Banyak orang percaya bahwa doa tak memiliki tempat dalam dunia ilmu pengetahuan modern. Mungkin gagasan ini merupakan langkah mundur dari pemikiran tiga abad lampau, ketika “perbuatan dari kejauhan” dikemukakan para pemikir ulung. Galileo mencela pandangan Johannes Keppler sebagai “bualan orang gila” ketika Keppler mengemukakan adanya gaya tak terlihat dari bulan, melintasi jarak teramat jauh, yang mengakibatkan pasang surut lautan di bumi.
Tentu saja manusia modern berpihak kepada Keppler dengan menerima gagasan “perbuatan dari kejauhan” itu sebagai gaya gravitasi, tetapi mereka belum begitu terbuka dalam bersikap terhadap doa. Meskipun demikian, pada sebuah penelitian -yang diawasi dengan begitu ketat- tentang efek dari doa, kardiologis Randolph Byrd, mantan profesor University of California, ditunjukkan bahwa doa mempunyai efek secara luar biasa terhadap kesembuhan seseorang.
Byrd menggambarkan penelitiannya sebagai “evaluasi ilmiah atas apa yang dilakukan Tuhan.” “Setelah banyak berdoa,” ia menyatakan, “aku tahu apa yang harus kulakukan.” Dalam penelitian sepuluh bulan itu, 393 pasien San Fransisco General Hospital dibagi secara acak oleh komputer ke dalam dua bagian. Pertama, mereka yang didoakan oleh sebuah kelompok pendoa dalam tempat yang berbeda, sebanyak 192 pasien. Kedua, mereka yang tidak didoakan, sebanyak 201 pasien. Penelitian tersebut dirancang sesuai dengan kriteria yang amat ketat dalam penelitian ilmu kedokteran. Artinya, tidak ada seorang pun, baik pasien, perawat, ataupun dokter, yang tahu apakah seorang pasien termasuk ke dalam kelompok pertama atau kelompok kedua.
Byrd mengundang kelompok-kelompok Katolik dan Protestan dari seluruh pelosok negeri untuk berdoa bagi kelompok pertama itu dari kejauhan. Setiap kelompok pendoa diberikan keterangan tentang nama para pasien yang didoakan berikut kondisi kesehatannya dan mereka diminta berdoa setiap hari. Namun untuk setiap kelompok, tidak ditentukan bagaimana mereka harus berdoa. “Setiap orang berdoa untuk banyak pasien yang berbeda, dan setiap pasien didoakan oleh lima sampai tujuh orang,” kata Byrd.
Hasilnya mencengangkan. Pasien yang didoakan berbeda jauh dengan pasien yang tidak didoakan dalam beberapa hal: Mereka membutuhkan antibiotik 20 persen lebih sedikit dari kelompok yang tak didoakan (tiga berbanding enam belas pasien). Kemungkinan mereka menderita “Pulmonary Edema”, sebuah kondisi ketika paru-paru dipenuhi cairan tertentu sebagai akibat kegagalan kerja pompa jantung adalah 30 persen lebih kecil (enam berbanding delapan belas pasien). Tak ada seorang pun pasien yang didoakan yang membutuhkan Intubasi Endotrakeal, peginjeksian saluran pernapasan dari sebuah mesin ventilator ke dalam tenggorokan, sementara dua belas pasien yang tak didoakan memerlukannya. Pasien yang didoakan lebih sedikit yang meninggal (meskipun perbandingan antara kedua kelompok tidak signifikan secara statistik).
Jika teknik yang diteliti adalah obat baru atau prosedur medis mutakhir, bukannya doa, sudah pasti hasil penelitian ini akan dianggap sebagai suatu “terobosan”. Namun, mau tidak mau, setiap orang harus menghargai hasil menakjubkan dari penelitian ini. Bahkan ahli yang paling skeptis pun kelihatan setuju dengan pentingnya penemuan Byrd. Dr. William Nolan, yang telah menulis buku tentang tak bergunanya penyembuhan religius, mengatakan, “Sepertinya hasil penelitian ini akan bertahan terhadap evaluasi-evaluasi lain. Mungkin para dokter harus mulai menulis di dalam resep mereka: Berdoalah tiga kali sehari. Jika hal itu berhasil, ya berhasil.”
Penelitian Spindrift.
Jika kesadaran manusia dapat berkembang melewati raga dengan doa dan jika kita ingin merubah kejadian di dunia melalui doa, lalu apa cara yang terbaik dalam berdoa? Apakah ada metode terbaik dalam berdoa? Dapatkah berbagai metode dalam berdoa itu dievaluasi secara obyektif?
Banyak orang mengatakan tidak. Pada prinsipnya, orang tak bisa mencoba untuk "membawa Tuhan ke laboratorium". Mereka yang mengaku sebagai penyembuh telah menolak dengan tegas untuk dites secara obyektif dengan menyatakan bahwa tindakan para peneliti di laboratorium akan mempengaruhi hasil doa mereka. Oleh sebab itu, berbagai metode doa penyembuh yang ada sampai saat ini belum pernah diteliti. Setiap orang berdoa menurut caranya sendiri, memakai cara yang mereka anggap paling mustajab, atau dengan cara spesifik yang ditentukan oleh tuntunan ajaran agama mereka masing-masing.
Bahkan dalam penelitian yang diawasi secara ketat yang menunjukkan keefektifitasan doa, seperti penelitian Randolph Byrd di atas, metode berdoa yang dilakukan tidak ditentukan dan tidak dibatasi. Berbagai kelompok pendoa hanya diperintahkan untuk berdoa, bukan bagaimana mereka berdoa. Mereka terdiri dari penganut Protestan dan Katolik, dan diperkirakan tidak mengikuti cara yang sama dalam berdoa. Frekuensi dan lamanya berdoa, apa yang dibayangkan ketika berdoa, serta tujuan doa, semua tergantung kepada "selera" masing-masing pendoa.
Usaha-usaha jenius dalam meneliti keefektifitasan doa telah ditempuh secara diam-diam selama lebih dari satu dasawarsa oleh organisasi bernama Spindrift (kata Spindrift berasal dari bahasa Skotlandia kuno yang berarti buih laut yang tertiup angin dan ombak; perpaduan antara udara dan laut, antara jiwa dan raga.) Para peneliti Spindrift menggunakan metode yang sederhana dan sarana yang minimal, namun mereka secara berani membuka hasil penelitian mereka terhadap kritik-kritik dari pihak lain. Secara keseluruhan, eksperimen mereka amat berguna dalam mengisi kesenjangan pengetahuan kita tentang bagaimana cara kerja sebuah doa.
Para peneliti Spindrift berasumsi bahwa semua manusia memiliki "kewenangan Tuhan, kesatuan kualitatif dengan Tuhan." Dalam kesadaran manusia, terdapat suatu kualitas tertentu yang tidak dibatasi oleh raga, suatu kesadaran yang tidak dibatasi ruang dan waktu, seperti halnya Tuhan.
Pertanyaan-pertanyaan pertama yang dikemukakan para peneliti itu sangat fundamental; apakah ada penyembuhan secara spiritual? Apakah doa itu berguna? Adakah hasil yang dapat diukur? Apakah hasil tersebut dapat dilipatgandakan?
Pada sebuah tes, benih-benih gandum tersebut dibagi secara rata ke dalam dua bagian. Semuanya ditempatkan pada sebuah wadah kecil yang diisi dengan vermiculite, suatu bahan seperti tanah namun lebih ringan, yang banyak digunakan para tukang kebun. Sebuah tali dipasang tepat di tengah wadah tersebut, sehingga membagi benih-benih itu ke dalam bagian A dan bagian B. Benih pada bagian pertama didoakan dan benih pada bagian kedua tidak. Setelah beberapa saat, cabang-cabang gandum yang tumbuh lalu dihitung. Hasil penelitian itu secara konsisten menunjukkan bahwa benih-benih yang didoakan mengalami pertumbuhan cabang gandum yang jauh lebih besar secara signifikan daripada benih-benih yang lain. Tes sederhana ini, yang dilakukan berulang-ulang oleh berbagai peneliti, menunjukkan efek dari pemikiran adanya zat di luar tubuh manusia yang secara siginifikan dapat dikuantifikasi dan direproduksi; dan bahwa efek dari kesadaran manusia itu tidak terikat kepada pikiran dan raga.
Dalam “kehidupan nyata”, kita berdoa baik untuk orang yang sakit maupun orang yang sehat. Para peneliti Spindrift lalu mengemukakan permasalahan; bagaimana jika benih-benih gandum yang didoakan itu adalah benih yang sakit, dan bukan benih yang sehat? Apakah doa masih tetap manjur? Untuk menjawab pertanyaan ini, dilakukan penelitian serupa, namun kali ini para peneliti memberikan gangguan bagi sebagian benih dengan menambahkan larutan garam ke dalam wadah benih itu. Larutan garam itu lalu mencemari benih-benih gandum (yang didoakan). Hasilnya sekarang menjadi lebih menakjubkan; perbandingan tunas yang tumbuh dari benih yang didoakan meningkat tajam dibandingkan benih yang tidak didoakan. Hal ini menunjukkan bahwa doa akan lebih mujarab bila suatu makhluk berada di bawah tekanan.
Kemudian bagaimana bila tekanan pada benih itu ditingkatkan? Apakah doa masih tetap mujarab? Para peneliti lalu mengadakan penelitian yang sama beberapa kali. Setiap kali, mereka menambahkan larutan garam yang lebih banyak ke dalam wadah benih. Ternyata untuk setiap penambahan larutan garam, khasiat doa juga turut meningkat. Semakin asin larutan yang ditambahkan, semakin banyak tunas yang tumbuh dari benih yang didoakan. Hal ini menunjukkan bahwa doa bekerja lebih baik bila ditujukan kepada kondisi fisik yang buruk, daripada mereka yang kondisinya sehat. (Dalam dunia medis, banyak hal yang sejalan dengan pemikiran ini. Seperti kita ketahui, plasebo atau “pil gula” yang tak punya efek apa-apa, justru lebih berkhasiat bila digunakan untuk mengobati sakit yang parah daripada sakit yang ringan.)
Selanjutnya para peneliti mengubah sistem penelitian itu. Mereka mengganti benih gandum dengan benih kedelai dan menggunakan suhu dan kelembaban sebagai tekanan, bukannya larutan garam. Hasilnya tetap sama; doa akan lebih mustajab bila “stres” pada organisme itu ditingkatkan.
Para peneliti lalu mengajukan permasalahan logis lain; Apakah penting berapa lama seseorang berdoa? Jika seseorang berdoa selama sepuluh menit dan orang yang lain duapuluh menit, apakah hasilnya sama atau berbeda? Diadakanlah penelitian lain dengan menggunakan empat wadah benih kedelai. Satu wadah ditandai sebagai wadah yang tidak didoakan, tiga wadah lainnya ditandai X, Y, dan Z. Wadah X dan Y didoakan sebagai satu wadah, lalu wadah Y dan Z juga didoakan sebagai satu wadah. Ini menyebabkan wadah Y didoakan dua kali dibanding wadah X dan Z. Hasilnya menunjukkan bahwa benih pada wadah Y tumbuh dua kali lebih banyak daripada benih pada wadah X dan Z, artinya banyaknya waktu kita berdoa berbanding lurus dengan khasiat doa kita.
Karena penelitian Spindrift melibatkan benih-benih yang didoakan dan yang tidak, lalu bagaimana para pendoa tahu benih mana yang harus mereka “tolong”? Guna menjawab masalah ini, sebuah penelitian kembali diadakan. Kali ini, orang yang berdoa tidak diberitahu benih mana yang harus didoakan. Hasilnya memperlihatkan bahwa efek doa mengalami penurunan yang drastis. Para peneliti menyimpulkan; jika pendoa mengenal jelas siapa yang didoakannya, doanya akan lebih mustajab. “Supaya doa kita memiliki efek,” kata para peneliti itu, “kita harus tahu siapa atau apa yang kita doakan.”
Adakah pendoa yang lebih baik dari pendoa yang lain? Para peneliti Spindrift dapat membuktikan dengan mudah masalah keefektifan relatif dari orang-orang yang mendoakan ini. Dalam penelitian terhadap ragi, dengan melihat jumlah gas karbondioksida yang dihasilkan, terbukti bahwa jumlah dari ragi yang didoakan oleh pendoa yang lebih berpengalaman, lebih banyak dari ragi yang didoakan oleh yang tidak berpengalaman.
Salah satu pengamatan dari para peneliti Spindrift yang menakjubkan adalah; hasil doa tidak berkurang meskipun jumlah yang didoakan bertambah. Dalam tes dengan benih-benih gandum, misalnya, perbandingan hasil doa tetap tinggi meskipun jumlah benih ditambah atau dikurangi. Setelah bertahun-tahun penelitian, orang-orang Spindrift merumuskan Hukum Keseluruhan Konseptual: Selama para pendoa dapat meletakkan dalam pikiran mereka konsep menyeluruh tentang sesuatu yang mereka doakan, efek dari doa akan tetap konstan untuk semua bagian yang didoakan. Sumbangan paling penting dari Penelitian Spindrift adalah tentang perbedaan antara doa yang “diarahkan” dan doa yang “tidak diarahkan”.
Pada doa yang diarahkan, orang yang berdoa mengetahui secara jelas apa-apa yang ditujukan atau dimohonkan; apa-apa yang diinginkannya melalui doa itu. Orang itu mengarahkan “sistem”, mencoba mengendalikan alam ke arah yang ia kehendaki. Dalam penyembuhan, misalnya, ia berdoa agar penyakit kankernya hilang atau sakitnya reda. Dalam eksperimen pertumbuhan benih di atas, orang itu berdoa agar tingkat tunas yang tumbuh menjadi tinggi.
Di sisi lain, pada doa yang tidak diarahkan, pendoa tidak memakai cara seperti itu. Pendoa hanya menggunakan pendekatan yang terbuka atau umum, tidak ada hasil tertentu yang diinginkan melalui doanya. Dalam doa jenis ini, pendoa tidak mencoba memerintahkan alam untuk berubah seperti yang ia mau. Tehnik mana, doa yang terarah atau tak terarah, yang lebih efektif? Apakah doa lebih mustajab bila tujuannya ditentukan, ataukah doa dengan pendekatan sederhana “Terserah kehendak Tuhan” yang lebih baik?
* Petikan dari sebuah bab dalam buku Recovering The Soul; A Scientific and Spiritual Search, karya Larry Dossey, MD, Bantam Books, New York, 1989. Diterjemahkan oleh Ilman Fauzi Rakhmat.
Source: http://www.geocities.com/anandito_2000/ensi/050701-3.htm
0 comments:
Posting Komentar