Manusia diciptakan di dunia ini bukan untuk hidup
menyendiri dan tidak bergaul dengan sesama. Tuhan menciptakan berbagai ras
manusia agar saling mengenal dan bergaul dengan aman dan sentosa. Begitu juga syariat
Islam berfungsi melindungi hak-hak hidup semua makhluk hidup. Tidak hanya
penumpah darah sesama muslim yang mendapat ancaman yang serius, bahkan pembunuh
kafir dzimmi yang bergaul dengan orang Islam pun mendapat hukuman yang berat. Islam
melarang keras menjatuhkan setetes darah di bumi ini kecuali dengan alasan yang
hak/benar, seperti qisas dan kondisi peperangan. Dalam kondisi peperangan pun
Islam memiliki aturan yang elegan. Dilarang membunuh perempuan, anak-anak, orang
yang sudah menyerah, bahkan merusak gereja dan memotong pepohonan pun dilarang.
Jasad lawan korban perang mendapat perlakuan yang pantas, tidak boleh
dimutilasi dan dikuburkan dengan layak. Sebuah aturan yang apik dibanding
dengan perilaku “mujahilin” Syiria baru-baru ini yang memakan jantung korbannya
dengan berkoar-koar memekikkan takbir, tindakan amoral yang hampir mirip dengan
tingkah Hindun si pemakan jantung Hamzah, paman Nabi saw. Naudzubillah min
dzalik.
Untuk itu, Tuhan memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk
berdialog mencari persamaan (kalimah sawa’) dengan para pemeluk agama lain. Yaitu
menyakini Tuhan yang Esa sebagaimana yang diajarkan nabi-nabi sebelumnya. Bukan
menyelidiki apa perbedaan mereka dengan kita? Yang justru hanya menimbulkan
kebencian, pertengkaran, permusuhan dan sebagainya. Lalu bagaimana seharusnya sikap kita dengan sesama
muslim yang madzhabnya berbeda dengan kita? Imam Ali as telah mengajarkan
kepada kita.1
Lihat perlakuan beliau kepada kaum Khawarij yang dianggap salah arah atau sesat
oleh Imam Ali as. Kaum Khawarij adalah sekelompok orang yang mengkafirkan
beliau dan lawan beliau, Muawiyah dan Amr bin Ash dan lainnya yang memicu persengketan antar muslim. Tidak hanya
itu, Khawarij juga menghalalkan darah yang mereka kafirkan. Imam Ali
memperlakukan mereka sebagaimana semestinya. Mereka boleh shalat di masjid yang
beliau imami. Mereka bebas bergaul dengan sesama muslim lainnya. Mereka
diperangi setelah dengan jelas membuat keonaran dengan membunuh sesama muslim
lainnya dan bersiap melakukan makar peperangan.
Sikap inilah yang sekarang sudah mulai jarang ditemui di
Indonesia. Ada amalan muslim lain yang sedikit berbeda dengan dirinya, langsung
disebut bid’ah, sesat, kafir dan sejenisnya. Padahal di dalam sejarah fiqih mulai
zaman sahabat hingga sekarang terdapat banyak sekali perbedaan, mulai dari hal
yang sepele sampai yang berat. Sebagian ada yang berpendapat jika tidak ada air
tidak usah sholat, sedangkan lainnya sholat dengan bertayamum. Nabidz meski
memabukkan boleh diminum sementara lainnya mengharamkan. Menikahi anaknya
sendiri dari hasil zina diperbolehkan. Anal sex diperbolehkan. Nikah Mut’ah
halal. Bertawasul dan bertabarruk kepada orang shalih/benda orang shalih. Anjing
termasuk binatang suci. Onani tidak membatalkan puasa. Merokok tidak
membatalkan puasa. Sujud sholat harus di atas tanah. Dan berbagai pendapat
lainnya yang mungkin bisa dianggap aneh, bid’ah bahkan melenceng dari syariat
Islam bagi orang awam. Umat Islam tidak menyesatkan atau bahkan mengkafirkan:
Umar karena pendapat bolehnya minum nabidz, Imam Syafi’i karena fatwa boleh
menikahi anak hasil zinanya, Imam Malik dengan kesucian anjing, Ibn Umar karena
memperbolehkan anal sex, Ibn Abbas dengan halalnya nikah mut’ah, Abu Thufail
karena mempercayai raj’ah.
Islam mengajarkan beratnya konsekuensi pengkafiran sesama
muslim, yaitu tuduhan itu berbalik mengenai dirinya sendiri jika hal itu
keliru. Tentang kaum khawarij saja Imam Ali as mengatakan, mereka mencari
kebenaran namun salah mendapatkannya. Beliau as tidak menganggap kafir kaum
Khawarij hanya karena beliau dikafirkan oleh mereka, padahal beliau adalah
menantu, saudara dan dari tulang sulbinya putra-putri Rasulullah saww dilahirkan.
Seharusnya dengan preseden tersebut, sebagian kelompok Syiah yang mengkafirkan
Abu Bakar dan Umar, atau sebagian Sunni yang mengkafir-musyrikan ayah-bunda
Rasulullah saww dan paman beliau, Abu Thalib tidaklah dicap kafir. Serahkan itu
pada otoritas Tuhan di akhirat kelak. Biarlah Tuhan membalas mereka dengan sifat
Rahman dan Rahim-Nya karena umat Islam sudah cukup menanggung beban sejarah yang
rumit.
“Akan terjadi, bersatunya bangsa-bangsa
di dunia menyerbu kalian seperti
sekelompok orang menyerbu makanan. Salah seorang sahabat bertanya: Apakah karena
jumlah kami di masa itu sedikit. Rasulullah menjawab :
Jumlah kalian banyak tapi seperti buih di lautan. Allah mencabut rasa takut dari dada musuh-musuh
kalian dan Allah menanamkan penyakit wahan dalam hati kalian. Lalu ada yang
bertanya lagi : Apakah penyakit wahan itu ya Rasulullah? Beliau bersabda : Cinta
kepada dunia dan takut mati”. Benarlah apa yang disabdakan Nabi saww dan kita tidak
dibohongi. Sekarang ini, sebagian muslim tega merelakan nyawa muslim yang beda
aliran dengannya demi tumpukan uang. Memalsukan fakta yang terjadi demi mencari
dukungan dan kelanggengan status quonya. Memanipulasi riwayat-riwayat para
salaf sholihin untuk keuntungan sesaat. Takut akan kematian yang sudah galib
bagi setiap makhluk hidup sampai-sampai menutupi kebenaran yang sudah jelas di
depannnya.
Seyogyanya datangnya hari kiamat dapat kita tunda sejenak
dan kita nikmati hidup di dunia ini untuk beribadah mengenal-Nya dan
menyebarkan salam kedamaian yang identik dengan agama ktp kita. Salam
Perdamaian. :)
1. Patut diketahui gelar
Imam dalam khalifah rasyidun hanya
ditujukan pada Ali as, tidak kepada Abu Bakar, Umar maupun Utsman. Sebagian
pendapat karena hanya beliaulah yang pantas menyandangnya karena mampu
menunjukkan mana yang benar dan salah dalam fitnah-fitnah yang terjadi di masa
kekhalifahan beliau. Mungkin dalam masalah Khawarij ini hanya beliau yang bisa
menyelesaikannya sebagaimana kisah perintah Nabi saww untuk membunuh orang
shalat yang menjadi cikal bakal Khawarij, namun Abu Bakr dan Umar tidak mampu
membunuhnya.
Nice post, things explained in details. Thank You.
BalasHapus