"Ingin meningkatkan traffic pengunjung dan popularity web anda secara cepat dan tak terbatas...? ...Serahkan pada saya..., Saya akan melakukannya untuk anda GRATIS...! ...Klik disini-1 dan disini-2"

Minggu, 18 Mei 2008

Din-i-Ilahi: Pemikiran Politik Keagamaan Sultan Akbar The Great

Oleh: Khy's Dihya Ghulam


PENDAHULUAN
Membicarakan India pada masa kejayaan Islam tak lepas dari sejarah dinasti Mughal (1526-1720). Begitu pula membicarakan dinasti Mughal tak lepas dari masa kejayaannya pada masa Sultan Akbar (1560-1605). Pada masa kekuasaan Akbar, India terdiri dari beberapa kelompok agama. Hindu sebagai mayoritas penduduk India, Islam dengan setengah bagian Sunni dan lainnya Shi’i. Selain itu juga ada Sikh, Jain, Kristen, serta Zoroaster/ Parsee.1 Dalam masa inilah muncul gagasan dari Akbar yang selalu dibicarakan dalam sejarah Islam, terutama dalam kawasan India. Din-i-Ilahi,2 istilah yang digunakan mayoritas ahli sejarah adalah produk pemikiran Akbar yang ditentang oleh sebagian kelompok umat Islam waktu itu.
Dalam makalah ini penulis tertarik untuk mencoba membahas sedikit seluk beluk Din-i-Ilahi, meski dengan minimnya referensi yang ada.

PEMBAHASAN
A.Sekilas tentang Akbar
Abd al-Fath Jalāl al-Dīn Muhammad Akbar dilahirkan Hamida Banu Begum di rumah Rana Virsal di Amarkot (Distrik Thar dan Parkar di Sindh) pada tanggal 15 Oktober 1542, ketika ayahnya Humayun (Sultan Mughal II) melakukan ekspedisi melawan Thatta dan Bhakkar. 8 Desember kemudian, Akbar dibawa lari Hamida ke kota Jun, tempat kemah Humayun, 75 Mil dari Amarkot dikarenakan bawahan Humayun bertengkar dengan Rana Virsal. Beberapa bulan kemudian ditengah perjalanan ke Persia untuk meminta bantuan, Humayun diserang oleh saudaranya, Askari. Merasa tak siapa menerima kedatangan saudaranya, Humayun melarikan diri beserta isterinya dan meninggalkan Akbar. Akbar yang berusia 1 tahun itu kemudian dibawa Askari ke Kandahar.
Di Persia Humayun meminta bantuan Shah, yang kemudian menyerang dan menguasai Kandahar dari genggaman Askari pada bulan September 1545. Pada tanggal 15 November, Humayun menguasai Kabul dari tangan Kamran, saudaranya. Kemudian Humayun mengirim utusan untuk mengambil Akbar dari Kandahar dan membawanya ke Kabul. Pertama kali melihat ibunya setelah sekian lama terpisah, Akbar yang berusia 3 tahun segera mengenal dan melompat ke pangkuannya. Bulan Maret 1546, Akbar pertama kali muncul di publik pada saat upacara khitan.
Pada Bulan November 1547, Akbar memulai masa pendidikannya pada umur 5 tahun. Dalam proses pendidikan, Akbar gagal diajarkan baca-tulis karena lebih tertarik pada olahraga dan hewan peliharaan, seperti unta, kuda, anjing serta merpati. Meski Akbar memiliki memori (ingatan) yang istimewa, ia tidak tertarik untuk belajar alfabet. Akbar lebih tertarik menjadi ksatria penunggang kuda, atau petarung lainnya. Sebagai seorang ayah, Humayun yang berlatar belakang akademis sering menasehati Akbar untuk belajar namun teguran tersebut tidak dihiraukan.3 Walau demikian, Akbar meniru sifat kakek dan ayahnya yang sangat suka mendengarkan orang-orang yang menuntut ilmu.4
Pada tanggal 27 Januari 1556 Humayun meninggal karena jatuh dari tangga perpustakaannya di Delhi. Mendengar berita kematian Humayun, Bairam Khan penjaga Akbar memproklamirkan Akbar yang berusia 14 tahun sebagai sultan Mughal pada 14 February 1556.
Pada masa kekuasaannya Akbar memperluas kekuasaan Mughal dari wilayahnya yang asal di Hindustan dan Punjab, Gujarat, Rajasthan, Bihar dan bengal. Ke arah Utara, Akbar merebut Kabul, Kashmir, Sind, dan Baluchistan. Deccan direbut pada tahun 1600.5
Akbar jatuh sakit pada tanggal 3 Oktober 1605 dan bertambah parah disebabkan perselisihan putra Akbar, Salim dan anak Salim, Khusrav yang akhirnya memecah menjadi 2 kubu. 21 Oktober, ketika kondisinya semakin parah Akbar menunjuk Salim sebagai penggantinya dan tengah malam tanggal 25-26 Oktober 1605 Akbar mangkat dan dimakamkan secara islami di Sikandra, lima mil dari Agra.6
B.Latar belakang timbulnya Din-Ilahi
Sebagaimana diketahui, Akbar dilahirkan di lingkungan yang cukup liberal. Ayahnya seorang Sunni, ibunya seorang Persia yang Shi’i, pertama kali menghirup nafasnya, ia berada di rumah seorang pemimpin Hindu. Begitu juga dengan penjaganya, Bairam Khan yang kemudian menjadi perdana menteri pada awal Akbar menjadi sultan, adalah seorang Shi’i, serta salah satu pendidiknya, Abd al-Latif yang mengajarkan Sulh-i-kull (Perdamaian Universal) yang tidak pernah dilupakan Akbar.7
Tak lama setelah Bairam Khan mangkat, beberapa kebijakan ia keluarkan, misalnya penghapusan praktek memperbudak tawan perang serta pemaksaan agama Islam pada mereka, penghapusan pajak masuk ke candi-candi di seluruh daerah kekuasaan Mughal bagi kaum Hindu, serta penghapusan jizyah bagi seluruh non-muslim. Selain itu pada tahun 1575 Akbar mendirikan Ibadat Khana (rumah sembayang) di Fatihpur Sikr. Tempat ini digunakan untuk diskusi keagamaan yang diadakan secara teratur setiap malam Jum’ah dan awalnya tempat ini khusus bagi kaum Islam.8
Saat pertama kali diskusi digelar, terjadi pertengkaran antara pemimpin Sunni, Abd Allah Sultanpur yang bergelar Makhdum-ul Mulk dengan Shaykh Abd al-Nabi, kepala Sadr.9 Peristiwa tersebut menyebabkan Akbar mulai kecewa serta hilang kepercayaannya pada keduanya. Hal ini sampai pada titik klimaksnya (1577) ketika Abd al-Nabi menjatuhkan hukuman mati pada seorang Brahman. Brahman tersebut terdakwa dalam kasus penghinaan Nabi Muhammad saw ketika akan mengambil secara paksa bahan material untuk pembangunan masjid dan menggunakannya untuk membangun candi. Keputusan Abd al-Nabi tersebut menimbulkan protes umum, termasuk juga kalangan istana seperti Abu al-Fadl.10
Akbar yang disusahkan atas kejadian tersebut menceritakan pada Shaykh Mubarak, ayah Abu al-Fadl. Mubarak menjelaskan menurut undang-undang Islam, jika ada pertikaian pendapat antara ahli hukum, maka kepala pemerintahan Islam mempunyai otoritas dan berhak memilih salah satu pendapat. Dari sinilah kemudian disusun sebuah dokumen yang menjelaskan bahwa Akbar mempunyai hak otoritas untuk memilih satu pendapat yang menguntungkan bangsa, jikalau terjadi perselisihan. Selain itu Akbar juga berhak mengeluarkan perintah baru, yang tidak hanya sesuai dengan al-Qur’an, tapi juga menguntungkan bangsa. Dokumen tersebut kemudian ditandatangani oleh ulama-ulama terkemuka dan ahli hukum pada bulan Rajab 987 (Agustus-September 1579).11 Berbekal dokumen tersebut, Akbar kemudian membuka Ibadat Khana tidak hanya untuk kaum Islam, namun seluruh agama yang ada di India. Dengan ikut sertanya non-muslim dalam diskusi agama di Ibadat Khana, maka terjadilah pemberontakan di Jaunpur (1579). Tak lama setelah pemberontakan tersebut dikalahkan, Akbar menyatakan gagasan Din-i-Ilahi atau Tawhid Ilahi (1582).12
Segera setelah diumumkan, Din-i-Ilahi berkembang pesat terutama pada petinggi-petinggi dinasti Mughal.13 Ide ini disebarkan dengan tanpa memaksakan kepada siapa pun. Meski demikian tetap saja bagi kalangan ortodoks Sunni ide-ide tersebut berlawanan dengan pemikiran mereka sehingga timbul pemberontakan-pemberontakan, misalnya di Kabul dsb. Namun pada akhirnya pemberontakan-pemberontakan tersebut berhasil dikendalikan oleh Akbar.14
Sebagaimana diketahui bahwa ide Din-i-Ilahi berpusat kepada pengaruh Akbar, sehingga dengan meninggalnya Akbar maka berakhir pula Din-i-Ilahi. Akbar tidak mengangkat orang-orang yang meneruskan dan mempropagandakan gagasannya. Hal ini diperparah Jahangir, putranya yang tidak melanjutkan Din-i-Ilahi, ia hanya mempertahankan proses sijdah ketika menghadap sultan di istana. Hal ini dikarenakan ia lebih cenderung ke Sunni ortodoks. Lepas dari itu, ia juga tidak memiliki rasa toleransi pada agama-agama lain, sehingga sering terjadi penghancuran candi-candi.15
C.Din-i-Ilahi
Melihat kondisi masyarakat India waktu itu, merupakan sebuah masalah serius bagi seluruh penguasa India bagaimana menemukan basis kesetiaan seluruh kelas yang ada hanya kepada kerajaan. Dalam hal ini Akbar mengetahui dengan pasti tidak dapat memaksakan pemeluk Hindu, misalnya ke agama Islam, begitu pula sebaliknya. Demikian juga memaksakan mereka semua ke sebuah agama yang baru bukanlah sesuatu yang menguntungkan kerajaan. Untuk itulah Akbar mendirikan Din-i-Ilahi, sebuah ideologi pengkultusan sultan (cult of the monarch).16
Dalam Din-i-Ilahi, Akbar mengadopsi ide-ide dari beberapa aliran agama yang ada. Akbar menempatkan dirinya sebagai seorang manusia diatas rata-rata, yang lebih baik dari pemimpin-pemimpin keagamaan waktu itu. Untuk penjelasan akan kebesarannya, Akbar meminjam ide illuminasi dari Shihāb al-Dīn Suhrawardi al-Maqtūl. Disana dijelaskan bahwa seluruh kehidupan yang ada menerima illuminasi tak teratur dari Cahaya diatas cahaya dari Timur atau Tuhan. Setiap manusia mempunyai percikan ketuhanan (divine spark), namun hanya orang yang telah melalui tiga tahap17 yang benar-benar teosufi atau pemimpin zaman, atau yang biasa disebut raja-filosof. Dalam hal ini Akbar, termasuk salah satu dari mereka.18 Selain itu, beberapa aturan Din-i-Ilahi juga diadopsi dari beberapa aliran agama yang ada. Misalnya sijdah yang diambil dari model penyerahan diri murid kepada murshid dari tarikat Chistiyah.19 Begitu juga pantangan makan daging, waktu pengangkatan anggota, dsb. Berikut ini adalah beberapa pokok ajaran Din-i-Ilahi:
1.Cara menjadi pengikut Din-i-Ilahi
Akbar menerima para kandidat pada hari Ahad, ketika matahari bersinar tepat tengah hari. Pertama kali seorang kandidat diperkenalkan Abu al-Fadl, sebagai ulama tertinggi. Kemudian kandidat dengan turban (serban) di tangannya, meletakkan kepalanya di kaki Akbar (sijdah). Akbar kemudian membangunkan kandidat tersebut kemudian meletakkan turban tersebut kembali ke atas kepalanya. Setelah itu Akbar memberikan shast (cincin/ gambar Akbar) yang bertuliskan Nama Tuhan serta kalimat Allah Akbar.
2.Diantara aturan Din-i-Ilahi
a)Para anggota Din-i-Ilahi, ketika berjumpa dengan sesama anggotanya harus mengucapkan Allah Akbar20, dan sebagai jawabnya ialah Jalla Jallaluh. Motif Akbar menetapkan bentuk salam ini adalah untuk mengingatkan manusia agar mereka memikirkan asal kejadiannya, dan menjaga ketuhanan tetap hidup dan selalu diingat.
b)Sebagai ganti dari makanan yang biasa diberikan untuk memperingati seseorang yang telah meninggal, masing-masing anggota harus mempersiapkan makanan selama masa hidupnya. Dengan demikian dia mengumpulkan persiapan untuk perjalanannya yang terakhir.
c)Setiap anggota harus mengadakan pesta pada hari ulang tahunnya dan memberikan sedekah. Dengan demikian ia mempersiapkan bekal untuk perjalanan yang panjang.
d)Setiap anggota harus berusaha tidak memakan daging. Mereka boleh membiarkan orang lain memakan daging tanpa dia sendiri menyentuhnya. Selama bulan kelahirannya mereka tidak boleh mendekati daging. Mereka tidak boleh menggunakan tempat yang sama yang pernah dipakai oleh tukang daging, penangkap ikan serta penangkap burung.
e)Setiap anggota tidak boleh menikahi wanita tua dan gadis-gadis belum akil baligh.
f)Setiap anggota diharapkan untuk mengorbankan harta benda, kehidupan, kehormatan serta agamanya untuk pengabdian kepada sultan.21

PENUTUP

Din-i-Ilahi merupakan upaya Akbar untuk menyatukan berbagai macam agama yang ada di India agar setia kepada Akbar, sultan Mughal III. Dalam Din-i-Ilahi, Akbar mengadopsi beberapa pemikiran agama yang berkembang di India. Untuk menyatakan keagungan Akbar diatas rata-rata manusia, ia mengadopsi pemikiran illuminasi Suhrawardi. Dalam aturan-aturan Din-i-Ilahi, ia mengadopsi ajaran berbagai aliran keagamaan. Sijdah diadopsi dari tarikat Chistiyah, pantangan makan daging yang mungkin diadopsi dari Hindu, Jain, atau proses tahap pertama illuminasi. Larangan menggunakan wadah tukang daging, penangkap ikan, penangkap burung secara tidak langsung diambil dari ajaran Jain, begitu juga waktu pengangkatan anggota dipengaruhi dari ajaran Zoroaster, dsb.
Din-i-Ilahi ini memperoleh dukungan anggota dari petinggi-petinggi dinasti Mughal, meski pada akhirnya Din-i-Ilahi mengalami kegagalan dengan meninggalnya Akbar yang menjadi pusat Din-i-Ilahi. Wa Allāh a’lām

ANTARA TAFSIR ISHĀRĪ DAN TAFSIR BĀTINĪ

Oleh : KHY’S DIHYA GHULAM


PENDAHULUAN

Kecenderungan sufistik adalah salah satu dari banyak kecenderungan mufassir dalam menafsirkan al-Qur’ān. Dalam kategori sufistik inilah muncul adanya tafsir ishārī, penafsiran dengan mengambil isyarat tersembunyi dalam ayat al-Qur’ān. Dalam hal ini Jalāl al-Dīn al-Rūmī mengumpamakan tafsir ishārī dalam prosanya sebagai berikut:
“Qur’an adalah pengantin wanita yang memakai cadar dan menyembunyikan wajahnya darimu. Bila engkau membuka cadarnya dan tidak mendapatkan kebahagiaan, itu disebabkan caramu membuka cadar telah menipu dirimu sendiri, sehingga tampak olehmu ia berwajah buruk. Ia mampu menunjukkan wajahnya dalam cara apapun yang disukainya. Apabila engkau melakukan apa-apa yang disukainya dan mencari kebaikan darinya, maka ia akan menunjukkan wajah yang sebenarnya, tanpa perlu kau buka cadarnya”.1

Dengan demikian, dalam tafsir ishārī seseorang tidak akan dapat memahami dimensi batin al-Qur’ān sebelum melakukan latihan rohani dan mendapatkan karunia Allah.
Dalam makalah ini, penulis akan mencoba untuk membahas seluk beluk tafsir ishārī dan beberapa perbedaannya dengan tafsir sejenisnya, yaitu bātinī.
PEMBAHASAN
ANTARA TAFSIR ISHĀRĪ DAN TAFSIR BĀTINĪ

A.Pengertian
Secara bahasa ishārī berasal dari kata ishārah ( ) berarti tanda, petunjuk (indikasi). Bātinī berasal dari kata bātin ( ) berarti yang samar, tersembunyi.2
Secara istilah, tafsir ishārī menurut Muhammad Husayn al-Dhahabī yaitu menakwilkan ayat-ayat al-Qur’ān pada isyarat-isyarat tersembunyi yang tampak bagi ahli-ahli suluk, yang kadang berbeda dengan arti lahiriah atau bersesuaian dengan arti lahiriah.3 Menurut Subhī al-Sālih tafsir ishārī adalah menakwilkan ayat dengan memadukan aspek lahir dan batin ayat bukan pada arti lahiriahnya. Sedang tafsir bātiniyah menurutnya adalah yang hanya cukup dengan mengambil segi batin al-Qur’an dengan mengabaikan segi lahirnya.4 Sedang dalam buku Manhāj Ibn ‘Atīyah Fī Tafsīr al-Qur’an al-Karīm, tafsir ishārī yaitu mengalihkan lafad al-Qur’ān dari arti lahirnya ke arti lain berupa isyarat atau tanda, dari cara tersebut tampaklah arti yang tidak difahami dari lahir lafad. Selain itu dalam buku ini definisi tafsir ishārī diatas juga termasuk dalam definisi tafsir bī al-qawl al-bātin.5
Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa inti dari tafsir ishārī dan tafsir bātinī adalah mengarahkan kandungan makna dari ayat al-Qur’ān kepada arti terdalam atau isyarat yang tersembunyi, bukan dari arti lahirnya. Adapun perbedaan antara tafsir Ishārī dan Bātinī adalah sebagai berikut:
1.Dari segi pelakunya; tafsir ishārī dihasilkan oleh para sufi, dalam arti orang yang melakukan latihan rohani untuk menyucikan jiwanya yang kemudian mengantarkannya ke suatu tingkat dimana dapat tersingkap isyarat suci dari ayat-ayat al-Qur’ān. isyarat tersebut diilhamkan kedalam hatinya dari curahan gaib (sahb al-ghayb).6 Misal dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm surah al-A’raf ayat 148:


Artinya : “Dan kaum Mūsā, setelah kepergian ke gunung Tūr membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara”.
Tafsirnya, bahwa berhala setiap manusia adalah segala sesuatu yang memalingkan dari Allah, diantaranya keluarga, anak. Mereka tidak bisa suci atau lepas dari berhala tersebut kecuali setelah menghilangkan penyebab-penyebabnya, seperti penyembah anak sapi tidak akan suci kecuali setelah membunuh dirinya.7
Sedang sumber dalam tafsir Bātinī adalah golongan Bātinīyah.8 Secara umum bātinīyah disini merujuk kepada golongan Qaramitah, bagian dari Shī’ah Ismā’īlīyah, yang memperbolehkan pengamalan al-Qur’ān dari segi batinnya saja tanpa mempedulikan aspek lahir ayat.9 Diantara ayat yang menjadi pedoman mereka adalah dalam surah al-A’rāf ayat 157:10


Artinya: ”....dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.....“.
Diantara penafsiran mereka, misalnya dalam surah al-Masad ayat 1:

Artinya : “Binasalah kedua tangan Abu Lahab...”
Tafsirnya adalah Abu Bakar dan Umar.11
2.Dari segi penerimaan arti lahiriah al-Qur’ān; Dalam penafsiran ishārī, seorang sufi tidak melupakan arti lahiriah dari ayat al-Qur’ān. Dengan kata lain mereka menggunakan keduanya. Hal ini dapat dilihat dari sejarah hidup penyusunnya, misalnya, al-Qushayrī membahas dengan model tafsir ishārī, Latāif al-Ishārāt setelah ia mengarang tafsir dengan model eksoteris, berdasar arti lahiriah. Begitu juga dengan al-Sulamī yang menyusun tafsir ishārī Haqāiq al-Tafsīr, menyatakan dalam pendahuluan tafsirnya, ia membahas makna esoteris karena tafsir eksoteris telah banyak ditulis orang.12 Sedang dalam tafsir bātinī, mereka menafsirkan dengan menyalahi dan meninggalkan keseluruhan arti lahiriah.13

B.Eksistensi Tafsir Ishārī
Penafsiran model ini sebenarnya bukanlah sesuatu baru dalam sejarah Islam, bahkan sudah diketahui semenjak al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.14 Hal ini dikarenakan sudah dinyatakan dalam berbagai ayat dalam al-Qur’an, misalnya dalam surah al-Nisa’ ayat 78


Artinya “...Maka mengapa orang-orang ini hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?”
Demikian juga dalam ayat yang ke-82


Artinya “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’ān? Kalau sekiranya al-Qur’ān itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”.


Dalam surah Muhammad ayat 24


Artinya ”Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’ān ataukah hatimu telah terkunci?”.
Beberapa ayat diatas mengisyaratkan bahwa al-Qur’ān memiliki arti lahir dan arti batin. Penunjukan kelemahan manusia dalam memahami al-Qur’ān dan perintah memikirkan (tadabbur) ayat-ayat al-Qur’ān diatas bukanlah untuk memahami arti lahir al-Qur’ān karena mereka adalah kaum Arab yang hampir pasti mengetahui makna lahirnya, namun untuk memikirkan maksud-maksud Allah dalam ayat tersebut, yaitu makna batin.15
Ketidakmampuan sebagian manusia menangkap makna dan isyarat yang terkandung dalam al-Qur’ān tersebut berasal dari hijab-hijab kegelapan yang menutupi hati mereka. Sebaliknya bagi mereka yang beriman kepada yang gaib, ayat-ayat al-Qur’ān adalah sungai-sungai yang mengantarkan mereka kepada samudera yang tak bertepi.16 Sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’ān, surah al-Isra’ ayat 45


Artinya “Dan apabila kamu membaca al-Qur’an niscaya akan Kami jadikan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat suatu hijab yang menutupi.”
Menurut Abū Hāmid Muhammad al-Ghazalī ada empat selubung yang mencegah seseorang untuk memahami segi esoteris al-Qur’ān. Pertama, perhatian berlebihan pada pengucapan ayat-ayat al-Qur’ān; kedua, taqlīd (kepatuhan buta) pada pemikiran tertentu sehingga menghalangi munculnya gagasan baru; ketiga, kotorannya qalb karena banyaknya dosa atau dikuasai oleh nafsu; dan selubung terakhir adalah percaya bahwa satu-satunya penafsiran yang ada adalah penafsiran Ibn Abbās, Mujāhid, dan lainnya.17
Adanya makna batin dalam al-Qur’ān tersebut dikuatkan dengan sabda Nabi saw


Artinya “setiap ayat terdapat arti zāhir dan bātin, dan tiap huruf mempunyai had dan tiap had memiliki matla’.”18
Selain itu ada beberapa riwayat yang menunjukkan adanya penafsiran ishārī oleh beberapa sahabat, yaitu penafsiran Ibn Abbās pada surah al-Nasr, penafsiran Umar pada surah al-Māidah ayat 3, yang mana keduanya menafsirkannya dengan dekatnya ajal Nabi saw.19
Dari sinilah kemudian muncul perbedaan tentang arti zāhir dan bātin dalam al-Qur’ān. Ada yang mengartikan zāhir adalah lafad ayat sedangkan bātin adalah ta’wilnya. Abū ‘Ubaydah -dengan mengkhususkan tentang kisah dalam al-Qur’an- mengatakan zāhir adalah kisah umat-umat terdahulu dan sebab-sebab kehancurannya, sedangkan bātin adalah nasihat bagi kaum sekarang dan ancaman jangan bertindak seperti kaum terdahulu. Namun yang paling mashur adalah pendapat Ibn al-Naqīb yaitu zāhir adalah arti yang tampak dari ayat bagi orang-orang berilmu, sedangkan bātin adalah rahasia-rahasia yang terkandung dalam ayat yang diperlihatkan pada para ahli hakikat.20

C.Kualifikasi Tafsir Ishārī dan Tafsir Bātinī
Mengingat bahwa model tafsir ini menafsirkan ayat al-Qur’ān bukan dari segi arti lahirnya, namun dari segi isyarat/ tanda apa yang ada dibalik ayat tersebut, yang memungkinkan adanya perbedaan persepsi, bahkan kepentingan-kepentingan tertentu yang dibawa atas nama agama. Berangkat dari beberapa alasan diatas, ulama berselisih pendapat apakah penafsiran esoteris bisa diterima atau ditolak. Diantara mufassir yang menolak dan mencela penafsiran al-Qur’ān secara esoteris adalah al-Zamakhsharī.21 Disisi lain, sebagian ulama membolehkan penafsiran esoteris dengan beberapa syarat, misalnya Ibn Qayyim mengajukan empat syarat yaitu : 22
1.Tidak bertentangan dengan makna ayat,
2.Maknanya itu sendiri sahih,
3.Pada lafad yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi (makna isyari) tersebut,
4.Antara makna isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat.
Shātibī menyaratkan dua hal, yaitu:
1.Sesuai dengan bahasa Arab
2.Sesuai atau dikuatkan oleh syara’
Jika salah satu atau keduanya tidak terpenuhi maka penafsiran tersebut batal dan ditolak.23 Menurut Dhahabī tafsir esoteris dapat diterima jika memenuhi empat syarat yaitu:
1.Adanya penafsiran ishārī tersebut tidak menghilangkan tafsiran secara lahir (eksoteris) dalam al-Qur’an,
2.Tafsiran tersebut dikuatkan oleh dalil syara’,
3.Tidak bertentangan dengan syara’ atau akal,
4.Menganggap bahwa tafsir ishārī ini adalah salah satu arti selain arti secara eksoteris, bahkan seharusnya mengetahui dahulu arti eksoterisnya.24
Berdasar dari beberapa pendapat diatas, menurut hemat penulis penafsiran model ishārī boleh diterima dan digunakan dengan syarat, yaitu tidak bertentangan dengan al-Qur’ān dan hadith serta yang kedua, sesuai dengan bahasa Arab. Diantara contoh tafsir ishārī yang ditolak adalah tafsir ishārī ayat 36 surah al-Nisā’ dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm:


Yang ditafsirkan dengan al-qalb, al-tabī’ah, al-aql al-muqtadī bi al-sharīah dan al-jawārih al-mutīah liAllah. Selain itu juga tafsir yang disandarkan pada Ibn Abbās yang ditolak karena sama-sama tidak diketahui dalam kalam Arab adalah ( ) yang ditafsirkan sebagai berikut al-alf adalah Allāh, al-lām adalah Jibrīl sedang al-Mīm adalah Muhammad saw, .....sesungguhnya Allah bersumpah atas nama Diri-Nya, Jibrīl as dan Muhammad as.25
Lepas dari aturan yang ditetapkan sebagian ulama’, kaum sufi sendiri -dengan tanpa meninggalkan aturan shariah- menganggap tafsir esoteris tersebut hanya akan dapat dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Segi batin al-Qur’ān tidak mudah untuk dapat dijangkau dengan ukuran-ukuran lahiriah, dengan kata lain esoterisme mempunyai logika sendiri yang tidak dapat dipahami dengan pendekatan lahiriah semata. Hal ini didasarkan pada kisah pertemuan antara Musa as sebagai lambang eksoteris dan Khidīr as sebagai lambang esoteris, yang selalu berselisih paham dalam menghadapi sesuatu.26
Sedangkan penafsiran yang dilakukan seseorang yang bukan sufi haruslah ditolak, apalagi orang yang mengabaikan arti lahir al-Qur’ān, seperti kelompok Qaramitah yang membolehkan hanya pengamalan arti batinnya saja.

D.Buku-buku Tafsir Ishārī
Kebanyakan buku-buku tafsir ishārī tidak mencakup seluruh ayat al-Qurān, meski secara teori setiap ayat al-Qur’ān mengandung aspek lahir dan batin. Contoh kitab-kitab tafsir ishārī, seperti :
1.Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm karya Abū Muhammad Sahl ibn Abd Allāh al-Tustarī (w.896 M).
Buku ini selain mencakup tafsir ishārī juga mencakup tafsir secara eksoteris.
2.Haqāiq al-Tafsīr karya Abū Abd al-Rahmān Muhammad bin al-Husayn al-Sulamī (w.1021 M).
Buku ini murni model tafsir ishārī, tanpa penafsiran eksoteris sama sekali. Dalam menyusun kitabnya al-Sulamī mengkoleksi ucapan-ucapan hampir seratus para sufi, diantaranya Ja’far al-Sādiq, Dhū al-Nūn al-Misrī, al-Tustarī, Hasan al-Basrī dan sebagainya.
3.Latāif al-Ishārāt karya Abū Qāsim al-Qushayrī (w. 1072 M)
4.Jawāhir al-Qur’ān dan Mishkāt al-Anwār karya Abū Hāmid Muhammad al-Ghazālī (w. 1111 H)
Dalam Mishkāt al-Anwār Ghazālī memberikan tafsir ayat al-Qur’ān, yaitu ayat tentang cahaya (al-Nūr [24]: 35) dan ayat tentang kegelapan (al-Nūr [24]: 40), serta hadis tujuh puluh ribu hijab.
5.‘Arā’is al-Bayān karya Ruzbihān al-Baqlī al-Shīrāzī (w. 1209)
Selain penafsirannya sendiri, dalam buku ini ia banyak mengutip dari karya-karya sebelumnya, terutama dari al-Sulamī dan al-Qushairī.
6.The Book of Certainty karya Abu Bakr Siraj al-Din/ Martin Lings.27

PENUTUP

Secara garis besar tafsir ishārī dan bātinī sama-sama mencoba memahami al-Qur’ān dari sudut batin. Namun ada perbedaan antara keduanya tentang masalah penerimaan arti lahir al-Qur’ān. Bagi kaum sufi dengan tafsir ishārīnya, mereka mencoba untuk menyeimbangkan antara segi lahir dan batin tanpa ada usaha untuk meninggalkan arti lahiriah dari al-Qur’ān, sedang bagi penganut tafsir bātinī mereka meninggalkan arti lahiriah dari al-Qur’ān dan hanya mengambil arti batinnya saja.
Model penafsiran ayat al-Qur’ān ishārī ini tidak lain adalah bentuk usaha manusia untuk mencapai suatu kebenaran. Penilaian akan usaha tersebut adalah sebuah kritik, yang mana baik atau buruknya akan menjadi titik tolak bagi pencarian kebenaran selanjutnya. Wa Allāh a’lām.

BIBLIOGRAFI

Al-Dhahabī, Muhammad Husayn. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn J.II. Tt: Ttp, 1976.
Al-Ghāzalī, Abū Hāmid Muhammad. Ihyā’ al-Ulūm al-Dīn J.I. Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Tth.
Al-Qattān, Manna’ Khālil, Mabāhith fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Tt: Manshūrāt al-Asr al-Hadīth, Tth.
Al-Sālih, Subhī. Mabāhith fi Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Ilm li al-Malāyīn, 1972.
Bakar, Osman. Hierarki Ilmu. Bandung: Mizan, 1998.
Fāyad, Abd al-Wahāb Abd al-Wahāb. Manhāj Ibn ‘Atīyah fi Tafsīr al-Qur’an al-Karīm. Kairo: Maktabah al-Ashrīyah, 1973.
Kazhim, Musa. Tafsir Sufi. Jakarta: Lentera, 2003.
Munawir, Ahmad Warson. al-Munawwir Kamus Bahasa Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Nasr, Seyyed Hossein, ed. Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam J. I. ter. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 2003.
Nasr, Seyyed Hossein. Ideal and Realities of Islam. Cambridge: The Islamic Texts Society, 2001.

End Note

1. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Ideal and Realities of Islam (Cambrigde: The Islamic Texts Society, 2001), 47.
2. Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir Kamus Bahasa Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 93 dan 750.
3. Muhammad Husayn al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn J.II (tt: ttp, 1976), 352.
4. Subhī al-Sālih, Mabāhith fi Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Ilm li al-Malāyīn, 1972), 296-297.
5. Abd al-Wahāb Abd al-Wahāb Fāyad, Manhāj Ibn ‘Atīyah fi Tafsīr al-Qur’an al-Karīm (Kairo: Maktabah al-Ashrīyah, 1973), 186.
6. Manna’ Khālil al-Qattān, Mabāhith fī ‘Ulūm al-Qur’ān (tt: Manshūrāt al-Asr al-Hadīth, tth), 357; Dhahabī, al-Tafsīr, 352.
7. Lihat al-Dhahabī, al-Tafsīr, 382.
8. Fāyad, Manhāj, 186-187.
9. Osman Bakar, Hierarki Ilmu (Bandung: Mizan, 1998), 218.
10. Fāyad, Manhāj, 186-187.
11. Ibid., 187.
12. Habil, Abdurrahman, “Tafsir-tafsir Esoteris Tradisional Al-Qur’an”, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam J. I, ed. Seyyed Hossein Nasr, ter. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 2003), 54.
13. Fāyad, Manhāj, 188.
14. Al-Dhahabī, al-Tafsīr, 353.
15. Ibid.
16. Musa Kazhim, Tafsir Sufi (Jakarta: Lentera, 2003), 103-105.
17. Al-Ghāzalī, Ihyā’ al-Ulūm al-Dīn J.I (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, tth), 335-336.
18. Dikeluarkan al-Firyabī melalui riwayat al-Hasan secara mursal dari Nabi saw. Lihat Al-Dhahabī, al-Tafsīr, 353; lihat juga redaksi lainnya yang senada dalam kitab-kitan hadith.
19. Ibid., 355.
20. Ibid., 354.
21. Penolakan ini lebih dikarenakan faham yang dianutnya yaitu Mu’tazilah yang notabene tidak percaya dengan adanya wali beserta karamahnya. Fāyad, Manhāj, 318.
22. Al-Qattān, Mabāhith, 357-358.
23. Fāyad, Manhāj, 186.
24. Al-Dhahabī, al-Tafsīr, 377.
25. Lihat Ibid., 361-364
26. Nasr, Ideal, 33-34.
27. Habil, Ensiklopedi, 41-46.

SEJARAH SOSIAL KHILAFAH atau IMAMAH

Oleh
Khy’s Dihya Ghulam


Pengantar

Persoalan Imamah, menurut al-Shahrastani, telah menumpahkan darah kaum muslim terbanyak ketimbang perselisihan dalam persoalan prinsip-prinsip agama.1 Persoalan imamah atau khilafah dalam Islam merupakan persoalan pelik yang mungkin dapat terjawab secara memuaskan bagi setiap muslim ketika Tuhan sendiri yang menjawabnya. Persoalan ini dimulai dari wafatnya Nabi Muhammad saw di Madinah. Kemangkatan Nabi saw tidak dapat dielak telah menimbulkan problem serius pada umat Islam yang berumur kurang lebih dua dekade. Persoalan siapa pemimpin selanjutnya yang dapat diandalkan untuk meneruskan dakwah Islam? Apakah ada dasar dalam nas ataukan persoalan ijtihad semata; Apakah Nabi saw telah berwasiat mengangkat seseorang menjadi penerusnya atau tidak? Jika tidak, mengapa?; Bagaimana cara memilih seorang pemimpin umat Islam?; Siapa saja yang diajak dalam bermusyawarah dalam suksesi ini? Apakah keharusan adanya satu khalifah untuk seluruh umat Islam atau tidak? Persoalan-persoalan politik diatas menimbulkan banyak perdebatan, perselisihan bahkan perpecahan umat Islam.
Tak jarang persoalan tersebut menimbulkan dan “memaksa” para sahabat mengeluarkan hadith-hadith, pernyataan-pernyataan, dan kisah-kisah historis yang bertebaran di buku-buku hadith dan sejarah. Dan tidak jarang pula satu peristiwa memiliki banyak versi bahkan saling beroposisi biner. Dari persoalan tersebut muncul perselisihan antara kaum Muhajirin –dalam hal ini adalah suku Quraish- dan Anshar, selanjutnya dalam Ansār sendiri terpecah antara suku Khazraj dan Aus, dan tak lupa dari kalangan ahli bait, klan Hāshim sebagai inti suku Quraish -merupakan kelompok tashayyu’ ‘Ali- yang tidak diajak dalam perundingan Saqifah Banū Sa’idah.
Persoalan ini kemudian merambat meluas ketika terjadi banyak penyimpangan pada masa Uthmān ibn ‘Affān, klan Umayyah yang kemudian berakhir dengan pembunuhan Uthmān yang telah diramal beberapa sahabat Nabi saw. Preseden buruk tersebut semakin diperparah dengan perselisihan kuno –perebutan antara kedua klan suku Quraish dalam hak pemeliharaan Ka’bah- antara ‘Ali ibn Abī Tālib, mewakili klan Hāshim, dengan Mu’awiyah, klan Umayyah yang mempertegas kemunculan Shīah ‘Ali berikut ajaran imamahnya.
Dengan keterbatasannya, makalah ini bertugas menceritakan dan menganalisa implikasi persoalan imamah berabad-abad lalu yang masih diperdebatkan sampai kiamat.
Imamah atau khilafah
Pengertian imamah secara etimologi adalah kepemimpinan. Kata imam turunan dari kata amma yang berarti menjadi ikutan. Kata imam berarti pemimpin atau contoh yang harus diikuti.2 Secara terminologi, imam berarti seseorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agama dan urusan dunia sekaligus.3
Sedang khilafah berarti perwakilan, penggantian atau jabatan khalifah. Khilafah secara umum dapat diartikan pengganti fungsi pembuat syarak, yakni Rasulullah saw sendiri, dalam urusan agama dan urusan politik keduniawian.4
Menurut Abu Zahra, kata imam dan khalifah merupakan dua kata yang bersinonim. Dinamakan khalifah karena ia menjadi pemimpin tertinggi menggantikan peran Nabi saw di dalam mengatur urusan kaum muslimin. Dinamakan imam karena khalifah adalah seorang imam dan menaati seorang imam hukumnya wajib dan orang-orang berjalan di belakang imam laksana mereka yang mengerjakan shalat di belakang orang yang mengimami mereka.5

Detik-detik sebelum Nabi saw wafat

Dari banyaknya riwayat tentang kekhalifahan setelah Nabi saw yang beredar, kaum muslim terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, sekelompok ahli hadith mendukung riwayat penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah setelah Nabi saw. Kedua, jumhur Sunni, Mu’tazilah, dan Khawarij menyatakan bahwa Nabi saw tidak menentukan khalifah setelahnya kepada siapapun. Ketiga, sebagaimana kelompok pertama, ulama Shī’ah mendukung riwayat bahwa Nabi saw menunjuk ‘Ali sebagai penggantinya.
Namun kebanyakan riwayat tersebut cenderung menunjukkan bahwa Nabi saw tidak memberikan petunjuk siapa yang menjadi khalifah setelahnya. Berikut ini sebagian riwayat berkenaan masalah khilafah setelah Nabi saw. Sebelum Nabi saw wafat, ‘Abbās, paman Nabi saw menemui ‘Ali dan berbincang masalah kekhalifahan:
Nabi sedang sekarat! Karena itu, pergi dan bertanyalah kepadanya: jika urusan ini (yaitu, khilafah) menjadi milik kita, ia mungkin akan menyatakannya. Akan tetapi, jika khilafah milik orang lain, setidaknya ia mungkin akan bertindak baik terhadap kita.

Lalu ‘Abbās pergi menanyakan kepada Abū Bakar dan ‘Umar. Dan mereka sepakat bahwa Nabi tidak menyatakan sesuatupun. Segera setelah Nabi saw meninggal, ‘Abbās kembali dan berkata kepada ‘Ali:
Bentangkan tanganmu agar saya dapat memberikan baiat kepadamu sehingga masyarakat akan berkata, “Paman Rasulullah telah membaiat sepupu Rasulullah.” Lalu, keluargamu sendiri akan memberikan baiat dan seluruh masyarakat akan mengikuti ajakan itu.

‘Ali balik bertanya: “Akankah seseorang bertengkar dengan kita mengenai masalah ini (imamah)?”6
Riwayat diatas menunjukkan bahwa Nabi saw wafat tanpa menunjuk seseorang sebagai penggantinya. Selain itu, pada akhir cerita tergambar pendapat ‘Ali bahwa ia lebih disukai dalam masalah khalifah oleh kaum muslim, terutama kaum Ansar, yang bisa dikatakan sebagai pendukung angkatan bersenjata terbesar saat itu. Kaum Ansār lebih menyukai ‘Ali ketimbang semua Muhajirin Quraish karena sifat-sifat kepribadiannya, wawasan agama serta yang terpenting, ikatan kekeluargaan dengan Nabi saw.7
Kecenderungan kaum Ansar pada pribadi ‘Ali, dapat dijawab dengan teori Sosio-Antropologis Bangsa Arab yang diajukan beberapa orientalis. Secara singkatnya menurut teori tersebut, bangsa Arab yang membentuk umat Islam terdiri dari subkultur Arab Selatan dan subkultur Arab Tengah-Utara. Secara umum ciri-ciri subkultur Arab Selatan adalah memiliki sensitivitas religius yang tinggi serta para pemimpinnya dipilih berdasarkan kesucian keturunan (hereditary sanctity). Sedang subkultur Arab Utara-Tengah sangat menghargai keberanian dan kepahlawanan dan pemimpin, umumnya pemimpin dipilih berdasarkan usia dan senioritas. Kaum Ansar sendiri, terdiri dari suku Aws dan Khazraj, berasal dari daerah Arab Selatan yang migrasi ke Madinah.8
Selain itu adapula riwayat yang menceritakan bahwa ‘Ali bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah, siapa orang yang akan diangkat menjadi pemimpin setelah engkau?’ Beliau berkata,
“Kalau kalian mengangkat Abu Bakar sebagai pemimpin, kalian akan mendapatkan dia sebagai orang yang dipercaya (jujur), zuhud dalam urusan dunia, dan serius dalam urusan akhirat. Kalau kalian mengangkat Umar sebagai pemimpin, kalian akan mendapatkannya sebagai orang yang gagah perkasa, jujur dan dipercaya, tidak takut kepada siapapun di jalan Allah. Dan jika kalian mengangkat Ali sebagai pemimpin dan aku tidak melihat kalian mau melakukannya, kalian akan mendapati dia sebagai petunjuk yang akan mengajak kalian ke jalan yang lurus.”9

Riwayat ini juga mendukung bahwa Nabi saw tidak menunjuk seorangpun menjadi penggantinya. Namun yang penting disini adalah pandangan Nabi saw bahwa kepemimpinan ‘Ali yang tidak sepenuhnya disetujui kaum muslim, terutama kaum Quraish. Konon, ada beberapa hal, menurut kaum Quraish, yang menyebabkan mereka menolak kepemimpinan ‘Ali, diantaranya terlalu muda, cenderung bermain-main dalam majlis, keras kepala, suka mencela orang lain.10 Namun menurut ‘Umar, kaum Quraish tidak akan tahan terhadap ‘Ali karena, seandainya ‘Ali berkuasa atas mereka, ia akan berurusan dengan mereka berdasarkan kenyataan pahit.11 Kaum Quraish juga tidak akan menemukan dalam diri ‘Ali kemurahan hati yang akhirnya mereka pasti akan mencabut baiat mereka dan peperangan pun terjadi.12 Selain itu, mereka juga tidak menginginkan nubuwwah dan khalifah bergabung pada klan Hashim.13

Ikhtilāf setelah Nabi saw wafat

Setelah wafatnya Nabi saw tanpa meninggalkan pesan apapun tentang seluk beluk siapa penggantinya yang memegang kekuasaan kaum muslim, para sahabat di Madinah membentuk kelompok-kelompok politik yang berbeda seperti Ansar, Muhajirin, dan klan Hashīm. Masing-masing kelompok itu mempunyai pemimpin sendiri. Ansar dipimpin oleh Sa’ad ibn Ubadah, Muhajirin mendukung Abu Bakar dan Umar, sedang klan Hāshim memberikan dukungan kuat kepada ’Ali. Ansar mengklaim kekuasaan dengan alasan bahwa mereka merupakan bagian terbesar dari angkatan bersenjata muslim. Bahkan mereka menyarankan, sebagai alternatif, agar kedaulatan dibagi dua. Kaum Muhajirin mempertahankan kesatuan umat Islam dan mengklaim kekuasaan dengan alasan bahwa semua orang Arab hanya mau menerima kepemimpinan dari suku Quraish saja termasuk pula nas-nas Nabi saw tentang keunggulan Quraish. Klaim klan Hāshim didasarkan pada kedekatan atau pertalian mereka dengan keluarga Nabi –mengenai klaim berdasarkan nas dibicarakan nanti.14
Secara mendadak kelompok-kelompok tersebut, kecuali klan Hāshim, berkumpul di Saqifah Bani Sa’adah dan mengadakan perdebatan politik. Setelah tarik-ulur dengan mengklaim kelebihan masing-masing kelompok dan muncul kembalinya permusuhan antar suku, yaitu suku Aus dan Khazraj dalam Ansar setelah disulut oleh kaum Muhajirin, terpilihlah Abu Bakar sebagai pemersatu kedua kelompok tersebut.15
Sebagaimana disepakati sejarahwan, klan Hāshim, terutama ‘Ali yang tidak mengikuti perdebatan politik tersebut karena mengurusi jenazah Nabi saw, tidak sepakat atas keputusan mendadak di Saqifah tersebut. Mereka menolak keputusan tersebut karena mempunyai hak dalam masalah imamah yang diabaikan oleh kaum muslim. Beberapa pendukung ‘Ali menunda baiat atas Abū Bakar, bahkan adapula yang menolak membaiat Abū Bakar seperti Miqdad ibn Aswad, Salmān al-Fārisi, Abū Zar al-Ghifarī, sebagaimana Sa’ad ibn Ubadah, pemimpin Ansar.16 Konon, semua keluarga Hāshim baru membaiat Abu Bakar setelah wafatnya Fatimah yang sebelumnya berselisih pendapat dengan Abu Bakar mengenai tanah Fadak sebagai warisan Nabi saw atau tidak.17

Khilafah menurut Sunni

Berdasar riwayat diatas, jumhur Sunni berpendapat bahwa pemilihan khalifah setelah Nabi saw wafat dilaksanakan dengan musyawarah sebagaimana tradisi mereka dan yang dicontohkan Nabi dalam pelbagai urusan keduniawian. Hal ini dikarenakan tidak terdapatnya perintah yang tegas dalam al-Qur’ān berkenaan dengan pemilihan khalifah (pengganti) Rasululllah, kecuali perintah-perintah yang bersifat umum yang menyangkut persoalan khalifah atau lain-lainnya seperti ketika Allah mensifatkan kaum muslim dengan firman-Nya dan urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka, misalnya:
           
38. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.
                                  
159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Begitu pula tidak disebutkan di dalam sunnah penjelasan tentang sistem pemilihan khalifah, kecuali nasihat-nasihat yang melarang ikhtilaf atau perpecahan, seakan-akan syariat ingin menyerahkan urusan ini kepada kaum muslimin untuk diselesaikan oleh mereka sendiri.
Namun penjelasan bagaimana musyawarah pengangkatan imam menjadi persoalan bagi para sahabat dan generasi selanjutnya. Ini dibuktikan dengan perjalanan sejarah pengangkatan empat khalifah. Abu Bakar, khalifah pertama diangkat melalui “musyawarah” yang tergesa-gesa yang berhasil menyatukan umat Islam. ‘Umar sendiri diangkat melalui SK Abu Bakar dengan dukungan dua sahabat. ‘Uthmān dipilih berdasarkan ahl al-aqd wa al-hall (tokoh yang mengikat dan membubarkan) yang dibentuk sendiri oleh khalifah sebelumnya, Umar. ‘Ali diangkat dengan dukungan terbuka oleh masyarakat muslim secara langsung. Sistem monarki pun pernah berjalan dalam sejarah Islam, sebagaimana “dianjurkan” Muawiyah dan Marwan untuk mencegah timbulnya perang saudara.18 Terlepas dari fakta-fakta diatas, yang menjadi titik penting dalam imamah bagi Sunni adalah musyawarah antara kaum muslim, termasuk di dalamnya adalah ijma’ (kesepakatan bersama).19
Selain persoalan model pemilihan imam diatas, persoalan siapa yang dipilih juga disyaratkan oleh Sunni. Jumhur kelompok Sunni berpendapat bahwa imam harus dari kaum Quraish.20 Namun sebagian ulama, seperti Ibn Khaldun, al-Ghazali tidak sepakat dengan pembatasan khusus suku Quraish. Mereka membolehkan siapa saja berhak menjadi imam, sebagaimana pendapat yang diutarakan Khawarij dan Mu’tazilah. Lebih dalam, Ibn Khaldun mengajukan ketentuan bagi calon Imam, yaitu memiliki ashabiyah (dukungan komunal), karena kekuasaan sosial politik bersifat sementara, maka golongan yang memiliki kekuatan dan mewakili ashabiyah komunal pada waktu tertentu akan dapat meraih kekuasaan.21
Prinsip lainnya yang dipegang Sunni, yaitu baiat. Baiat secara umum dapat diartikan sebagai transaksi perjanjian antara pemimpin dengan umat Islam/rakyat dalam mendirikan imamah atau khilafah. Baiat dibagi dua kelompok. Pertama, baiat khusus, yaitu baiat yang dilakukan oleh ahl al-hall wa al-‘aqd. Baiat ini dilakukan dengan cara memaklumatkan persetujuan mereka terhadap seorang khalifah. Kedua, baiat umum, yaitu suatu baiat yang berlangsung setelah baiat khusus, berlaku untuk masyarakat umum. Baiat ini merupakan suatu ikrar kesetiaan, ketaatan dalam pengakuan atas pemerintah yang berkuasa serta tidak keluar dari kesatuan.22
Dalam permasalahan baiat, ulama Sunni berbeda pendapat tentang baiat mana yang menetapkan adanya seorang imam atau khalifah. Sebagian ulama, seperti al-Mawardi, Ahmad Shalabi berpendapat bahwa yang berwenang menetapkan dan membaiat imam adalah ahl al-hall wa al-‘aqd. Penetapan dan pembaiatan mereka adalah final, karena mereka wakil rakyat yang telah diberi kepercayaan. Sebagian ulama memandang bahwa ahl-al-hall wa al-‘aqd hanya berwenang mengemukakan calon khalifah, sedangkan yang menetapkan khalifah adalah umat atau rakyat. Dengan demikian suatu kepemimpinan tidak bisa ditetapkan kecuali setelah selesai baiat umat. Pendapat ini dikemukakan oleh ibn Taymiyah, Ahmad ibn Hanbal.23
Selanjutnya dalam persoalan khilafah, apakah harus ada khalifah tunggal untuk seluruh umat Islam? Atau tidak? Kebanyakan ulama menafsirkan bahwa khilafah harus dipimpin oleh satu khalifah atau pemimpin bagi seluruh umat Islam. Namun penulis lebih sepakat bahwa khilafah tidak harus diartikan menjadikan seluruh wilayah umat Islam dalam satu kepemimpinan, sebagaimana pendapat Ibn Taymiyah yang membolehkan mengangkat beberapa khalifah di dunia Islam.24 Hal ini sejalan dengan sejarah sosial Islam yang dalam sebagian masa-masa tersebut memiliki dua khalifah sekaligus, khalifah Abdullah bin Zubair semasa dengan Dinasti Umayyah, bahkan lebih dari tiga khalifah. Hal tersebut dikarenakan perbedaan paham atau penolakan kapasitas khalifah yang ada. Berikut adalah data dinasti besar yang ada dalam sejarah sosial Islam: dinasti Umayah di Damaskus (661-750 M); dinasti Abbasiyah di Baghdad (750-1258 M); dinasti Umayyah di Spanyol (756-1031 M); Dinasti Fatimiyah di Mesir (909-1171 M); dinasti Turki Usmani di Istanbul (1300-1922 M); kerajaan Safawi di Persia (1501-1786 M); kerajaan Mogul di India (1526-1858 M); dan beberapa dinasti-dinasti kecil lainnya di Timur dan Barat yang berdiri independen (terutama masa kelemahan dinasti Abbasiyah di Baghdad).25 Sebagaimana uraian sejarah diatas, diketahui bahwa dalam satu masa, umat Islam memiliki beberapa khalifah, misalnya dinasti Abbasiyah di Baghdad, dinasti Umayyah di Spanyol, dan dinasti Fatimiyah di Mesir.

Imamah menurut Shī’ah

Berbeda dengan Sunni, bagi kaum Shīah, imam setelah Nabi saw wafat adalah ‘Ali beserta keturunannya melalui Fatimah. Selain itu mereka juga tidak sepakat bahwa imam itu dipilih dengan dasar musyawarah, mereka menyebutkan bahwa pemilihan ‘Ali adalah berdasarkan nas. Menurut Shī’i tidak mungkin Nabi saw dengan segala kelebihannya, sebagai pemimpin sebuah gerakan revolusioner yang mengubah dunia tidak meninggalkan petunjuk apapun tentang masa depan Islam sepeninggalnya? Diantara yang dijadikan dasar kepemimpinan ‘Ali adalah Hadith yang menimbulkan kontroversi di kalangan sejarahwan, teologi dan ahli hadith, yakni hadith Ghadir Khum.
Hadith ini yang menceritakan perjalanan pulang Nabi saw dari haji wada. Dalam perjalanan tersebut, Nabi saw berhenti di daerah rawa Ghadir Khum. Disinilah turunlah ayat tabligh :
                            
67. Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

Ayat diatas, menurut golongan Shī’i turun berkenaan pengangkatan ‘Ali sebagai pemimpin.26 Selain itu ada pula momen penting, dimana Nabi saw bersabda yang kemudian biasa disebut hadith ghadir :27
rã8äQ oi 8äQ p rvãp oi dãp ktfeã rvqiéfRY rvqi #naoi
“Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maula (pemimpin)nya, maka Ali juga sebagai maula (pemimpin) nya. Ya Allah, cintailah yang mencintainya dan musuhi yang memusuhinya”.

Selain itu bagi Shīah Ithnā Ashariyah, yang mempunyai doktrin imamah, menyatakan bahwa imam sampai akhir zaman berjumlah 12 imam sesuai dengan sabda Nabi saw:
dä]éfQéZ5hwbækfb&%k)dä]ÖZ~f5=FQän)ükt~YéNj}û&1ûN^n}v =iö ã;slü
G}=]oiktfadä]dä]äiéæö#f^Y
“Sesungguhnya perkara (agama) ini tidak selesai sehingga berlalu dua belas khalifah. Jabir berkata, kemudian beliau (Nabi saw) mengatakan sesuatu dengan samar. Aku bertanya pada ayahku, “Apa yang beliau katakan?” Ia menjawab, “Semuanya dari golongan Quraish.”28

Bagi kaum Shīah hadith Ghadir merupakan penunjukan Nabi saw atas pribadi ‘Ali sebagai penggantinya dan merupakan wahyu dari Tuhan. Sedang bagi Sunni, ada banyak pendapat dalam menafsirkan hadith tersebut. Diantaranya bahwa hadith tersebut merupakan penunjukkan kedekatan ‘Ali, bukan kepemimpinan; Penunjukkan ‘Ali sebagai “guru spiritual”; menguatkan kepemimpinan ‘Ali di Yaman, yang waktu itu kurang disenangi pasukannya; bahkan ada yang langsung menjustifikasi bahwa hadith tersebut adalah hadith palsu.
Terlepas dari segi penafsiran diatas, ada satu pertanyaan penting, yaitu mengapa ‘Ali, sewaktu pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, tidak menggunakan dasar nas ini. Seandainya ia menggunakan dalil nas tersebut niscaya kaum muslim tidak berebut kursi kepemimpinan. Dalam sejarah, ‘Ali lebih menunjukkan ketidaksetujuannya atas pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah dan ia berhak dalam pemutusan kekhalifahan karena kedekatan (klan Hāshim yang merupakan inti Quraish), wawasan serta kelebihdahuluan dalam menerima Islam.29
Selain itu, pemunculan hadith Ghadir ini terjadi pada masa-masa belakangan, yaitu saat terjadi konflik ‘Ali dan Muawiyah, setelah pembunuhan ‘Uthmān. Adapun sahabat yang pertama kali memunculkan hadith Ghadir tersebut adalah ‘Ammar ibn Yasir.30 Selain itu sesaat sebelum kemangkatan ‘Ali, ia ditanya apakah kaum muslim harus membaiat al-Hasan, putranya, ‘Ali menjawab, “Aku tidak memerintah, juga tidak melarangmu, kamu lebih tahu.”31 Hal ini menunjukkan bahwa ia membiarkan kaum muslim mengatur urusan keduniaan sendiri dan ia tidak menunjuk pengganti setelahnya sebagaimana yang dicontohkan gurunya, Nabi Muhammad saw.
Namun Shi’ah memandang bahwa tindakan diam ‘Ali tersebut dikarenakan demi kemaslahatan dan kesatuan umat yang masih “bayi”, meski ia yakin paling berhak menjabat khalifah.32 Lebih lanjut, menurut Baqir Shadr, perselisihan antara ‘Ali dengan mayoritas sahabat tentang masalah imamah adalah dikarenakan perbedaan ijtihad. Kelompok minoritas ‘Ali yang tunduk sepenuhnya pada nas-nas agama dalam segala lini kehidupan dan kelompok mayoritas, termasuk ‘Umar ibn Khattab, yang hanya merasa tunduk pada hal-hal ibadah dan yang gaib dan memalingkan, meninggalkan nas pada bidang-bidang kehidupan duniawi sesuai dengan kemaslahatan.33

Penutup

Persoalan khilafah (sebagaimana definisi yang penulis kutip diawal bahasan, yaitu pengangkatan pemimpin sebagai pengganti Nabi saw atau dapat dikatakan mendirikan sebuah “negara” dalam Islam) memiliki beberapa penafsiran. Riwayat-riwayat yang merupakan sumber istimbat pembentukan doktrin ajaran Islam pun berbeda-beda. Perbedaan penafsiran (termasuk pula standar jarh wa ta’dil) riwayat tentang kepemimpinan setelah Nabi saw telah memecah kesatuan umat Islam. Kini kaum muslim terbagi menjadi dua kelompok besar, pertama mayoritas Sunni yang mendukung bahwa Nabi Muhammad saw tidak menunjuk khalifah setelahnya. Sebagai implikasi logisnya, musyawarah, yang sejak dahulu dikenal para sahabat, menempati unsur penting dalam imamah. Selain itu, tidak ada keharusan untuk mengangkat khalifah tunggal untuk seluruh umat Islam. Sebagaimana fakta adanya tiga khalifah pada satu masa, misalnya, dinasti Umayyah di Spanyol, dinasti Abbasiyah di Baghdad dan dinasti Fatimiyah di Mesir. Adapun baiat dan teori al-Aimmah min al-Quraish mengalami perubahan dan penafsiran kembali. Sedangkan mengenai model musyawarah, bentuk negara dan lain sebagainya menjadi perdebatan tiada henti sejalan dengan akal yang terus berpikir.
Kelompok kedua, minoritas Shī’ah yang menganggap bahwa Nabi saw menunjuk ‘Ali sebagai penggantinya. Beberapa riwayat menunjukkan bahwa kepemimpinan ‘Ali beserta keturunannya hanya terbatas sampai 12 imam. Namun Shī’ah sendiri terbagi menjadi beberapa kelompok karena setelah kemangkatan seorang imam, hampir dipastikan terjadi perpecahan karena perbedaan siapa yang diwasiati sebagai penerusnya. Menunggu kedatangan imam Mahdi, imam ke-12, munculkan istilah wilayah al-faqih dalam masalah imamah kaum Shī’ah yang terus-menerus dimodifikasi. Wa Allāh a’lam wa Huwa al-Haq.

BIBLIOGRAFI

Ahmad, Mumtaz. Ed. Ter. Ena Hadi. Masalah-Masalah Teori Politik Islam (Bandung: Mizan, 1996).
Al-Jurjani, Ali Muhammad. Kitab al-Ta’rifāt (Singapura: Al-Haramain, tth).
Al-Suyūtī, Jalāl al-Dīn. Al-Dur al-Manthūr II (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1990)
As-Salus, Ali Ahmad. Ensiklopedi Sunnah-Syiah 1 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001).
Ayoub, Mahmoud M. ter. Munir A. Mu’in, The Crisis of Muslim History (Bandung: Mizan, 2004).
Dahlan, Abdul Azis (et al). Ensiklopedi Hukum Islam 1, II & III (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999).
Dewan Redaksi EI, Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997).
Hashem, O. Syi’ah Ditolak Syi’ah Dicari (Jakarta: Al-Huda, 2000).
Hughes, Thomas Patrick. Dictionary Islam (New Delhi: Oriental Books Print Corporation, 1976).
Jafri, S. H. M. Dari Saqifah Sampai Imamah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995).
Modarresee, Mohammed Reza. ter. Hamideh Elahinia. Syi’ah dalam Sunah (Tt: Citra, 2005).
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam II (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997),

Rakhmat, Jalaludin. Skisme dalam Islam, Sebuah Telaah Ulang II dilansir www.isnet.org.

End Note

1. Ali Ahmad as-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah 1 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001),10.
2. Thomas Patrick Hughes, Dictionary Islam (New Delhi: Oriental Books Print Corporation, 1976), 203.
3. Ali Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifāt (Singapura: Al-Haramain, tth), 35.
4. Abdul Azis Dahlan (et al). Ensiklopedi Hukum Islam II1 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), 918.
5. As-Salus, 10.
6. Dikutip dari Ibn Qutaibah, Al-Imamah wa al-Siyasah aw Tarikh al-Khulafa’. Lihat Mahmoud M. Ayoub, ter. Munir A. Mu’in, The Crisis of Muslim History (Bandung: Mizan, 2004), 42.
7. Ibid.,43.
8. Jalaludin Rakhmat, Skisme dalam Islam, Sebuah Telaah Ulang II. www.isnet.org; S. H. M. Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), 39-42.
9. Dikutip dari Ahmad, Musnad Ahmad ibn Hanbal. Lihat As-Salus., 149.
10. Mahmoud M. Ayoub, 52 & 74.
11. Kemungkinan besar karena dendam kesumat antara ‘Ali dengan Quraish Makkah –termasuk pembesar-pembesarnya- yang masuk Islam saat pembukaan Makkah (fath al-Makkah). Banyak anggota keluarga dari Quraish Makkah tersebut yang terbunuh karena tebasan pedang ‘Ali pada masa-masa perang sebelum fath al-Makkah. Lihat As-Salus, 25.
12. Mahmoud M. Ayoub, 74.
13. Jalaludin Rakhmat, Skisme dalam Islam, Sebuah Telaah Ulang II. www.isnet.org.
14. Mumtaz Ahmad, Ed. Ter. Ena Hadi. Masalah-Masalah Teori Politik Islam (Bandung: Mizan, 1996), 64.
15. Mahmoud M. Ayoub, 49-57.
16. Ibid., 55; As-Salus, 17; Jafri, 91-94.
17. Ibid., 51.
18. Sebagian ulama membenarkan kebolehan monarki dengan berbagai alasan. Pembenaran tersebut mungkin karena masalah imamah merupakan persoalan ijtihad. Namun sebagian ulama, seperti al-Baghdadi, Abu Ya’la, Ibn Hazm, Ibn Khaldun menyatakan bahwa imamah sama sekali bukanlah suatu instansi turun temurun, bahkan menurut Ibn Khaldun sistem monarki terlarang oleh agama. Mumtaz Ahmad, 95-100.
19. Ibid., 74; Dalam prinsip musyawarah termasuk pula adanya ijma’ (pendapat mayoritas). Meski mayoritas dan minoritas tidak selalu mengikuti jalan yang benar, namun juga salah apabila mengabaikan pendapat mayoritas tentang bagaimana mengatur urusan keduniawian serta kepentingan-kepentingan umum. Ibid., 108.
20. Suku Quraish adalah suku yang berpengaruh kuat pada masa pra dan sesudah kedatangan Islam. Suku ini dikenal sebagai pengurus bayt Allāh dan penguasa kota Makkah. Lebih jauh, teori al-Aimmah min al-Quraish sudah kehilangan dukungan semenjak runtuhnya kerajaan Turki Uthmani. Dewan Redaksi EI, Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), 78 & 81. Yang menjadi pertanyaan penulis, seandainya al-Aimmah min al-Quraish benar-benar petunjuk bagi imamah, mestinya kaum muslim, terutama Ansar tidak mempermasalahkan imamah dan argumen Shīah pun bisa digunakan karena mereka adalah pendukung ahl al-bait yang berasal dari klan Hashim, inti dari suku Quraish ataukah teori al-Aimmah min al-Quraish tersebut hanyalah penafsiran atas keutamaan kaum Quraish?
21. Mumtaz Ahmad, 90-91 & 98.
22. Abdul Azis Dahlan (et al). Ensiklopedi Hukum Islam 1 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), 180.
23. Ibid., 181.
24. Ibid. II, 625.
25. Ibid., III, 920; Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam II (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), 63-67.
26. Riwayat diatas mempunyai banyak sanad dan beberapa sahabat, seperti Ibn Mas’ud membaca ayat tersebut dengan: Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu bahwa ‘Ali adalah wali mukminin, dan jika ......Lihat Jalāl al-Dīn al-Suyūtī. Al-Dur al-Manthūr II (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), 528; O. Hashem, Syi’ah Ditolak Syi’ah Dicari (Jakarta: Al-Huda, 2000), 325.
27. Hadith ini bersumber dari berbagai riwayat hadith, sejarah dan sastra. Diriwayatkan oleh 110 sahabat Nabi saw. Lihat Ibid., 329-333.
28. Hadith ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan sebagainya dengan berbagai redaksi. Bahkan dalam Kitab Perjanjian Lama pun terdapat nubuat adanya 12 pemimpin dari keturunan Ismail. Ibid., 339-344; Mohammed Reza Modarresee, ter. Hamideh Elahinia. Syi’ah dalam Sunah (Tt: Citra, 2005), 15-19.
29. Mahmoud M. Ayoub, 51-52.
30. Ibid., 72.
31. Ibid., 208.
32. Jalaludin Rakhmat, Skisme dalam Islam, Sebuah Telaah Ulang II. www.isnet.org.
33. Ibid.

Isra dan Mi'raj (Studi Hadith)

oleh: Khy's Dihya Ghulam HA

PENDAHULUAN

Isrā’ mi’rāj adalah peristiwa spektakuler bagi perjalanan hidup Nabi Muhammad saw, yang mana dalam peristiwa inilah ibadah shalat lima waktu diperintahkan. Selain itu, isrā’ mi’rāj juga merupakan salah satu mukjizat Nabi saw untuk menegakkan risalahnya, sekaligus menguji keimanan para sahabatnya. Secara garis besar arti isrā’ mi’rāj adalah perjalanan ekspres Nabi saw pada malam hari dari masjid al-Harām ke bayt al-Muqaddas kemudian beranjak ke al-Sidrah al-Muntahā untuk menghadap Allah swt di Mustawa. Dari peristiwa monumental tersebut banyak penafsiran yang muncul, diantaranya kapan isrā mi’rāj terjadi, berapakali peristiwa isrā’ mi’rāj terjadi, apakah Nabi saw dalam isrā’ mi’rāj hanya dengan ruhnya atau dengan ruh serta jasadnya, dengan kata lain apakah secara sadar atau melalui mimpi, dimanakan letak masjid bayt al-Muqaddas, apakah dalam mi’rāj Nabi saw melihat Allah swt, dan sebagainya. Penafsiran-penafsiran tersebut dikarenakan banyaknya hadith yang menjelaskan isrā’ mi’rāj, ada yang menjelaskan secara detail ada juga yang secara global, selain itu juga dikarenakan adanya tidak kesesuaiannya antara hadith-hadith tersebut.
Disini penulis akan membahas hadith yang diriwayatkan oleh Sharīk bin Abd Allāh dari Anas Bin Mālik, salah satu hadith yang menimbulkan banyak penafsiran tentang terjadinya isrā wa mi’raj.
PEMBAHASAN

A.Teks hadith
Dalam Miftāh Kunūz al-Sunnah disebutkan puluhan hadith yang menjelaskan peristiwa isrā’ mi’rāj.1 Namun dalam pembahasan ini, sebagaimana pembatasan diatas penulis hanya akan meneliti hadith riwayat Bukhārī dengan sanad Sharīk dari Anas bin Mālik, selain itu sebagai pelengkap/ pembanding juga disebutkan hadith riwayat Qatādah dari Anas bin Mālik dari Mālik bin Sa’saah.
1.Hadith Bukhārī dari riwayat Sharīk melalui Anas Bin Mālik2

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ عَنْ شَرِيكِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَسْجِدِ الْكَعْبَةِ أَنَّهُ جَاءَهُ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ قَبْلَ أَنْ يُوحَى إِلَيْهِ وَهُوَ نَائِمٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ أَوَّلُهُمْ أَيُّهُمْ هُوَ فَقَالَ أَوْسَطُهُمْ هُوَ خَيْرُهُمْ فَقَالَ آخِرُهُمْ خُذُوا خَيْرَهُمْ فَكَانَتْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فَلَمْ يَرَهُمْ حَتَّى أَتَوْهُ لَيْلَةً أُخْرَى فِيمَا يَرَى قَلْبُهُ وَتَنَامُ عَيْنُهُ وَلَا يَنَامُ قَلْبُهُ وَكَذَلِكَ الْأَنْبِيَاءُ تَنَامُ أَعْيُنُهُمْ وَلَا تَنَامُ قُلُوبُهُمْ فَلَمْ يُكَلِّمُوهُ حَتَّى احْتَمَلُوهُ فَوَضَعُوهُ عِنْدَ بِئْرِ زَمْزَمَ فَتَوَلَّاهُ مِنْهُمْ جِبْرِيلُ فَشَقَّ جِبْرِيلُ مَا بَيْنَ نَحْرِهِ إِلَى لَبَّتِهِ حَتَّى فَرَغَ مِنْ صَدْرِهِ وَجَوْفِهِ فَغَسَلَهُ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ بِيَدِهِ حَتَّى أَنْقَى جَوْفَهُ ثُمَّ أُتِيَ بِطَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ فِيهِ تَوْرٌ مِنْ ذَهَبٍ مَحْشُوًّا إِيمَانًا وَحِكْمَةً فَحَشَا بِهِ صَدْرَهُ وَلَغَادِيدَهُ يَعْنِي عُرُوقَ حَلْقِهِ ثُمَّ أَطْبَقَهُ ثُمَّ عَرَجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَضَرَبَ بَابًا مِنْ أَبْوَابِهَا فَنَادَاهُ أَهْلُ السَّمَاءِ مَنْ هَذَا فَقَالَ جِبْرِيلُ قَالُوا وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مَعِيَ مُحَمَّدٌ قَالَ وَقَدْ بُعِثَ قَالَ نَعَمْ قَالُوا فَمَرْحَبًا بِهِ وَأَهْلًا فَيَسْتَبْشِرُ بِهِ أَهْلُ السَّمَاءِ لَا يَعْلَمُ أَهْلُ السَّمَاءِ بِمَا يُرِيدُ اللَّهُ بِهِ فِي الْأَرْضِ حَتَّى يُعْلِمَهُمْ فَوَجَدَ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا آدَمَ فَقَالَ لَهُ جِبْرِيلُ هَذَا أَبُوكَ آدَمُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ آدَمُ وَقَالَ مَرْحَبًا وَأَهْلًا بِابْنِي نِعْمَ الِابْنُ أَنْتَ فَإِذَا هُوَ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا بِنَهَرَيْنِ يَطَّرِدَانِ فَقَالَ مَا هَذَانِ النَّهَرَانِ يَا جِبْرِيلُ قَالَ هَذَا النِّيلُ وَالْفُرَاتُ عُنْصُرُهُمَا ثُمَّ مَضَى بِهِ فِي السَّمَاءِ فَإِذَا هُوَ بِنَهَرٍ آخَرَ عَلَيْهِ قَصْرٌ مِنْ لُؤْلُؤٍ وَزَبَرْجَدٍ فَضَرَبَ يَدَهُ فَإِذَا هُوَ مِسْكٌ أَذْفَرُ قَالَ مَا هَذَا يَا جِبْرِيلُ قَالَ هَذَا الْكَوْثَرُ الَّذِي خَبَأَ لَكَ رَبُّكَ ثُمَّ عَرَجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الثَّانِيَةِ فَقَالَتْ الْمَلَائِكَةُ لَهُ مِثْلَ مَا قَالَتْ لَهُ الْأُولَى مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قَالُوا وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ نَعَمْ قَالُوا مَرْحَبًا بِهِ وَأَهْلًا ثُمَّ عَرَجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الثَّالِثَةِ وَقَالُوا لَهُ مِثْلَ مَا قَالَتْ الْأُولَى وَالثَّانِيَةُ ثُمَّ عَرَجَ بِهِ إِلَى الرَّابِعَةِ فَقَالُوا لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ عَرَجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الْخَامِسَةِ فَقَالُوا مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ عَرَجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ السَّادِسَةِ فَقَالُوا لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ عَرَجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ فَقَالُوا لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ كُلُّ سَمَاءٍ فِيهَا أَنْبِيَاءُ قَدْ سَمَّاهُمْ فَأَوْعَيْتُ مِنْهُمْ إِدْرِيسَ فِي الثَّانِيَةِ وَهَارُونَ فِي الرَّابِعَةِ وَآخَرَ فِي الْخَامِسَةِ لَمْ أَحْفَظْ اسْمَهُ وَإِبْرَاهِيمَ فِي السَّادِسَةِ وَمُوسَى فِي السَّابِعَةِ بِتَفْضِيلِ كَلَامِ اللَّهِ فَقَالَ مُوسَى رَبِّ لَمْ أَظُنَّ أَنْ يُرْفَعَ عَلَيَّ أَحَدٌ ثُمَّ عَلَا بِهِ فَوْقَ ذَلِكَ بِمَا لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا اللَّهُ حَتَّى جَاءَ سِدْرَةَ الْمُنْتَهَى وَدَنَا لِلْجَبَّارِ رَبِّ الْعِزَّةِ فَتَدَلَّى حَتَّى كَانَ مِنْهُ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى فَأَوْحَى اللَّهُ فِيمَا أَوْحَى إِلَيْهِ خَمْسِينَ صَلَاةً عَلَى أُمَّتِكَ كُلَّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثُمَّ هَبَطَ حَتَّى بَلَغَ مُوسَى فَاحْتَبَسَهُ مُوسَى فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ مَاذَا عَهِدَ إِلَيْكَ رَبُّكَ قَالَ عَهِدَ إِلَيَّ خَمْسِينَ صَلَاةً كُلَّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ قَالَ إِنَّ أُمَّتَكَ لَا تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ فَارْجِعْ فَلْيُخَفِّفْ عَنْكَ رَبُّكَ وَعَنْهُمْ فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جِبْرِيلَ كَأَنَّهُ يَسْتَشِيرُهُ فِي ذَلِكَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ جِبْرِيلُ أَنْ نَعَمْ إِنْ شِئْتَ فَعَلَا بِهِ إِلَى الْجَبَّارِ فَقَالَ وَهُوَ مَكَانَهُ يَا رَبِّ خَفِّفْ عَنَّا فَإِنَّ أُمَّتِي لَا تَسْتَطِيعُ هَذَا فَوَضَعَ عَنْهُ عَشْرَ صَلَوَاتٍ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مُوسَى فَاحْتَبَسَهُ فَلَمْ يَزَلْ يُرَدِّدُهُ مُوسَى إِلَى رَبِّهِ حَتَّى صَارَتْ إِلَى خَمْسِ صَلَوَاتٍ ثُمَّ احْتَبَسَهُ مُوسَى عِنْدَ الْخَمْسِ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ وَاللَّهِ لَقَدْ رَاوَدْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَوْمِي عَلَى أَدْنَى مِنْ هَذَا فَضَعُفُوا فَتَرَكُوهُ فَأُمَّتُكَ أَضْعَفُ أَجْسَادًا وَقُلُوبًا وَأَبْدَانًا وَأَبْصَارًا وَأَسْمَاعًا فَارْجِعْ فَلْيُخَفِّفْ عَنْكَ رَبُّكَ كُلَّ ذَلِكَ يَلْتَفِتُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جِبْرِيلَ لِيُشِيرَ عَلَيْهِ وَلَا يَكْرَهُ ذَلِكَ جِبْرِيلُ فَرَفَعَهُ عِنْدَ الْخَامِسَةِ فَقَالَ يَا رَبِّ إِنَّ أُمَّتِي ضُعَفَاءُ أَجْسَادُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ وَأَسْمَاعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ فَخَفِّفْ عَنَّا فَقَالَ الْجَبَّارُ يَا مُحَمَّدُ قَالَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ قَالَ إِنَّهُ لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ كَمَا فَرَضْتُهُ عَلَيْكَ فِي أُمِّ الْكِتَابِ قَالَ فَكُلُّ حَسَنَةٍ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا فَهِيَ خَمْسُونَ فِي أُمِّ الْكِتَابِ وَهِيَ خَمْسٌ عَلَيْكَ فَرَجَعَ إِلَى مُوسَى فَقَالَ كَيْفَ فَعَلْتَ فَقَالَ خَفَّفَ عَنَّا أَعْطَانَا بِكُلِّ حَسَنَةٍ عَشْرَ أَمْثَالِهَا قَالَ مُوسَى قَدْ وَاللَّهِ رَاوَدْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ فَتَرَكُوهُ ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَلْيُخَفِّفْ عَنْكَ أَيْضًا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُوسَى قَدْ وَاللَّهِ اسْتَحْيَيْتُ مِنْ رَبِّي مِمَّا اخْتَلَفْتُ إِلَيْهِ قَالَ فَاهْبِطْ بِاسْمِ اللَّهِ قَالَ وَاسْتَيْقَظَ وَهُوَ فِي مَسْجِدِ الْحَرَامِ
2.Hadith Muslim dari riwayat Sharīk melalui Anas Bin Mālik3

حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سُلَيْمَانُ وَهُوَ ابْنُ بِلَالٍ قَالَ حَدَّثَنِي شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي نَمِرٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يُحَدِّثُنَا عَنْ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَسْجِدِ الْكَعْبَةِ أَنَّهُ جَاءَهُ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ قَبْلَ أَنْ يُوحَى إِلَيْهِ وَهُوَ نَائِمٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِقِصَّتِهِ نَحْوَ حَدِيثِ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ وَقَدَّمَ فِيهِ شَيْئًا وَأَخَّرَ وَزَادَ وَنَقَصَ
3.Hadith Bukhārī dari riwayat Qatādah dari Anas bin Mālik dari Mālik bin Sa’saah.4

حَدَّثَنَا هُدْبَةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ ح و قَالَ لِي خَلِيفَةُ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ وَهِشَامٌ قَالَا حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ صَعْصَعَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَا أَنَا عِنْدَ الْبَيْتِ بَيْنَ النَّائِمِ وَالْيَقْظَانِ وَذَكَرَ يَعْنِي رَجُلًا بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ فَأُتِيتُ بِطَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ مُلِئَ حِكْمَةً وَإِيمَانًا فَشُقَّ مِنْ النَّحْرِ إِلَى مَرَاقِّ الْبَطْنِ ثُمَّ غُسِلَ الْبَطْنُ بِمَاءِ زَمْزَمَ ثُمَّ مُلِئَ حِكْمَةً وَإِيمَانًا وَأُتِيتُ بِدَابَّةٍ أَبْيَضَ دُونَ الْبَغْلِ وَفَوْقَ الْحِمَارِ الْبُرَاقُ فَانْطَلَقْتُ مَعَ جِبْرِيلَ حَتَّى أَتَيْنَا السَّمَاءَ الدُّنْيَا قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ مَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ قَالَ نَعَمْ قِيلَ مَرْحَبًا بِهِ وَلَنِعْمَ الْمَجِيءُ جَاءَ فَأَتَيْتُ عَلَى آدَمَ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَرْحَبًا بِكَ مِنْ ابْنٍ وَنَبِيٍّ فَأَتَيْنَا السَّمَاءَ الثَّانِيَةَ قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ مَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ أُرْسِلَ إِلَيْهِ قَالَ نَعَمْ قِيلَ مَرْحَبًا بِهِ وَلَنِعْمَ الْمَجِيءُ جَاءَ فَأَتَيْتُ عَلَى عِيسَى وَيَحْيَى فَقَالَا مَرْحَبًا بِكَ مِنْ أَخٍ وَنَبِيٍّ فَأَتَيْنَا السَّمَاءَ الثَّالِثَةَ قِيلَ مَنْ هَذَا قِيلَ جِبْرِيلُ قِيلَ مَنْ مَعَكَ قِيلَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ قَالَ نَعَمْ قِيلَ مَرْحَبًا بِهِ وَلَنِعْمَ الْمَجِيءُ جَاءَ فَأَتَيْتُ عَلَى يُوسُفَ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ قَالَ مَرْحَبًا بِكَ مِنْ أَخٍ وَنَبِيٍّ فَأَتَيْنَا السَّمَاءَ الرَّابِعَةَ قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ مَنْ مَعَكَ قِيلَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ قِيلَ نَعَمْ قِيلَ مَرْحَبًا بِهِ وَلَنِعْمَ الْمَجِيءُ جَاءَ فَأَتَيْتُ عَلَى إِدْرِيسَ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَرْحَبًا بِكَ مِنْ أَخٍ وَنَبِيٍّ فَأَتَيْنَا السَّمَاءَ الْخَامِسَةَ قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قِيلَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ قَالَ نَعَمْ قِيلَ مَرْحَبًا بِهِ وَلَنِعْمَ الْمَجِيءُ جَاءَ فَأَتَيْنَا عَلَى هَارُونَ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَرْحَبًا بِكَ مِنْ أَخٍ وَنَبِيٍّ فَأَتَيْنَا عَلَى السَّمَاءِ السَّادِسَةِ قِيلَ مَنْ هَذَا قِيلَ جِبْرِيلُ قِيلَ مَنْ مَعَكَ قِيلَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ مَرْحَبًا بِهِ وَلَنِعْمَ الْمَجِيءُ جَاءَ فَأَتَيْتُ عَلَى مُوسَى فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَرْحَبًا بِكَ مِنْ أَخٍ وَنَبِيٍّ فَلَمَّا جَاوَزْتُ بَكَى فَقِيلَ مَا أَبْكَاكَ قَالَ يَا رَبِّ هَذَا الْغُلَامُ الَّذِي بُعِثَ بَعْدِي يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِهِ أَفْضَلُ مِمَّا يَدْخُلُ مِنْ أُمَّتِي فَأَتَيْنَا السَّمَاءَ السَّابِعَةَ قِيلَ مَنْ هَذَا قِيلَ جِبْرِيلُ قِيلَ مَنْ مَعَكَ قِيلَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ مَرْحَبًا بِهِ وَلَنِعْمَ الْمَجِيءُ جَاءَ فَأَتَيْتُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَرْحَبًا بِكَ مِنْ ابْنٍ وَنَبِيٍّ فَرُفِعَ لِي الْبَيْتُ الْمَعْمُورُ فَسَأَلْتُ جِبْرِيلَ فَقَالَ هَذَا الْبَيْتُ الْمَعْمُورُ يُصَلِّي فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ إِذَا خَرَجُوا لَمْ يَعُودُوا إِلَيْهِ آخِرَ مَا عَلَيْهِمْ وَرُفِعَتْ لِي سِدْرَةُ الْمُنْتَهَى فَإِذَا نَبِقُهَا كَأَنَّهُ قِلَالُ هَجَرَ وَوَرَقُهَا كَأَنَّهُ آذَانُ الْفُيُولِ فِي أَصْلِهَا أَرْبَعَةُ أَنْهَارٍ نَهْرَانِ بَاطِنَانِ وَنَهْرَانِ ظَاهِرَانِ فَسَأَلْتُ جِبْرِيلَ فَقَالَ أَمَّا الْبَاطِنَانِ فَفِي الْجَنَّةِ وَأَمَّا الظَّاهِرَانِ النِّيلُ وَالْفُرَاتُ ثُمَّ فُرِضَتْ عَلَيَّ خَمْسُونَ صَلَاةً فَأَقْبَلْتُ حَتَّى جِئْتُ مُوسَى فَقَالَ مَا صَنَعْتَ قُلْتُ فُرِضَتْ عَلَيَّ خَمْسُونَ صَلَاةً قَالَ أَنَا أَعْلَمُ بِالنَّاسِ مِنْكَ عَالَجْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَشَدَّ الْمُعَالَجَةِ وَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا تُطِيقُ فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَسَلْهُ فَرَجَعْتُ فَسَأَلْتُهُ فَجَعَلَهَا أَرْبَعِينَ ثُمَّ مِثْلَهُ ثُمَّ ثَلَاثِينَ ثُمَّ مِثْلَهُ فَجَعَلَ عِشْرِينَ ثُمَّ مِثْلَهُ فَجَعَلَ عَشْرًا فَأَتَيْتُ مُوسَى فَقَالَ مِثْلَهُ فَجَعَلَهَا خَمْسًا فَأَتَيْتُ مُوسَى فَقَالَ مَا صَنَعْتَ قُلْتُ جَعَلَهَا خَمْسًا فَقَالَ مِثْلَهُ قُلْتُ سَلَّمْتُ بِخَيْرٍ فَنُودِيَ إِنِّي قَدْ أَمْضَيْتُ فَرِيضَتِي وَخَفَّفْتُ عَنْ عِبَادِي وَأَجْزِي الْحَسَنَةَ عَشْرًا وَقَالَ هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْبَيْتِ الْمَعْمُورِ


B.Takhrij hadith
1.Kritik sanad
Dalam penelitian ini, ada sekitar 5 periwayat hadith, yang masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut :
a.Anas bin Mālik bin al-Nadhr bin Dhamdham bin Zayd bin Harām bin Jundab bin Āmir. Beliau adalah pembantu Nabi saw sejak tinggal di Madinah sampai Nabi saw wafat.
Guru : Nabi saw, Abū Bakr, Umar, Uthmān, dll.
Murid : Sharīk bin Abd Allah, Shubayl bin Azrah al-Dhubaī, Shuayb bin al-Habhāb al-Azdī, dll.5
Beliau bertemu dengan Nabi saw pertama kali di Madinah, sedang peristiwa isrā mi’rāj terjadi pada masa Nabi saw di Makkah. Dengan demikian ada dua kemungkinan, beliau mendengar cerita tersebut langsung dari Nabi saw atau kemungkinan besar beliau mengetahui peristiwa isra’ mi’rāj dari para sahabat lainnya yang pernah tinggal di Makkah, namun tidak menyebutkannya (mursal sahābī). Meski demikian dalam ilmu hadith kemungkinan tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk melemahkan hadith ini.
b.Sharīk bin Abd Allāh bin Abī Namr (140 H)
Guru : Anas bin Mālik, Sa’id bin al-Musayyab, Atā’ bin Yasīr, dll.
Murid : Sulaymān bin Bilāl, al-Thaurī, Sa’id al-Maqbarī, dll.
Komentar : Ibn Ma’in dan Nasa’i mengatakan laysa bihī ba’s, Ibn Said mengatakan kathīr al-hadith, thiqqah, Ibn ‘Adī mengatakan riwayatnya tidak apa-apa jika orang thiqqah yang meriwayatkan darinya, Ibn Hibban memasukkannya dalam al-Thiqqāt meski terkadang salah.6
c.Sulaymān bin Bilāl al-Taymī (172 H)
Guru : Sharīk bin Abd Allah, Zayd bin Aslam, Sālih bin Kaysan, dll.
Murid : Abd al-Azīz bin Abd Allah al-Uwaysī, Abd Allah bin al-Mubarak, Abd Allah bin Wahb, dll.
Komentar : Abū Tālib mengatakan dari Ahmad: tidak apa-apa thiqqah, Al-Dawrī mengatakan dari Ibn Ma’in: Sālih, thiqqah, Ibn ‘Adī mengatakan Thiqqah, Ibn Hibban memasukkannya dalam al-Thiqqāt.7
d.Abd al-Azīz bin Abd Allāh bin Yahyā bin Amr bin Uways bin Sa’d bin Abī Sarh al-‘Amirī
Guru : Sulaymān bin Bilāl, Mālik, al-Layth, dll.
Murid : Bukhārī, dll.
Komentar : Daruqutnī mengatakan hujjah, Al-Khalilī mengatakan thiqqah muttafaq alayh, Ibn Hibban memasukkannya dalam al-Thiqqāt.8
e.Abī Abd Allah Muhammad bin Ismā’il al-Bukhārī
Guru : Abd al-Azīz bin Abd Allāh, ‘Affān, Muhammad bin Abd Allah al-Ansārī, dll.
Murid : Tirmidzī, Muslim, dll.
Komentar : Maslamah mengatakan thiqqah, alim dalam hadith, Sālih bin Muhammad al-Asadī mengatakan orang yang paling mengetahui tentang hadith, Ya’qub bin Ibrahim al-Dawrqī mengatakan faqīh hadza ummah, Ahmad mengatakan salah satu puncak ahli hadith dari Khurāsan, Al-Qaylī menceritakan bahwa ketika kitab Sahih Bukhārī telah selesai, kemudian diujikan kepada Ibn al-Madīnī, Yahya bin Ma’in, Hanbal, dll, mereka mengatakan kitab ini sahīh kecuali 4 hadith.9
Dari keseluruhan sanad hadith diatas yang diriwayatkan oleh rawi terakhir al-Bukhārī tidak ada satu pun ulama yang mencela dan segi ketersambungan sanad dapat diketahui dari nama guru dan murid masing-masing. Dengan demikian rantai sanad hadith ini adalah sahih, meski Sharīk -sebagaimana dikatakan Ibn Hibbān- terkadang salah, tapi hal ini -sebagaimana dikatakan Ibn ‘Adī- lā ba’sa biriwāyātihī jika orang thiqqah meriwayatkan darinya.
2.Kritik matan
Diantara aspek yang diperhatikan dalam kritik matan adalah apakah dalam matan hadith tersebut ada perbedaan redaksi dengan hadith lain, baik karena ziyadah maupun idraj. Melihat matan dari hadith yang diriwayatkan Bukhārī melalui sanad Sharik bin Abd Allah dari Anas bin Mālik ada beberapa bagian matan yang dinilai sebagian ahli hadith berbeda, bahkan bertentangan dengan matan hadith lain, yaitu ( قَبْلَ أَنْ يُوحَى إِلَيْهِ ).10 Perkataan tersebut menunjukkan bahwa terjadinya isrā mi’rāj sebelum Nabi Muhammad saw mendapat wahyu, dengan kata lain sebelum diangkat menjadi Rasul. Hal ini bertentangan dengan data sejarah secara mayoritas yang menyebutkan bahwa isrā mi’rāj terjadi setelah ba’th (diutus menjadi Rasul).11 Selain itu, bagian matan lain hadith ini yang menimbulkan multi-interpretasi adalah (وَهُوَ نَائِمٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَام). Hal ini dengan mudah dapat dipahami bahwa Nabi saw ber-isrā mi’rāj melalui mimpi. Pendapat lain mengatakan isrā’ mi’rāj terjadi dua kali, sekali dalam tidur dan sekali dalam keadaan sadar. Hal ini didasarkan dengan menggabungkan matan hadith diatas dan ( وَاسْتَيْقَظَ ).12
Namun melihat secara dalam matan tersebut, ada kemungkinan adanya penjelasan yang lebih komprehensif. Misalnya dalam masalah bagian matan yang pertama dengan mengkompromikan dengan beberapa bagian lain matan hadith tersebut, yaitu (قَالَ وَقَدْ بُعِثَ قَالَ نَعَمْ). Dengan pemaduan ini, muncul penjelasan bahwa kemungkinan besar malaikat yang datang sebelum Muhammad diberi wahyu, mendatangi lagi pada malam lain setelah Nabi saw diberi wahyu, dan pada saat inilah terjadi isrā’ mi’rāj. Hal ini juga dikuatkan dengan matan hadith ( حَتَّى أَتَوْهُ لَيْلَةً أُخْرَى ).13 Dengan demikian jelaslah bahwa isrā’ mi’rāj terjadi setelah Nabi saw diutus menjadi Rasul, bukan sebelumnya. Pendapat lain mengatakan bahwa (قَبْلَ أَنْ يُوحَى إِلَيْهِ) ini menunjukkan bukan dalam keadaan mutlak belum turunnya wahyu, namun keadaan belum turunnya wahyu lain ketika akan ber-isrā’ mi’rāj.14
Sedang bagian matan yang kedua, sebagaimana penjelasan diatas kondisi tidur adalah saat pertama kali malaikat datang kepada Nabi saw. Lebih lanjut secara komprehensif, ada banyak versi matan dalam hadith-hadith sahih lainnya yaitu (بَيْنَ النَّائِمِ وَالْيَقْظَانِ ) dan (مضطجع). Dengan demikian ada penjelasan yang meyakinkan bahwa ketika datangnya Malaikat, Nabi saw sedang tidur, namun kemudian beliau segera bangun dan bekas tidur masih tampak sehingga digunakanlah kata ( نَائِمٌ ).15 Adapun matan hadith ( وَاسْتَيْقَظَ ) ini menunjukkan bahwa cepatnya Nabi saw ketika isrā’ mi’rāj, sehingga beliau bisa tidur lagi dan bangun pada malam yang sama. Atau bisa diartikan kembalinya Nabi saw ke alam manusia setelah melakukan mi’rāj dalam alam lain.16 Lebih jauh mengenai berulang kalinya isrā’ mi’rāj Nabi saw, hal ini tidak benar karena apakah mungkin terjadi pengulangan perintah salah lima puluh waktu plus pengurangannya, pertanyaan penduduk langit dan sebagainya.
Dengan demikian isrā’ mi’rāj terjadi satu kali dan Nabi saw ketika itu bukanlah dalam keadaan mimpi atau dengan ruh, melainkan secara sadar dan dengan jasad dan ruhnya. Hal ini dikuatkan dengan kata (Subhan) dalam surah al-Isrā’ ayat 1, penggunaan kata tasbīh tersebut adalah untuk menunjukkan sesuatu yang agung, bukan sekedar mimpi dalam tidur yang biasa dialami setiap manusia. Karena itulah oleh kaum musyrik Makkah Nabi saw disebut gila, dusta, dan sebagainya. Selain itu kata (bi’abdihī) mengibaratkan kumpulan jasad dan ruh bukan sekedar ruh saja.17
Dari uraian diatas jelaslah bahwa dari segi matan, hadith ini sahih sebagaimana kesahihan hadith ini dari segi sanad.
PENUTUP
Hadith Bukhārī dari riwayat Sharīk melalui Anas Bin Mālik adalah hadith sahih bagi dari segi sanad maupun matan, meski banyak terdapat ketidakjelasan namun masih bisa ditafsirkan maupun dipadukan dengan matan hadith lainnya sehingga tidak bertentangan dengan hadith-hadith lain. Secara tidak langsung, hadith tersebut menjelaskan bahwa isrā’ mi’rāj terjadi satu kali dalam hidup Nabi saw sesudah menerima wahyu dan dalam keadaan sadar dengan jasad plus ruhnya. Tak lupa, bahwa peristiwa isrā’ mi’rāj ini terjadi khusus bagi Nabi saw saja, bukan untuk yang lain. Diantara hikmah dibalik terjadinya isrā’ mi’rāj adalah untuk meningkatkan keimanan hamba-Nya, karena dalam isrā mi’rāj Allah memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada Nabi saw yang kemudian diteruskan dari generasi ke generasi sampai sekarang.


BIBLIOGRAFI
Al-Asqalānī, Ahmad bin Ali bin Hajar. Tahdīb al-Tahdīb IV, VI, IX. Bairut: Dar al-Fikr, 1984.
Al-Bukhārī, Abī Abd Allah Muhammad bin Ismā’il. Sahīh al-Bukhārī III/IX, II/IV. Bairut: Dar al-Fikr, 1994.
Al-Ghunaymī, Abd al-Akhir Hammad. ter. Abu Umar Basyir, Tahdzib Sharh al-Tahawiyah. Solo: Pustaka At-Tibyan, 2001.
Al-Marsafī, Sa’d. Adwā’ ‘alā Ahādīth al-Isrā’ wa al-Mi’rāj. Bairut: Muassasah al-Rayyān, 1994.
Al-Mizzī, Abī al-Hajjāj Yūsuf. Tahdib al-Kamāl fī Asma’ al-Rijāl II. Bairut: Dar al-Fikr, 1994.
Chalil, Munawar. Kelengkapan Tarich Nabi Muhammad saw. Jakarta: Bulan Bintang, 1964.
Finsink, A. Y. ter. Muhammad Fuad Abd al-Baqī. Miftāh Kunūz al-Sunnah. Lahore: Idārah Tarjamān al-Sunnah, tth.
Muslim, Abī al-Husayn Muslim al-Hajjāj bin al-Qushayrī. Jāmi’ al-Sahīh I. Bairut: Dar al-Fikr, tth.