Muntahdar” dan “Ar-Raddu ‘ala Man Kadzdzaba bil Ahadits As-Shahihah Al-Waridah fi Al-Mahdi”. Dan keduannya telah tercetak.
.
SYUBHAT PENGKRITIK HADITS
Sangat disayangkan sekali, aqidah mulia ini telah digugat oleh sebagain kalangan, diantaranya adalah Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah dalam Tafsir Al-Manar9/499-504, Muhammad Farid Wajdi rahimahullah dalam Dairah Ma’arif Al-Qarni Al-‘Isyrin10/480, Ahmad Amin rahimahullah dalam Dhuha Islam 3/237-241, Muhammad Al-Ghozalirahimahullah dalam Musykilat fi Thariq Hayat Islamiyyah hal. 139[11], Ust. Umar Hubaisyrahimahullah dalam Fatawa hal. 334-335
Kesimpulan kritikan mereka sebagai berikut:
1. Hadits-haditsnya tidak ada yang shahih
2. Ucapan Imam Ibnu Khuldun
3. Hadits-haditsnya karangan para politisi kelompok Syi’ah
4. Haditsnya tidak diriwayatkan Imam Bukhari Muslim
5. Haditsnya saling bertentangan
6. Membendung para pengaku Mahdi yang dusta
7. Menyebabkan manusia tidak berusaha
.
MENJAWAB SYUBHAT
Sekarang kami mengajak para pembaca untuk mengikuti bersama kami sanggahan atas kritikan-kritikan tersebut:
1. Hadits-haditsnya tidak ada yang shahih
Jawab: Siapakah yang mengatakan demikian?! Apakah mereka ahli hadits?! Ataukah ahli kalam dan filsafat yang tidak mengerti ilmu hadits?!! Tak perlu kita memperpanjang pembicaraan lagi, karena kami kira penjelasan di atas sudah cukup bagi pencari kebenaran[12].
2. Ucapan Imam Ibnu Khuldun
Seringkali para pengkritik berhujjah dengan keterangan Ibnu Khuldun dalam kitabnya yang masyhur itu dan menipu umat dengannya.
Jawab: Alasan ini tidak bisa diterima karena dua sebab:
Pertama: Ibnu Khuldun bukanlah ahli hadits. Oleh karena itulah para pakar hadits mengingkari dan membantah keterangannya tersebut. Diantaranya Al-Allamah Shiddiq Hasan Khan, beliau berkata setelah menukil ucapan Ibnu Khuldun: “Masalahnya tak seperti yang dia terangkan. Dan kebenaran lebih utama untuk diikuti”, Syaikh Adzim Abadi dan Al-Mubarakfuri mengatakan: “Dia jatuh dalam kesalahan dan jauh dari kebenaran”.[13]
Syaikh Al-Allamah Ahmad Syakir rahimahullah berkata:
Ibnu Khuldun tidak faham kaidah ahli hadits “Al-Jarh Muqaddam ‘ala Ta’dil” (Celaan lebih didahulukan daripada pujian). Seandainya dia mengetahui dan memahami kaidah tersebut, niscaya dia tidak akan berucap seperti ini. Atau mungkin dia tahu tetapi sengaja melemahkan hadits-hadits tentang Al-Mahdi karena situasi politik pada masanya”. Kemudian beliau menjelaskan bahwa keterangan Ibnu Khuldun banyak memuat kesalahan[14]”. [15]
Syaikh Al-Albani rahimahullah juga berkata:
Ibnu Khuldun telah melakukan kesalahan yang amat fatal tatkala melemahkan kebanyakan hadits-hadits tentang Mahdi. Hal itu tak aneh, karena memang ilmu hadits bukanlah bidangnya”. [16]
Kedua: Sekalipun Ibnu Khuldun menilai bahwa kebanyakan hadits tentang Mahdi adalah cacat, tetapi beliau tidak melemahkan semuanya. Perhatikan ucapan beliau usai memaparkannya: “Inilah beberapa hadits yang diriwayatkan oleh para imam tentang kedatangan Al-Mahdi di akhir zaman. Sebagaimana anda lihat sendiri tidak ada yang selamat dari cacat kecuali sedikit atau sedikit sekali”.[17]
Oleh karena itulah Imam Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata dalam Ash-Shahihah4/40: “Barangsiapa menisbatkan pada Ibnu Khuldun bahwa beliau melemahkan seluruh hadits tentang Al-Mahdi, sungguh dia telah berdusta baik lupa maupun sengaja”.[18]
3. Hadits-haditsnya karangan para politisi kelompok Syi’ah dan seluruh sanadnya tak luput dari seorang rawi Syi’ah.
Jawaban: Alasan ini sangat rapuh sekali karena:
Pertama: Menyatakan secara mutlak seperti itu tidak benar dan hanya dugaan semata yang tidak ada buktinya karena empat hadits yang telah saya sebutkan di atas, tak ada seorang rawi-pun dalam sanadnya yang dikenal termasuk golongan Syi’ah. Benar, memang ada beberapa hadits tentang Mahdi yang dikarang oleh Syi’ah tetapi para ahli hadits telah menjelaskan secara detail dan terperinci tentangnya sehingga dapat terbedakan. “Adanya hadits-hadits tentang Mahdi yang palsu karena karangan politisi Syi’ah atau sejenisnya tidaklah berarti kita mengingkari hadits shahih tentang Mahdi” sebagaimana dikatakan oleh Ustadz Muhammad Hidhir Husain (Syaikh Al-Azhar dahulu).
Kedua: Taruhlah memang semua hadits tentang Al-Mahdi tak luput dari rawi Syi’ah[19], maka hal itu tidaklah merusak keabsahan hadits karena perselisihan madzhab bukanlah syarat absahnya suatu hadits sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab mustholah hadits. Oleh karenanya, Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari beberapa rawi Syi’ah dan kelompok-kelompok lainnya.[20]
4. Haditsnya tidak diriwayatkan Imam Bukhari Muslim
Jawaban:
Pertama: Apakah hadits-hadits shahih hanya terhimpun dalam Shahih Bukhari dan Muslim saja?!! Tak ada satupun ulama yang mengatakan demikian, karena banyak juga hadits-hadits shahih yang terhimpun dalam kitab-kitab Sunan, Musnad, Mu’jam dan ensiklopedi hadits lainnya. Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Sesunggunya Bukhari dan Muslim tidaklah mengeluarkan seluruh hadits shahih dalam kitabnya. Buktinya keduanya telah menshahihkan beberapa hadits dalam selain kitab shahihnya tersebut sebagaimana Tirmidzi dan lainnya menukil dari Bukhari bahwa beliau menshahihkan beberapa hadits yang tidak ada dalam kitab shahihnya, tetapi dalam kitab sunan”. [21]
Kedua: Sebenarnya dalam Shahih Bukhari Muslim ada beberapa hadits yang memberikan isyarat tentang Al-Mahdi seperti:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا نَزَلَ ابْنُ مَرْيَمَ فِيْكُمْ وَإِمَامُكُمْ مِنْكُمْ؟!
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: “Bagaimana kalian apabila Isa bin Maryam turun pada kalian dan imam kalian dari kalian?!”. [22]
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. قَالَ: فَيَنْزِلُ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ فَيَقُوْلُ أَمِيْرُهُمْ: تَعَالَ صَلِّ لَنَا. فَيَقُوْلُ: لاَ, إِنَّ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ أُمَرَاءُ, تَكْرِمَةُ اللهِ عَلَى هَذِهِ الأُمَّةِ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: Saya mendengar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang berperang di atas al-haq dan tegar (menang) hingga hari kiamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka Isa bin Maryam turun, lalu amir mereka mengatakan: Ayo, majulah menjadi imam shalat kami. Isa menjawab: Tidak, sesungguhnya sebagian kalian adalah pemimpin pada sebagian lainnya, kemulian Allah atas umat ini”.[23]
Al-Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah setelah membawakan beberapa hadits yang banyak sekali dalam kitabnya Al-Idha’ah hal. 144, beliau mengakhirinya dengan hadits Jabir di atas lalu berkomentar: “Memang benar dalam hadits ini tidak ada kata “Al-Mahdi” secara jelas, namun tidak ada maksud lain dari hadits ini dan hadits-hadits sejenisnya melainkan adalah Al-Mahdi yang dinanti-nanti sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits dan atsar yang banyak sekali”.
Hal tersebut karena “hadits itu saling menafsirkan satu sama lainnya”. Diantara hadits yang menjelaskannya adalah sebagai berikut:
عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: يَنْزِلُ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ فَيَقُوْلُ أَمِيْرُهُمْ الْمَهْدِيْ: تَعَالَ صَلِّ لَنَا. فَيَقُوْلُ: لاَ, إِنَّ بَعْضَهُمْ أَمِيْرُ بَعْضٍ, تَكْرِمَةُ اللهِ هَذِهِ الأُمَّةَ
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: “Tatkala Isa bin Maryam turun, amir mereka Al-Mahdi mengatakan: Kemarilah, imami kami dalam shalat. Isa menjawab: Tidak, sesungguhnya sebagian mereka adalah pemimpin atas lainnya, kemulian Allah pada umat ini”. [24]
5. Haditsnya saling bertentangan
Jawaban:
Anggapan ini tertolak karena Ta’arudh (kontradiksi) antara hadits barulah dianggap kalau memang haditsnya sama-sama shahih, tetapi kalau yang satu shahih dan satunya dha’if maka jelas tidak dianggap sebagaimana diketahui oleh setiap orang yang belajar ilmu hadits. Sebagai contoh hadits dari Ummu Salamah di atas: “Al-Mahdi adalah dari keturunanku dari anak keturunan Fathimah”. Dengan hadits Utsman bin Affan secara marfu’:
الْمَهْدِيْ مِنْ وَلَدِ الْعَبَّاسِ عَمِّيْ
Al-Mahdi dari keturunan anak Abbas, pamanku.
  • Bagaimana bisa dipertentangkan, sedangkan hadits Ummu Salamah sanadnya shahih dengan hadits maudhu’ yang diriwayatkan Imam Daruqutni dalam Al-Afrad no. 26, Ad-Dailami 4/84 dan Ibnu Jauzi dalam Al-Wahiyat: 1431 dan pada sanadnya tedapat rawi bernama Muhammad bin Walid Al-Qurasyi, sedangkan dia pendusta.[25]
  • Jadi anggapan kontradiksi tersebut hanyalah muncul dari hadits-hadits yang tidak shahih tentang Mahdi. Sedangkan hadits-hadits yang shahih, maka tiada kontradiksi sedikitpun.

6. Membendung para pengaku Mahdi yang dusta
Jawaban:
Pertama: Sesungguhnya Imam Mahdi yang dikhabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki ciri-ciri yang jelas sebagaimana penjelasan dalam hadits-hadits di atas seperti keluar di akhir zaman, laki-laki, keturunan ahli bait, namanya Muhammad bin Abdullah, berdahi lebar, berhidung mancung, menegakkan agama dan keadilan, dermawan dan shalih, mengimami Isa bin Maryam dalam shalat. Dengan demikian, apabila ada yang mengaku Mahdi sedangkan tidak sesuai dengan ciri-ciri tersebut, maka berarti dia adalah pendusta.
Kedua: Para ulama telah membantah para pengaku Mahdi dusta tersebut[26].  Jadi, benar kami setuju dengan kalian dalam mengingkari para pengaku Mahdi secara dusta sepertiJuhaiman (Saudi Arabia) seperti halnya Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani, seorang dajjal India[27] yang mengaku sebagai Nabi Isa lalu mengaku sebagai Nabi. Namun seperti inikah cara kita membendung para pendusta tersebut?!! Apakah kita mengingkari aqidah yang shahih hanya karena adanya pengaku dusta tersebut?!! Kalau demikian caranya, kita akan bertabrakan dengan kaidah kita sendiri. Coba fikirkan, apa kita juga akan mengingkari adanya ilmu dan ulama karena adanya orang-orang bodoh yang mengaku sok berilmu?!! Dan apabila ada sebagian yang mengaku sebagai Tuhan seperti Fir’aun dan Dajjal, apakah cara membendungnya dengan mengingkari adanya Tuhan?!! Tidak, sekali-kali tidak!! Demikian pula kita beriman tentang Imam Mahdi yang hakiki dan mendustakan para pengaku Mahdi yang palsu.

7. Menyebabkan manusia tidak berusaha
Jawaban:
Kami sependapat dengan kalian dalam mengingkari pemahaman keliru dan khurafat Syetan ini, karena tidak ada keterangan sedikitpun dalam hadits-hadits Mahdi yang mengisyaratkan bahwa kejayaan Islam tidak mungkin digapai sebelum datangnya Mahdi. Namun kalau memang ada sebagian kalangan yang berpemaham keliru seperti itu, apakah caranya dengan mengingkari hadits-hadits shahih tentang Mahdi ataukah dengan memahamkan kepada mereka bahwa faham tersebut keliru tanpa mengingkari hadits shahih tentang Mahdi?!! Tak ragu lagi bahwa cara kedua ini yang benar. [28]

Kesimpulan:
Sesungguhnya keyakinan datangnya Imam Mahdi termasuk aqidah yang ditetapkan dalam hadits-hadits mutawatir yang wajib bagi setiap muslim untuk mengimaninya karena hal itu termasuk perkara ghaib[29], sedangkan beriman dengan ghaib adalah sifat orang-orang yang beriman sebagaimana firman Allah:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ . الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Kitab (Al-Quraan) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (QS. Al-Baqarah: 2-3).
Dan tidak ada yang mengingkari aqidah ini kecuali orang yang jahil atau sombong. Saya memohon kepada Allah agar mewafatkan kita dalam beriman terhadapnya serta aqidah-aqidah shahih lainnya.[30]
.
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

(abiubaidah.com)
[1] Seperti ditegaskan oleh Ahmad Amin dalam Dhuha Islam 3/24.

[2] ar-Risalah Qusyairiyyah hal. 57, ad-Da’ wa Dawa’ Ibnu Qayyim hal. 155.
[3] Lihat Ash-Shahihah no. 2371.
[4]. Dan orang yang meriwayatkan dari Abu Ash-Shddiq banyak sekali, bahkan Al-Albani mengatakan: “Menurut saya hadits ini mutawatir dari Abu Ash-Shiddiq dari Abu Said Al-Khudri. Dan yang paling shahih adalah dua jalur:
Pertama: Auf bin Abu Jamilah. Riwayat Ahmad 3/36, Ibnu Hibban: 1880, Al-Hakim 4/557 dan Abu Nuaim dalam Al-Hilyah 3/101. Al-Hakim berkata: “Shahih menurut syarat Bukhari Muslim” Dan disetujui Adz-Dzahabi dan memang seperti itu.
Kedua: Sulaiman bin Ubaid. Riwayat Al-Hakim 4/557-558 dan berkata: “Sanadnya shahih”. Dan disetujui Adz-Dzahabi dan Ibnu Khuldun. (Lihat Ash-Shahihah 4/40, 2/328).
[5] Silsilah Adh-Dha’ifah al-Albani 1/181.
[6] Nama lengkapnya adalah Abul Hasan Muhammad bin Husain bin Ibrahim bin Ashim as-Sijistani al-Aaburriy. Beliau adalah ahli hadits besar Sijistan setelah Ibnu Hibban dan murid Imam Ibnu Khuzaimah. (Lihat Siyar 16/299 dan Tadzkirah Huffadz 3/954 oleh adz-Dzahabi). Ucapan beliau ini banyak dinukil dan direstui oleh para ulama seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 6/493-494, As-Suyuthi dalam Al-Urful Wardi hal. 81, 83, 84, Al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 228 dan Al-Albani dalam As-Shahihah 5/372/2293.
[7] Sebagaimana dinukil oleh al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 241 dan Al-Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud 11/308.
[8] Sebagaimana dinukil oleh Syaikh Asyraf Abdul Maqshud dalam kitabnya Jinayah Syaikh al-Ghozali Ala Hadits wa Ahlihi hal. 306-308
[9] Diwan Farazdaq 1/418 dan Al-Iidhah fi Ulum Balaghah, Al-Khathib al-Qazwini 1/46. Ini adalah ucapan Farazdaq kepada Jarir bin ‘Athiyah al-Khathafi, keduanya adalah penyair ulung yang saling bersaing dan menjatuhkan sehingga dikumpulkan oleh Abu Ubaidah Ma’mar bin Mutsanna al-Bashri perdebatan mereka dalam kitabnya berjudul Naqaidh Jarir wal Farazdaq, cet Dar Kutub Ilmiyyah. Lihat pula Asy-Syi’ru wa Asyu’ara hal. 309-314 oleh Ibnu Qutaibah.
[10] Lihat Asyrat As-Sa’ah hal. 263 oleh Syaikh Yusuf Al-Waabil, Aqidah Ahli Sunnah wal Atsar fi Al-Mahdi Al-Muntadhar hal. 166-168 oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad dan buku“Menunggu Kedatangan Imam Mahdi, Dajjal, Nabi Isa” oleh Abdul Latif Asyur.
[11] Lihat Asyrat As-Saa’ah hal. 265-266 oleh Syaikh Yusuf al-Wabil dan As-Shahihah 4/42 oleh Al-Albani.
[12] Lihat ash-Shahihah al-Albani 4/42, Al-Adillah wa Syawahid Salim al-Hilali hal. 113)
[13] Aunul Ma’bud 11/243 dan Tuhfatul Ahwadzi 6/402
[14]. Dan Syaikh Ahmad bin Shiddiq Al-Ghumari memiliki kitab yang menjelaskan tentang kesalahan-kesalahan Ibnu Khuldun tentang hadits Mahdi dengan judul “Ar-Raddu Ala Tawahhumi Ibnu Khuldun”. Sebagaimana dalam buku “Menunggu Kedatangan Imam Mahdi, Dajjal, Nabi Isa” oleh Abdul Latif Asyur cet. Darul Nu’man, Kuala Lumpur.
[15] Syarhul Musnad 5/197-198.
[16] Takhrij Ahadits Fadhail Syam: 45 cet. Mkt Al-Ma’arif.
[17] Muqaddimah Tarikh Ibnu Khuldun 1/574.
[18] Lihat pula bantahan menarik  Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dalam risalahnya Aqidah Ahli Sunnah wal Atsar hal. 210-214
[19] Pelu diketahui bahwa Syi’ah dahulu hanya sekedar mengkritk atau melecehkan Utsman bin Affan, Mua’wiyah bin Abu Sufyan, Zubair bin Awam Thalhah dan lain sebagainya tetapi tetap jujur dan bagus hafalannya. (Lihat Mizanul I’tidal 1/118-119 –Biografi Abaan bin Taghlib- oleh Adz-Dzahabi dan Al-Baits Hatsits 1/304 oleh Syaikh Ahmad Syakir).
[20] Lihat Hadyu Saari hal. 459 oleh Ibnu Hajar, Tsamarat Nadhar hal. 86-93 oleh Ash-Shan’ani, Al-Baits Hatsits 1/303 Ahmad Syakir, As-Shahihah no. 396 Al-Albani.
[21] Al-Baits Al-Hatsits 1/106.
[22] HR. Bukhari 2449 Muslim 155.
[23] HR. Muslim 156
[24] HR. Harits bin Abu Usamah dalam Musnadnya. Ibnu Qayyim berkata dalam Al-Manar Al-Munif hal. 147-148: “Sanadnya jayyid (bagus)”. Dan disetujui oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad dalam risalahnya “Al-Mahdi” dan Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2236).
[25] Silsilah adh-Dhaifah no. 80
[26] Dalam Majalah Buhuts Islamiyyah edisi Rajab 1417 H ada sebuah makalah menarik tentang sejarah para pengaku Mahdi.
[27] Supaya diketahui saja bahwa yang menggelari seperti ini adalah Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani. (Lihat Ash-Shahihah 4/252/1683 dan Maqalat Al-Albani hal. 110 oleh Nuruddin Thalib).
[28] Lihat ash-Shahihah 4/42).
[29] Anehnya, dalam Majalah Al-Qudwah edisi 53 Jumadits Tsaniyah 1425 H/2004 M hal. 24-29 mencantumkan sebuah artikel dari Majlis Muthala’ah Dewan Asatidzah Tahdzibul Washiyyah yang menyimpulkan sebuah kesimpulan yang salah fatal, dimana mereka mengatakan: “Semua hadits Mahdi adalah palsu”. “Berita munculnya Imam Mahdi adalah tahayyul dan mempercayainya adalah musyrik”. Hanya kepada Allah-lah kita mengadu atas merajalelanya kajahilan dan kesombongan!! (Lihat Majalah Al Furqon edisi 1/Th. V Rubrik Soal Jawab). Kesimpulan serupa juga dilontarkan oleh Syaikh Abdullah bin Zaid dalam kitabnya La Mahdi Ba’da Isa, yang telah dibantah oleh dua alim besar, Syaikh Humud at-Tuwaijiri dalam kitabnya Al-Ihtijaj bil Atsar ‘ala Man Kadzdzaba al-Mahdi al-Muntadzar, dan Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dalam kitabnya Ar-Radd Ala Man Kadzdzaba bil Ahadits Ash-Shahihah fil Mahdi. Semoga Allah membalas kebaikan beliau berdua.
[30] Majalah At-Tamaddun Al-Islami 22/642-646 sebagaimana dalam Maqalat Al-Albani hal. 110

DbClix


http://www.facebook.com/note.php?note_id=497304083845

Minggu, 13 Februari 2011

Penyaliban Isa al Masih: Sebuah Tafsir

Yesus selama tiga tahun berusaha mengajak Bani Israel untuk memenuhi panggilan Allah, tetapi beberapa orang dari kalangan bangsa Yahudi khususnya Imam Besar Bait Allah berusaha menangkap Yesus dan menghentikan dakwahnya kepada Bani Israel. Menururt Alkitab mereka berhasil menangkap Yesus, memenjarakannya dan menyiksanya hingga kematian di tiang salib. Bermula dari rencana Imam Besar Kayafas untuk menangkap Yesus kemudian di serahkan pada Romawi selanjutnya di hukum, imam-imam Yahudi tidak mengetahui letak di mana persembunyian Yesus, mereka akhirnya mencari orang dekat dari Yesus untuk di bujuk rayu membocorkan identitas Yesus. Yudas Iskariot, salah seorang murid Yesus, akhirnya mau memberi tahu letak posisi Yesus dengan imbalan 30 keping perak.
Karena tidak mengetahui rupa Yesus  dan untuk memberi kode kepada para tentara dari yang menangkap Yesus, maka Yudas memberi kode “menyalami dan mencium Yesus”.  Setelah Yesus di tangkap, ia di seret dan keesokan harinya di salib, para Bani Israel yang menolak dakwah Yesus, memperolok Yesus sampai menanggalkan pakaiannya.Setelah digantungkan pada kayu salib dan meninggal, seorang murid rahasia Yesus yang bernama Yusuf dari Arimatea, anggota Sanhedrin, meminta mayat Yesus dan merawatnya sekaligus menguburnya.

Itulah ilustrasi singkat tentang kehidupan Yesus atau yang oleh umat Islam biasa disebut dengan Isa al Masih dari menjalani profesi nabi hingga penyaliban. Mungkin perbedaan utama dan sentral adalah bermula dari kisah penyaliban ini. Umat Islam meyakini bahwa dia tidak wafat di salib sedangkan umat Kristiani sebaliknya. Sebelum kita amsuk ke dalam ranah sejarah, mari kita lihat dahulu penyaliban versi muslim yang ada di dunia. Ada dua pendapat perihal penyaliban ini, pendapat pertama mengatakan orang lain yang di salib. Sebab yang di tangkap itu adalah seorang murid yang wajahnya di serupakan oleh Yesus dan pendapat kedua yang mengatakan bahwa Yesus disalib tapi tidak sampai wafat. Kedua cabang itu berusaha menafsirkan sebuah ayat Al Quran:
Dan karena ucapan mereka: “Seseungguhnya kami telah membunuh Al Masih Isa putra Maryam, utusan Allah.” Padahal mereka tidak membunuhnya dan menyalibnya, tetapi hanya diserupakan saja bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentangnya benar-benar dalam keragu-raguan tentang itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang itu kecuali mengkuti prasangka belaka, mereka tidak pula yakin telah membunuhnya” (Q.S. An Nisa 157).
Pendapat pertama:
  1. Syaikh Thanthawi Jauhari dalam tafsirnya menerangkan, bahwa yang ditangkap adalah Yudas Iskariot, begitu pula pendapat Sayyid Qutb. (Tafsir Jawahir, Mesir, 1343 H,  Juz II hal 115 dan 117)
  2. Syaikh Muhammad Abduh condong pada pendapat di atas dengan mengatakan, memang Yudas mirip wajah Isa al Masih, seperti pendapat George Sale dalam terjemah dan komentar Al Quran edisi Inggrisnya. (Tafsir Al Manar, Kairo, 1367 & 1374 H, Juz VI hal. 41)
  3. Asy Syaukani hanya mengatakan yang ditangkap dan disalib itu adalah orang yang serupa dengan Nabi Isa, dengan tidak menyebut namanya. (Tafsir Asy Syaukani, Cet.1 1349 H, Juz VI hal 495)
  4. Syaikh Ahmad Mustafa Al Maraghi menerangkan: “Terjadilah keserupaan pada mereka dan mereka menduga telah menyalib Isa, padahal orang lain. Maka keluarlah beliau dari kepungan mereka itu, sedangkan mereka tidak mengetahui. Dan Allah menyelamatkan Isa dari musuh-musuhnya. Dan kita tahu bahwa sesungguhnya tentara Romawi itu tidak mengenal Nabi Isa. (Tafsir Al Maraghi, cet III tahun 1963 M/1382 H. Juz VI hal. 14)
  5. Az-Zamakhasari menerangkan, yang ditangkap dan yang disalib itu adalah seorang yang mengkhianati Nabi Isa, yang wajahnya diserupakan beliau. Sehingga tentaar Romawi mengira bahwa orang itu adalah Nabi Isa. (Al-Kasyasyaf, Al-Intisyarat Aftab, Teheran, 1948M/166 H. Juz 1 hal. 436).
Para penafsir ini menerangkan arti “syubbiha lahum” ialah “khuyyilah ilaihi” dikhayalkan kepadanya. Ibnu Katsir menerangkan beberapa riwayat perihal hal ini:
  • Hadis ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas: “Mereka mengambil pemuda yang persis al Masih yang mereka kira al Masih sendiri, padahal ia naik ke langit.
  • Hadis An Nasai meriwayatkan: yang ditangkap itu seorang murid yang paling muda umurnya.
  • Ibnu Jarir mengatakan, Allah mengubah wajah murid Nabi Isa serupa dengan beliau. Maka murid itu maju mengganti gurunya yang dijanjikan sorga baginya, dan dialah yang ditangkap dan disalib itu.
  • Riwayat Ibnu Ishak mengatakan, orang yang serupa dengan nabi Isa itu namanya Sergius (Tafsir Ibn Katsir, Darul Andalusi Beirut, cet I, 1966 M/1385 H, hal 429-432)
Pendapat kedua mengatakan bahwa Yesus memang di salib, tetapi tidak sampai mati disalib, karena yang disebut menyalib adalah membetangkan di seseorang di kayu salib sebagai hukuman sampai kematiannya di kayu tersebut. Jadi apabila tidak mati, maka tidak dapat di sebut menyalib:
  • Prof. Dr. Hasbullah Bakry, SH: Nabi Isa memang benar telah ditangkap di taman Getsemani dan di bawa ke istana Pilatus dan juga langsung di bawa ke bukit Golgota dan disalibkan di sana tetapi penyaliban ini telah di gagalkan Tuhan, artinya tidak sampai mati. Diserupakan saja kepada mereka seakan-akan Isa sudah mati. Padahal hanya pingsan saja. Kemudian Isa di kuburkan didalam pemakaman Yusuf Arimatea oleh Yusuf sendiri ditemani oleh Nikodemus. Setelah Nabi Isa sadar dari pingsannya, beliau keluar sendiri atau dikeluarkan dari pekuburan itu dengan tidak di ketahui atau dilihat oleh pengawal makam itu. Tipudaya itu ialah syubbiha lahum diserupakan seakan-akan Isa benar-benar sudah mati disalib oleh mereka.
  • Maulana Muhammad Ali: Kalimat ma shalabuhu ini, tak sekali-kali mendustakan disalibnya Nabi Isa pada kayu palang. Kalimat ini hanya mendustakan wafatnya Nabi Isa pada kayu palang sebagai akibat penyaliban…nabi Isa bukan mati pada kayu palang dan bukan pula dibunuh seperti dua penjahat lainnya, melainkan ditampakkan kepada kaum Yahudi, seakan-akan beliau sudah wafat disalib.
  • Mirza Ghulam Ahmad: Karena itu tidak bisa diragukan bahwa Yesus tidak disalibkan dengan pengertian tidak wafat di kayu salib, karena kepribadian beliau tidak patut memikul konsekwensi yang tersirat dari kematian di atas salib. Karena tidak wafat di kayu salib maka beliau terbebas dari implikasi kotor suatu kutukan, serta membuktikan bahwa beliau tidak terangkat ke langit. Kepergian beliau ke langit merupakan bagian dari keseluruhan skema yang merupakan konsekwensi dari konsep pemikiran bahwa beliau wafat di kayu salib.
Itulah tadi perbedaan dari umat Islam dalam menyikapi penyaliban. Banyaknya versi tersebut mengindikasikan bahwa tidaklah mudah untuk mengklarifikasi perihal sebuah kejadian yang berlangsung ribuan tahun yang lalu. Setelah kita membahas beberapa tafsir, mari kita sekarang menengok kepada beberapa dokumen kesejarahan yang ditulis abad-abad awal mengenai hal itu. Beberapa dokumen kesejarahan memang memuat fakta telah terjadi penyaliban terhadap diri Isa al Masih:
1. Dokumen Jewish Antiquities yang ditulis oleh Flavius Josephus (37/38 M-100M)
Di dalam dokumen Jewish Antiquities, khususnya Testimonium Flavianum, disebutkan perihal kejadian tersebut:
Kira-kira pada waktu ini, hiduplah Yesus, seorang yang bijaksana. Sebab dia adalah seorang yang telah melakukan tindakan-tindakan luar biasa, dan seorang guru bagi orang-orang yang telah dengan senang menerima kebenaran darinya. Ia telah memenangkan banyak orang Yahudi dan banyak orang Yunani. Setelah mendengar dia dituduh oleh orang orang-orang terkemuka dari antara kita, maka Pilatus menjatuhkan hukuman penyaliban atas dirinya. Tetapi orang-orang yang mula-mula telah mengasihinya itu tidak melepaskan kasih mereka kepadanya. Dan bangsa Kristen ini, disebut demikian dengan mengikuti namanya, sampai pada hari ini tidak lenyap
2.  Dokumen Mara bar Sarapion (ditulis kira-kira setelah tahun 73 M)
Perbuatan baik apa yang dilakukan orang-orang Athena ketika ia membunuh Sokrates, yang mengakibatkan mereka dihukum dengan bahaya kelaparan dan penyakit menular? Manfaat apa yang diperoleh orang-orang Samian ketika mereka membakar Phytagoras, karena kemudian negeri mereka seluruhnya dikubur pasir dalam sekejap saja? Atau apa keuntungannya ketika orang-orang Yahudi membunuh raja mereka yang arif, karena kerajaan mereka setelah itu direnggut dari mereka Allah telah dengan adil membalas perbuatan-perbuatan jahat yang telah dilakukan kepada tiga orang bijaksana ini. Orang-orang Athena mati kelaparan; bangsa Samian dilanda banjir dari laut; orang-orang Yahudi dibunuh dan diusir dari kerajaan mereka, lalu tinggal di tempat-tempat lain dalam perserakan. Sokrates itu tidak mati; tetapi tetap hidup melalui Plato; begitu juga Phytagoras, karena patung Hera. Begitu juga raja yang bijak itu tidak mati, karena setelah dia tidak ada muncul hukum baru yang ia telah berikan
3. The Passing Pereginus oleh Lucian dari Samosata(115 M-200 M)
“sesungguhnya, selain dia, juga orang yang disalibkan di Palestina karena memperkenalkan kultus baru ini ke dalam dunia, kini masih mereka sembah”
4. Dokumen Tactitus Annals 15: 38-44:
Karena itu, untuk menepis kabar angin itu, Nero menciptakan kambing-kambing hitam dan menganiaya orang-orang yang disebut ‘orang-orang Kristen, yaitu sekelompok orang yang dibenci karena tindakan-tindakan kriminal mereka yang memuakkan. Kristus, dari mana nama itu berasal, telah dihukum mati dalam masa pemerintahan Tiberius di tangan salah seorang prokurator kita, Pontius Pilatus, dan tahyul yang paling merusak itu karenanya untuk sementara dapat dikendalikan, tetapi kembali pecah bukan saja di Yudea, sumber pertama dari kejahatan ini, tetapi juga di Roma, di mana segala sesuatu yang buruk, menjengkelkan dan yang menimbukkan kebencian dari segala tempat di dunia ini bertemu dan menjadi populer

Dari beberapa sumber awal memang disebutkan adanya peristiwa penyaliban. Ada sebuah tafsir oleh Kenneth Cragg dalam menguraikan perihal ayat Al Quran mengenai penyaliban tersebut, walaupun tafsiran itu agaknya kurang populer sehingga jarang dipakai, adapun pendapat dari Cragg tersebut menitik beratkan pada lingusitik dari teks itu. Jika ada ayat yang kurang jelas, maka “skriptura” (kitab) mentafsirkan “skriptura” (kitab). Ini dinamakan pendekatan “canonical context”. Jadi orang perlu mencari naskah-naskah yang mirip dalam struktur pemikirannya di dalam Quran sendiri sebagai konteks kanonik ayat yang mau ditafsir itu. Dan yang didapati oleh Cragg ialah teks Quran yang memuat jawaban Allah atas kebanggaan orang-orang Muslim sesudah perang Badr. Mereka membanggakan diri dengan kemenangan dan kepahlawanan mereka dalam perang itu sehingga Allah memperingati mereka: bukan kamu yang mengalahkan musuh kamu, melainkan Allahlah yang mengalahkan musuh kamu. Kalau garis tafsiran ini mau diterapkan, maka artinya ialah: orang-orang Israel beranggapan bahwa mereka membunuh dan menyalibkan Yesus berkat kuasa dan ketegasan mereka sendiri, tapi itu hanya “diserupakan” bagi mereka, sedangkan sebenarnya mereka hanya alat dalam tangan Allah yang memakai mereka untuk memenuhi rencana-Nya, seperti kaum Muslim di Badr digunakan Allah untuk mengalahkan kaum Mekkah.
Terlihat di sini, Cragg memandang penyaliban Yesus oleh orang Israel sebagai peristiwa yang dikehendaki Allah dengan “menyerupakannya” dalam perbuatan orang Yahudi membunuh Yesus, padahal di balik peristiwa ini (seperti juga di balik perang Badr) Allah-lah pelaku utamanya. Jadi, yang “diserupakan” adalah perbuatan orang Yahudi itu dengan perbuatan Allah sendiri. Orang Yahudi hanya alat ditangan Allah.
Sebenarnya seperti yang saya paparkan diatas, dari peristiwa-peristiwa di kitab suci manapun membuktikan bahwa sangatlah sulit untuk mengetahui kronologis peristiwa yang terjadi beribu tahun yang lalu, sehingga sudut pandang baik itu bersumber dari keagamaan dan kesejarahan adalah bersifat subyektif yang relatif kebenaran sehingga antar pendapat satu dengan lainnya berbeda.

DbClix


http://mygoder.wordpress.com/2007/07/17/penyaliban-isa-al-masih-sebuah-tafsi/

Penganut Budha dan Hindu Adalah Ahlul Kitab

Konsep ahlul kitab dalam sejarah Islam selalu berkembang. Pada masa Nabi, ahlu kitab kerap dikaitkan hanya kepada agama Yahudi dan Nasrani, karena pada masa itu, Nabi Muhammad hanya berinteraksi kepada dua agama besar itu. Tapi, setelah Islam meluas, konsep ahlul kitab juga semakin luas. Beberapa ulama Islam, seperti al-Sahrastani dan al-Baghdadi, menganggap agama lokal Iran (Zoroaster) sebagai ahlul kitab. Di Indonesia, ketika yang dihadapi Islam bukan hanya satu atau dua agama, maka konsep ahlul kitab juga perlu diperbaharui. Menurut Dr. Zainun Kamal, pengajar Pasca-Sarjana IAIN Jakarta, semua agama di Indonesia layak dianggap ahlul kitab. “Budha, Hindu, dan Shinto adalah ahlul kitab,” tegas alumnus Universitas al-Azhar, Mesir itu kepada Nong Daral Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu. Berikut petikannya:
Sebenarnya, bagaimana konsep ahlul kitab dalam Islam?
Secara bahasa, ahlul kitab adalah orang yang mempunyai kitab. Artinya orang yang mengikuti kitab suci yang diturunkan kepada salah seorang nabi. Secara singkat, ahlul kitab bisa diartikan orang yang mempercauyai salah satu nabi dan percaya kepada kitab suci, entah itu Yahudi atau Nasrani.
Dalam Alquran, kata ahlul kitab kerap kali ditujukan kepada Yahudi dan Nasrani. Apakah memang hanya dua agama ini saja yang layak disebut sebagai ahlul kitab?
Sebenarnya kalau kita melihat kitab-kitab tafsir atau buku-buku sejarah Islam, pengertian ahlul kitab tersebut tidak terbatas pada Yahudi atau Nasrani. Mengapa yang sangat populer adalah Yahudi dan Nasrani, karena dua agama ini memiliki penganut yang cukup besar. Padahal, asalkan sudah percaya kepada nabi dan percaya adanya kitab suci yang diturunkan kepada salah satu nabi, itu sudah bisa disebut ahlul kitab.
Artinya, kalau dikontekstualisasikan kepada lima agama yang diakui secara resmi di Indonesia, agama-agama selain Islam juga bisa disebut ahlul kitab?
Kita lihat dulu secara makro. Pemahaman klasik, misalnya menurut Imam Abu Hanifah, dan saya juga membaca al-Baghdadi dalam bukunya, al-Farq bayna al-Firaq. Al-Baghdadai mengatakan bahwa agama Majusi atau Zoroaster yang ada di sekitar Arab juga bisa disebut ahlul kitab. Alasannya karena Zoroaster dianggap sebagai nabi. Bahkan Ibnu Rusyd menyebut Aristoteles juga sebagai seorang nabi.
Kalau dalam konteks Indonesia, agama Budha, agama Hindu, atau agama Konghucu, agama Shinto, menurut Mohammad Abduh, dalam kitab tafsirnya, al-Manar, juga disebut ahlul kitab. Alasannya karena ada kitab sucinya. Dan tentu saja, kitab suci tersebut dibawa oleh seorang nabi. Pengertian nabi di sini diartikan sebagai pembawa pesan moral. Itu dikaitkan dengan ajaran Alquran bahwa “Allah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (fabaatsna likulli ummatin rasula).” Jadi setiap umat itu ada nabinya. Dalam hal agama Budha, bisa dikatakan bahwa Sidharta Gautama adalah seorang nabi yang membawa kitab suci.
Tapi ada yang mengatakan bahwa agama Budha dan Hindhu bukan termasuk ahlul kitab?
Dalam pemahaman klasik, agama Budha, Shinto, dan Hindhu memang diklasifikasikan sebagai agama budaya atau agama ardhi (ciptaan manusia). Persoalannya begini, yang mengatakan agama Budha misalnya, disebut agama budaya (ardhi) itu siapa? Mereka, para penganut Budha, Hindhu dan lain-lain tentu marah bila disebut sebagai penganut agama ardhi (Bumi) Kenapa? Karena orang Budhha pun menganggap dirinya sebagai agama samawi (langit) dan mendapat wahyu.
Di dalam Alquran pun disebut bahwa Allah mengutus seorang rasul pada setiap umat. Juga, dalam ajaran kita, jumlah nabi dan rasul banyak sekali. Menurut riwayat, nabi berjumlah 12 ribuan, sementara rasul berjumlah 300-an. Alquran menyatakan bahwa sebagian nabi diceritakan kepada kita, dan sebagian besarnya tidak diceritakan. Karena itu, bisa saja pembawa agama sebelum Islam pun bisa disebut sebagai nabi. Kenapa? Coba lihat ajaran Budha, tinggi sekali ajaran moralnya. Tanda nabi adalah tingginya pesan moral yang dibawa. Coba lihat tafsir al-Manar jilid 6 yang mengisyaratkan panjang lebar soal ahlul kitab.
Dulu sewaktu saya di pesantren, saya pernah belajar juga di Sumatra Thawalib. Ada kitab al-Mu’in al-Mubin karangan Abdul Hamid Hakim. Dia menyebutkan juga bahwa Budha, Hindhu, Shinto dan sejenisnya disebut sebagai ahlul kitab.
Jadi pengertian ahlul kitab itu sangat luas?
Ya, benar. Bahkan menurut Abu Hanifah; kalau misalnya ada satu lembaran saja, misalnya kitab Zaburnya Ibrahim, orang yang mengimaninya sudah bisa dianggap sebagai ahlul kitab.
Bagaimana Islam menyikapi posisi ahli kitab?
Inilah yang sangat indah dalam konsep Islam dan tidak terdapat dalam agama lain. Sesungguhnya, kita wajib mempercayai adanya ahlul kitab dan kita wajib pula mempercayai bahwa mereka juga punya seorang nabi. Dengan begitu, kita harus mengakui eksistensi mereka.
Untuk itu, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak hidup secara berdampingan dengan mereka, saling bekerjasama dan tidak ada kendala sama sekali dengan mereka. Dalam Islam, ada konsep dasar untuk mempercayai nabi-nabi terdahulu, dan kurang sempurna iman seorang muslim yang tidak mempercayai kitab-kitab suci yang dibawa nabi-nabi terdahulu. Indah sekali konsep ini.
Artinya, Islam menuntut kita untuk bersikap toleran kepada mereka?
Benar, kita harus toleran dan terbuka. Bahkan dalam perjalanan sejarah, sewaktu syiar Islam sampai di daerah Spanyol, banyak di antara umat Islam yang kawin dengan penduduk asli Spanyol yang beragamag Yahudi dan Kristen. Mereka membangun Spanyol atau Andalusia bersama-sama.
Anda mengatakan Islam sangat toleran dengan ahlul kitab. Tapi, saya membaca beberapa buku yang menyebut bahwa ada sekelompok ahlul kitab yang memusuhi atau merugikan Islam. Bagaimana pandangan Islam dalam hal ini?
Sesungguhnya kalau mereka mengerti kitab-kitab suci mereka, pastilah mereka akan bersikap toleran terhadap agama lain. Seperti juga umat Islam, kalau benar-benar memahami Alquran, mereka pasti akan bersikap toleran terhadap agama lain. Tapi toh ada juga umat Islam yang tidak toleran dengan agama lain karena minimnya pemahaman mereka terhadap kitab suci.
Begitu juga penganut agama lain, juga ada yang tidak toleran. Karena itu, dalam Alquran dikatakan Laisu sawaan min ahlil kitab: yang berarti “Ahlul kitab itu tidak sama.” Karena itu, kita tak boleh berpikiran negatif kepada semua ahlul kitab. Masih ada ummatun qaaimatun yatluuna ayaatillah (suatu ummat yang membaca dan memahami ayat Tuhan siang dan malam, bersujud kepada Tuhan dan beriman kepada Allah dan hari Akhir). Ya’muruuna bil ma’ruf wa yanhauna anial- munkar (yang menyeru kepada kebaikan dan menjauhi kemungkaran). Orang seperti ini akan dijamin oleh Allah masuk surga.
Jadi, ujung-ujungnya adalah bagaimana kita bisa menjalankan ajaran kita sendiri sehingga kita bisa berbuat baik kepada penganut agama lain?
Sebelum kita menjalankan, kita harus memahami benar-benar ajaran kita. Banyak orang yang rajin sekali menjalankan ritual-ritual agamanya, tapi tidak memahami substansi ajaran kitab sucinya. Karenanya, perlu pemahaman dan penghayatan secara mendalam, sehingga dapat terefleksikan dalam perbuatan.
Kita melihat dalam kenyataan bahwa dalam setiap agama selalu ada klaim agamanyalah yang paling benar? Menurut Anda?
Soal claim of truth adalah hal yang lumrah. Misalnya Yahudi menolak klaim agama Kristen yang datang sesudahnya. Juga ada orang Nasrani yang menganggap agamanyalah yang paling benar ketimbang Islam yang datang belakangan. Kita juga kadang-kadang seperti itu juga. Artinya, kita tidak mau mengakui yang lain dan merasa kita yang paling benar. Itu wajar sekali. Kita mengklaim kebenaran ada di pihak kita. Yang paling penting adalah, pada saat kita mengklaim kitalah yang paling benar, kita harus memiliki alasan dan argumentasi yang logis. Alquran mengatakan: Fa’tu burhanakum in kuntum shadiqin (berilah argumen kalian jika kalian merasa benar).
Karena itu, barangkali kita bisa duduk dalam meja bundar dan kita bisa berdialog secara terbuka. Karena kita menolak yang lain, kadang-kadang kita menutup dialog dan tidak mau melihat kebenaran di pihak lain.
Bagaimana dengan persoalan fikih, misalnya soal perkawinan dengan ahlul kitab? Ada yang mengatakan bahwa sekarang ini, sudah tidak ada lagi yang namanya ahlul kitab?
Soal boleh tidaknya menikah antara laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab, masalah ini bisa dilihat dalam Alquran surat al-Maidah (5) ayat 5. Di sana secara tegas dan qathiy disebutkan halal menikah dengan perempuan ahlul kitab. Sementara kalau seorang perempuan muslimah menikah dengan laki-laki ahlul kitab, masih terjadi perdebatan di antara ulama. Ini karena soal ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam Alquran.
Jadi soal al-Maidah ayat 5, tidak ada khilafiah di antara ulama. Ini jelas boleh karena para sahabat banyak yang melakukan pernikahan dengan wanita ahlul kitab. Misalnya Usman dan Thalhah pernah kawin dengan wanita Yahudi dan Nasrani. Contoh yang sekarang adalah Yaser Arafat, pemimpin PLO Palestina, juga menikah dengan seorang wanita Kristen. Dan dosen-dosen saya di Universitas al-Azhar Mesir banyak yang menikah dengan perempuan non-Islam.
Kemudian mengenai anggapan bahwa sekarang tidak ada lagi ahlul kitab. Benarkah ini? Orang Nasrani sudah melakukan penyimpangan semenjak abad keempat masehi. Kitab suci mereka sudah mengalami perubahan sejak sebelum Islam muncul pada abad ketujuh masehi. Dalam Alquran dikatakan bahwa orang Nasrani sudah percaya kepada trinitas pada waktu Alquran turun. Walaupun mereka sudah percaya kepada trinitas, Alquran tetap meminta umat Islam untuk percaya kepada ahlul kitab. Meskipun mereka sudah menyimpang, mereka tetap dipanggil dengan sebutan ahlul kitab. Karena itu tidak ada perbedaan substansial dalam istilah ahlul kitab pada masa nabi dengan sekarang. Karena mereka tetap percaya kepada nabi-nabi dan kitab suci.
Singkatnya, orang-orang non-Islam sekarang bisa disebut ahlul kitab karena mereka masih mengakui adanya nabi dan kitab suci?
Yang tidak dibolehkan adalah menikahi orang musyrik. Coba lihat al-Baqarah ayat 22. Dalam ayat itu jelas-jelas disebutkan “jangan menikahi wanita-wanita musyrik.” Musyrik di sini adalah kaum musyrik Mekkah, karena mereka sama sekali tidak percaya adanya nabi-nabi dan kitab-kitab suci yang diturunkan kepada nabi mereka. Dalam Alquran, dari awal hingga akhir ada tiga golongan yang disebut: pertama, ahlul iman yang spesifik menunjuk kepada pengikut Muhammad, kedua, ahlul kitab dan ketiga, musyrik.
Karena itu, Alquran membedakan antara ahlul kitab dengan kaum musyrik. Dalam surah al-Bayyinah, Alquran menegaskan: “bukanlah ahlul kitab orang-orang musyrik.” Ini menunjukkan perbedaan substansial antara keduanya. Karena itu, Alquran melakukan pembedaan kategoris antara keduanya.

DbClix


http://mygoder.wordpress.com/2008/01/09/penganut-budha-dan-hindu-adalah-ahlul-kitab/