©Dina Y. Sulaeman
Moammar Qaddafi memang bukan pemimpin yang baik. Salah satu bukti kebrutalannya adalah aksi ‘pelenyapan’ Imam Mousa Sadr. Pada 25 Agustus 1978, tokoh pendiri Hizbullah-Lebanon, Imam Musa Sadr, bersama dua orang yaitu, Syeikh Muhammad Yaqub dan Abbas Badruddin, pimpinan redaksi kantor berita Lebanon, tiba di Libya. Menurut rencana tanggal 29 atau 30 Agustus, mereka akan berdialog dengan Presiden Libya, Qaddafi. Namun sejak itu hingga kini Imam Musa Sadr raib tanpa jejak. Amnesty Internasional pada tahun 1988 melaporkan bahwa Qaddafi telah melakukan penangkapan, penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa, penyiksaan, serta hukuman mati terhadp para oposannya. Tahun 1996, menurut Amnesty Internasional, terjadi pembantaian massal terhadap 1.200 orang di penjara Abu Slim.
Tapi, kebrutalan Qaddafi tidak seharusnya membuat kita tidak peduli (apalagi mendukung) terhadap apa yang dilakukan oleh NATO di Libya. Qaddafi saat ini sepertinya sedang menghadapi karmanya, menghadapi detik-detik pembalasan atas berbagai kejahatan yang pernah dilakukannya selama ini. Namun, kita juga perlu mencermati skenario yang dilakukan NATO dalam mengobarkan perang di Libya.
Perang di Libya dimulai dengan aksi-aksi demo anti Qaddafi pada bulan Februari yang dilakukan rakyat Libya di Benghazi. Ada yang aneh, Benghazi sebenarnya justru kawasan yang makmur. Secara umum pun, rakyat Libya cukup makmur. Pendapatan penduduk per kapita Libya adalah US$ 14581.9. Bandingkan dengan Mesir yang hanya US$ 2015.5 dan Tunisia US$ 3680.5. Sekedar perbandingan, Indonesia masih di atas Mesir, yaitu US$ 2149.7 (data dari PBB). Meskipun ada banyak kabar yang memberitaka betapa Qaddafi menumpuk harta, namun dia tetap menginvestasikan kembali sebagian penghasilan minyak (Libya adalah pemilik cadangan minyak terkaya di Afrika) di bidang kesehatan (pelayanan gratis), pendidikan, dll. Itulah sebabnya, HDI (Human Development Index) Libya bahkan yang tertinggi di Afrika, dan di dunia berada di peringkat 57, lebih bagus daripada Rusia atau Brazil. Fakta ini sungguh tidak cocok dengan berita ‘rakyat Libya bangkit secara massal untuk menumbangkan Qaddafi.” Bahwa ada kelompok oposan, wajar. Tapi pemberontakan massal di seluruh negeri (seperti diberitakan media massa), sungguh menunjukkan pola yang aneh.
Menyusul aksi-aksi demo dan kekerasan yang terjadi, dunia pun digiring untuk ‘mengizinkan’ AS dan kroni-kroninya melakukan ‘humanitarian intervention’ demi membantu rakyat Libya. Media-media mainstream, seperti CNN atau Fox News, bahkan kali ini yang menjadi motornya adalah Al Jazeera, berusaha membentuk opini publik, bahwa sedang terjadi pembantaian sipil besar-besaran di Libya. Karena itulah, tak banyak yang memprotes saat NATO mulai melancarkan membombardir Libya dengan alasan kemanusiaan (‘humanitarian intervention’) tanggal 31 Maret. Target serangan NATO justru bukan kompleks militer, tetapi rumah-rumah (termasuk istana Qaddafi sehingga menewaskan beberapa anak dan cucunya), rumah sakit, sekolah, dll.
Ada banyak topik yang bisa dibahas dalam masalah ini, misalnya sahkah serangan NATO? Apa hakikat di balik kata ‘humanitarian intervention’ yang didengungkan oleh PBB dan NATO? Namun, kali ini saya ingin memfokuskan pada kebohongan media.
Selama konflik Libya, hanya ada beberapa jurnalis independen yang dengan berani memberitakan fakta-fakta yang berbeda dengan apa yang diberitakan AlJazeera, CNN, dll. Mereka adalah Mahdi Darius Nazemroaya, Franklin Lamb, Lizzhie Phelan (kontributor Press TV), dan Thierry Maysan (jurnalis yang dulu juga membela Iran saat media massa dunia sedang mempropagankan ada gemlobang revolusi di Iran). Mereka secara rutin memberitakan langsung dari Tripoli, perkembangan yang sesungguhnya.
Pada tanggal 21 Agustus, ketiganya masih mengirim laporan. Phelan kepada PressTV, Nazemroaya kepada Russia TV, dan Maysan menulis untuk Global Research. Saat itu, dalam rekaman video yang ditayangkan Russia TV, Nazemroaya melaporkan bahwa dirinya ditembak, namun luput. Laporan lainnya menyebut bahwa Lamb ditembak kakinya dan Phelan diintimidasi oleh jurnalis dari media mainstream supaya berhenti melaporkan situasi yang berlawanan dengan misi NATO. Pada tanggal 21/8, Maysan masih mengirim tulisan yang menceritakan keterlibatan Al Qaida. Namun, anehnya, sejak 21 Agustus, tidak ada kabar lagi dari mereka. Blog Lizzie Phelan pada tanggal 21 Agustus masih ada, namun kini kita sudah tidak bisa membaca lagi isinya. Berita lain menyebutkan bahwa Phelan tidak bisa lagi mengakses facebook dan emailnya. Belum ada kepastian bagaimana kondisi mereka saat ini.
Intimidasi terhadap para jurnalis independent itu menunjukkan ada yang ditutup-tutupi. Kebohongan sedang disebarluaskan oleh media massa mainstream. Ini salah satu bukti nyata kebohongan itu:
Pada tanggal 21, secara serempak media massa dunia (termasuk di Indonesia) memberitakan bahwa pasukan pemberontak sudah menguasai Tripoli. Tivi-tivi menayangkan gambar orang-orang yang bergembira ria. Reporter menyatakan, inilah pasukan pemberontak merayakan kemenangan.
Kemudian terbukti, video itu palsu belaka. Itu adalah sebuah film yang dibuat entah dimana (kemungkinan besar tentu di Qatar, karena yang pertama kali menyiarkan rekaman itu adalah Al Jazeera), dengan lokasi yang mirip dengan Green Square Tripoli.
Perhatikan gambar di bawah ini (klik untuk memperbesar). Di gambar kiri atas adalah foto capture dari Al Jazeera, bandingkan dengan foto-foto asli pemandangan Green Square di sebelah kanan dan bawah.
Tujuan dari semua kebohongan ini adalah untuk menggalang opini internasional agar mendukung pemerintahan peralihan (terbukti, segera muncul ucapan selamat dan pengakuan dari beberapa negara terhadap pasukan pemberontak), melemahkan nyali orang-orang Libya yang masih terus berjuang melawan NATO, dan menimbulkan situasi chaos di dalam negeri. Dan yang terpenting: untuk menutup-nutupi pembantaian massal yang diprediksi akan segera menyusul setelah deklarasi kemenangan para pemberontak. Terbukti, tak lama kemudian, Inggris menurunkan pasukan daratnya di Tripoli dengan alasan ingin menangkap Qaddafi. Hingga tulisan ini dibuat (enam hari setelah deklarasi kemenangan pemberontak), Qaddafi tak jua ditangkap. Hingga tulisan ini dibuat (enam hari setelah deklarasi kemenangan pemberontak), Qaddafi tak jua ditangkap. Belum ada berita yang valid dari Libya mengenai situasi saat ini karena selain listrik mati, media massa lokal dan internet pun diblokir. Dunia terpaksa menerima saja apa yang diberitakan Al Jazeera dan media-media mainstream.
Meskipun suara-suara jurnalis independen sudah diberangus (mudah-mudahan mereka semua saat ini dalam kondisi selamat dan tetap hidup), namun kebenaran cepat atau lambat akan terkuak. Seperti dikatakan Nazemroaya, “Ini Perang NATO. Ini bukan tentang Qaddafi. Qaddafi adalah dalih dilancarkannya perang ini, perang ini adalah untuk mencuri harta dari rakyat Libya.”
Mereka tidak sedang membela Qaddafi. Seperti dikatakan Prof. Chossudpvsky, “Jurnalis independent dijadikan target karena mereka mengatakan kebenaran. Liputan media mainstream terhadap perang Libya difokuskan pada Qaddafi. Tidak ada satu kata pun yang menyebutkan mengenai kerusakan dan korban nyawa rakyat sipil akibat bombardir NATO, termasuk bombardir intesif ke Tripoli.”
Pertanyaan terakhir, mengapa eskalasi serangan NATO sedemikian meningkat sejak tanggal 20-an Agustus? Webster Tarpley (pengamat politik yang sering jadi narasumber PressTV) mengatakan, NATO sudah kehabisan waktu. Mereka menargetkan bulan April, Qaddafi sudah tumbang. Namun hingga akhir Agustus, Qaddafi masih bertahan. Padahal batas akhir masa berlaku Resolusi PBB yang menjadi ‘payung hukum’ bagi NATO untuk bercokol di Libya adalah pertengahan September. Pada tanggal 20-21 Agustus itu, NATO mengangkut para pemberontak (Tarpley menyebut mereka ini adalah Al Qaida) dari berbagai kota, mempersenjatai mereka, dan mendaratkan di pelabuhan Tripoli. Pemberontak melakukan ‘tugas mereka’ di darat, dan NATO menghancurkan Tripoli dari udara.
Dan juga menyedihkan, skenario serupa kini sepertinya juga tengah bergulir di Syria…
Catatan:
1. Versi singkat tulisan ini pernah dimuat di IRIB
2. Video-video dan link-link berita yang lebih lengkap tentang kebohongan media mainstream soal Libya bisa dilihat di sini :
http://www.abovetopsecret.com/forum/thread744969/pg1
http://libyasos.blogspot.com/search?updated-max=2011-08-25T01%3A28%3A00%2B02%3A00&max-results=10
3. Kisah kebohongan media mainstream juga pernah terjadi di Irak dan Iran, kisahnya ada di sini
Moammar Qaddafi memang bukan pemimpin yang baik. Salah satu bukti kebrutalannya adalah aksi ‘pelenyapan’ Imam Mousa Sadr. Pada 25 Agustus 1978, tokoh pendiri Hizbullah-Lebanon, Imam Musa Sadr, bersama dua orang yaitu, Syeikh Muhammad Yaqub dan Abbas Badruddin, pimpinan redaksi kantor berita Lebanon, tiba di Libya. Menurut rencana tanggal 29 atau 30 Agustus, mereka akan berdialog dengan Presiden Libya, Qaddafi. Namun sejak itu hingga kini Imam Musa Sadr raib tanpa jejak. Amnesty Internasional pada tahun 1988 melaporkan bahwa Qaddafi telah melakukan penangkapan, penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa, penyiksaan, serta hukuman mati terhadp para oposannya. Tahun 1996, menurut Amnesty Internasional, terjadi pembantaian massal terhadap 1.200 orang di penjara Abu Slim.
Tapi, kebrutalan Qaddafi tidak seharusnya membuat kita tidak peduli (apalagi mendukung) terhadap apa yang dilakukan oleh NATO di Libya. Qaddafi saat ini sepertinya sedang menghadapi karmanya, menghadapi detik-detik pembalasan atas berbagai kejahatan yang pernah dilakukannya selama ini. Namun, kita juga perlu mencermati skenario yang dilakukan NATO dalam mengobarkan perang di Libya.
Perang di Libya dimulai dengan aksi-aksi demo anti Qaddafi pada bulan Februari yang dilakukan rakyat Libya di Benghazi. Ada yang aneh, Benghazi sebenarnya justru kawasan yang makmur. Secara umum pun, rakyat Libya cukup makmur. Pendapatan penduduk per kapita Libya adalah US$ 14581.9. Bandingkan dengan Mesir yang hanya US$ 2015.5 dan Tunisia US$ 3680.5. Sekedar perbandingan, Indonesia masih di atas Mesir, yaitu US$ 2149.7 (data dari PBB). Meskipun ada banyak kabar yang memberitaka betapa Qaddafi menumpuk harta, namun dia tetap menginvestasikan kembali sebagian penghasilan minyak (Libya adalah pemilik cadangan minyak terkaya di Afrika) di bidang kesehatan (pelayanan gratis), pendidikan, dll. Itulah sebabnya, HDI (Human Development Index) Libya bahkan yang tertinggi di Afrika, dan di dunia berada di peringkat 57, lebih bagus daripada Rusia atau Brazil. Fakta ini sungguh tidak cocok dengan berita ‘rakyat Libya bangkit secara massal untuk menumbangkan Qaddafi.” Bahwa ada kelompok oposan, wajar. Tapi pemberontakan massal di seluruh negeri (seperti diberitakan media massa), sungguh menunjukkan pola yang aneh.
Menyusul aksi-aksi demo dan kekerasan yang terjadi, dunia pun digiring untuk ‘mengizinkan’ AS dan kroni-kroninya melakukan ‘humanitarian intervention’ demi membantu rakyat Libya. Media-media mainstream, seperti CNN atau Fox News, bahkan kali ini yang menjadi motornya adalah Al Jazeera, berusaha membentuk opini publik, bahwa sedang terjadi pembantaian sipil besar-besaran di Libya. Karena itulah, tak banyak yang memprotes saat NATO mulai melancarkan membombardir Libya dengan alasan kemanusiaan (‘humanitarian intervention’) tanggal 31 Maret. Target serangan NATO justru bukan kompleks militer, tetapi rumah-rumah (termasuk istana Qaddafi sehingga menewaskan beberapa anak dan cucunya), rumah sakit, sekolah, dll.
Ada banyak topik yang bisa dibahas dalam masalah ini, misalnya sahkah serangan NATO? Apa hakikat di balik kata ‘humanitarian intervention’ yang didengungkan oleh PBB dan NATO? Namun, kali ini saya ingin memfokuskan pada kebohongan media.
Selama konflik Libya, hanya ada beberapa jurnalis independen yang dengan berani memberitakan fakta-fakta yang berbeda dengan apa yang diberitakan AlJazeera, CNN, dll. Mereka adalah Mahdi Darius Nazemroaya, Franklin Lamb, Lizzhie Phelan (kontributor Press TV), dan Thierry Maysan (jurnalis yang dulu juga membela Iran saat media massa dunia sedang mempropagankan ada gemlobang revolusi di Iran). Mereka secara rutin memberitakan langsung dari Tripoli, perkembangan yang sesungguhnya.
Pada tanggal 21 Agustus, ketiganya masih mengirim laporan. Phelan kepada PressTV, Nazemroaya kepada Russia TV, dan Maysan menulis untuk Global Research. Saat itu, dalam rekaman video yang ditayangkan Russia TV, Nazemroaya melaporkan bahwa dirinya ditembak, namun luput. Laporan lainnya menyebut bahwa Lamb ditembak kakinya dan Phelan diintimidasi oleh jurnalis dari media mainstream supaya berhenti melaporkan situasi yang berlawanan dengan misi NATO. Pada tanggal 21/8, Maysan masih mengirim tulisan yang menceritakan keterlibatan Al Qaida. Namun, anehnya, sejak 21 Agustus, tidak ada kabar lagi dari mereka. Blog Lizzie Phelan pada tanggal 21 Agustus masih ada, namun kini kita sudah tidak bisa membaca lagi isinya. Berita lain menyebutkan bahwa Phelan tidak bisa lagi mengakses facebook dan emailnya. Belum ada kepastian bagaimana kondisi mereka saat ini.
Intimidasi terhadap para jurnalis independent itu menunjukkan ada yang ditutup-tutupi. Kebohongan sedang disebarluaskan oleh media massa mainstream. Ini salah satu bukti nyata kebohongan itu:
Pada tanggal 21, secara serempak media massa dunia (termasuk di Indonesia) memberitakan bahwa pasukan pemberontak sudah menguasai Tripoli. Tivi-tivi menayangkan gambar orang-orang yang bergembira ria. Reporter menyatakan, inilah pasukan pemberontak merayakan kemenangan.
Kemudian terbukti, video itu palsu belaka. Itu adalah sebuah film yang dibuat entah dimana (kemungkinan besar tentu di Qatar, karena yang pertama kali menyiarkan rekaman itu adalah Al Jazeera), dengan lokasi yang mirip dengan Green Square Tripoli.
Perhatikan gambar di bawah ini (klik untuk memperbesar). Di gambar kiri atas adalah foto capture dari Al Jazeera, bandingkan dengan foto-foto asli pemandangan Green Square di sebelah kanan dan bawah.
Tujuan dari semua kebohongan ini adalah untuk menggalang opini internasional agar mendukung pemerintahan peralihan (terbukti, segera muncul ucapan selamat dan pengakuan dari beberapa negara terhadap pasukan pemberontak), melemahkan nyali orang-orang Libya yang masih terus berjuang melawan NATO, dan menimbulkan situasi chaos di dalam negeri. Dan yang terpenting: untuk menutup-nutupi pembantaian massal yang diprediksi akan segera menyusul setelah deklarasi kemenangan para pemberontak. Terbukti, tak lama kemudian, Inggris menurunkan pasukan daratnya di Tripoli dengan alasan ingin menangkap Qaddafi. Hingga tulisan ini dibuat (enam hari setelah deklarasi kemenangan pemberontak), Qaddafi tak jua ditangkap. Hingga tulisan ini dibuat (enam hari setelah deklarasi kemenangan pemberontak), Qaddafi tak jua ditangkap. Belum ada berita yang valid dari Libya mengenai situasi saat ini karena selain listrik mati, media massa lokal dan internet pun diblokir. Dunia terpaksa menerima saja apa yang diberitakan Al Jazeera dan media-media mainstream.
Meskipun suara-suara jurnalis independen sudah diberangus (mudah-mudahan mereka semua saat ini dalam kondisi selamat dan tetap hidup), namun kebenaran cepat atau lambat akan terkuak. Seperti dikatakan Nazemroaya, “Ini Perang NATO. Ini bukan tentang Qaddafi. Qaddafi adalah dalih dilancarkannya perang ini, perang ini adalah untuk mencuri harta dari rakyat Libya.”
Mereka tidak sedang membela Qaddafi. Seperti dikatakan Prof. Chossudpvsky, “Jurnalis independent dijadikan target karena mereka mengatakan kebenaran. Liputan media mainstream terhadap perang Libya difokuskan pada Qaddafi. Tidak ada satu kata pun yang menyebutkan mengenai kerusakan dan korban nyawa rakyat sipil akibat bombardir NATO, termasuk bombardir intesif ke Tripoli.”
Pertanyaan terakhir, mengapa eskalasi serangan NATO sedemikian meningkat sejak tanggal 20-an Agustus? Webster Tarpley (pengamat politik yang sering jadi narasumber PressTV) mengatakan, NATO sudah kehabisan waktu. Mereka menargetkan bulan April, Qaddafi sudah tumbang. Namun hingga akhir Agustus, Qaddafi masih bertahan. Padahal batas akhir masa berlaku Resolusi PBB yang menjadi ‘payung hukum’ bagi NATO untuk bercokol di Libya adalah pertengahan September. Pada tanggal 20-21 Agustus itu, NATO mengangkut para pemberontak (Tarpley menyebut mereka ini adalah Al Qaida) dari berbagai kota, mempersenjatai mereka, dan mendaratkan di pelabuhan Tripoli. Pemberontak melakukan ‘tugas mereka’ di darat, dan NATO menghancurkan Tripoli dari udara.
Dan juga menyedihkan, skenario serupa kini sepertinya juga tengah bergulir di Syria…
Catatan:
1. Versi singkat tulisan ini pernah dimuat di IRIB
2. Video-video dan link-link berita yang lebih lengkap tentang kebohongan media mainstream soal Libya bisa dilihat di sini :
http://www.abovetopsecret.com/forum/thread744969/pg1
http://libyasos.blogspot.com/search?updated-max=2011-08-25T01%3A28%3A00%2B02%3A00&max-results=10
3. Kisah kebohongan media mainstream juga pernah terjadi di Irak dan Iran, kisahnya ada di sini
http://dinasulaeman.wordpress.com/2011/08/27/kebohongan-media-di-libya/