Oleh
Khy’s Dihya Ghulam
Pengantar
Persoalan Imamah, menurut al-Shahrastani, telah menumpahkan darah kaum muslim terbanyak ketimbang perselisihan dalam persoalan prinsip-prinsip agama.1 Persoalan imamah atau khilafah dalam Islam merupakan persoalan pelik yang mungkin dapat terjawab secara memuaskan bagi setiap muslim ketika Tuhan sendiri yang menjawabnya. Persoalan ini dimulai dari wafatnya Nabi Muhammad saw di Madinah. Kemangkatan Nabi saw tidak dapat dielak telah menimbulkan problem serius pada umat Islam yang berumur kurang lebih dua dekade. Persoalan siapa pemimpin selanjutnya yang dapat diandalkan untuk meneruskan dakwah Islam? Apakah ada dasar dalam nas ataukan persoalan ijtihad semata; Apakah Nabi saw telah berwasiat mengangkat seseorang menjadi penerusnya atau tidak? Jika tidak, mengapa?; Bagaimana cara memilih seorang pemimpin umat Islam?; Siapa saja yang diajak dalam bermusyawarah dalam suksesi ini? Apakah keharusan adanya satu khalifah untuk seluruh umat Islam atau tidak? Persoalan-persoalan politik diatas menimbulkan banyak perdebatan, perselisihan bahkan perpecahan umat Islam.
Tak jarang persoalan tersebut menimbulkan dan “memaksa” para sahabat mengeluarkan hadith-hadith, pernyataan-pernyataan, dan kisah-kisah historis yang bertebaran di buku-buku hadith dan sejarah. Dan tidak jarang pula satu peristiwa memiliki banyak versi bahkan saling beroposisi biner. Dari persoalan tersebut muncul perselisihan antara kaum Muhajirin –dalam hal ini adalah suku Quraish- dan Anshar, selanjutnya dalam Ansār sendiri terpecah antara suku Khazraj dan Aus, dan tak lupa dari kalangan ahli bait, klan Hāshim sebagai inti suku Quraish -merupakan kelompok tashayyu’ ‘Ali- yang tidak diajak dalam perundingan Saqifah Banū Sa’idah.
Persoalan ini kemudian merambat meluas ketika terjadi banyak penyimpangan pada masa Uthmān ibn ‘Affān, klan Umayyah yang kemudian berakhir dengan pembunuhan Uthmān yang telah diramal beberapa sahabat Nabi saw. Preseden buruk tersebut semakin diperparah dengan perselisihan kuno –perebutan antara kedua klan suku Quraish dalam hak pemeliharaan Ka’bah- antara ‘Ali ibn Abī Tālib, mewakili klan Hāshim, dengan Mu’awiyah, klan Umayyah yang mempertegas kemunculan Shīah ‘Ali berikut ajaran imamahnya.
Dengan keterbatasannya, makalah ini bertugas menceritakan dan menganalisa implikasi persoalan imamah berabad-abad lalu yang masih diperdebatkan sampai kiamat.
Imamah atau khilafah
Pengertian imamah secara etimologi adalah kepemimpinan. Kata imam turunan dari kata amma yang berarti menjadi ikutan. Kata imam berarti pemimpin atau contoh yang harus diikuti.2 Secara terminologi, imam berarti seseorang yang memegang jabatan umum dalam urusan agama dan urusan dunia sekaligus.3
Sedang khilafah berarti perwakilan, penggantian atau jabatan khalifah. Khilafah secara umum dapat diartikan pengganti fungsi pembuat syarak, yakni Rasulullah saw sendiri, dalam urusan agama dan urusan politik keduniawian.4
Menurut Abu Zahra, kata imam dan khalifah merupakan dua kata yang bersinonim. Dinamakan khalifah karena ia menjadi pemimpin tertinggi menggantikan peran Nabi saw di dalam mengatur urusan kaum muslimin. Dinamakan imam karena khalifah adalah seorang imam dan menaati seorang imam hukumnya wajib dan orang-orang berjalan di belakang imam laksana mereka yang mengerjakan shalat di belakang orang yang mengimami mereka.5
Detik-detik sebelum Nabi saw wafat
Dari banyaknya riwayat tentang kekhalifahan setelah Nabi saw yang beredar, kaum muslim terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, sekelompok ahli hadith mendukung riwayat penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah setelah Nabi saw. Kedua, jumhur Sunni, Mu’tazilah, dan Khawarij menyatakan bahwa Nabi saw tidak menentukan khalifah setelahnya kepada siapapun. Ketiga, sebagaimana kelompok pertama, ulama Shī’ah mendukung riwayat bahwa Nabi saw menunjuk ‘Ali sebagai penggantinya.
Namun kebanyakan riwayat tersebut cenderung menunjukkan bahwa Nabi saw tidak memberikan petunjuk siapa yang menjadi khalifah setelahnya. Berikut ini sebagian riwayat berkenaan masalah khilafah setelah Nabi saw. Sebelum Nabi saw wafat, ‘Abbās, paman Nabi saw menemui ‘Ali dan berbincang masalah kekhalifahan:
Nabi sedang sekarat! Karena itu, pergi dan bertanyalah kepadanya: jika urusan ini (yaitu, khilafah) menjadi milik kita, ia mungkin akan menyatakannya. Akan tetapi, jika khilafah milik orang lain, setidaknya ia mungkin akan bertindak baik terhadap kita.
Lalu ‘Abbās pergi menanyakan kepada Abū Bakar dan ‘Umar. Dan mereka sepakat bahwa Nabi tidak menyatakan sesuatupun. Segera setelah Nabi saw meninggal, ‘Abbās kembali dan berkata kepada ‘Ali:
Bentangkan tanganmu agar saya dapat memberikan baiat kepadamu sehingga masyarakat akan berkata, “Paman Rasulullah telah membaiat sepupu Rasulullah.” Lalu, keluargamu sendiri akan memberikan baiat dan seluruh masyarakat akan mengikuti ajakan itu.
‘Ali balik bertanya: “Akankah seseorang bertengkar dengan kita mengenai masalah ini (imamah)?”6
Riwayat diatas menunjukkan bahwa Nabi saw wafat tanpa menunjuk seseorang sebagai penggantinya. Selain itu, pada akhir cerita tergambar pendapat ‘Ali bahwa ia lebih disukai dalam masalah khalifah oleh kaum muslim, terutama kaum Ansar, yang bisa dikatakan sebagai pendukung angkatan bersenjata terbesar saat itu. Kaum Ansār lebih menyukai ‘Ali ketimbang semua Muhajirin Quraish karena sifat-sifat kepribadiannya, wawasan agama serta yang terpenting, ikatan kekeluargaan dengan Nabi saw.7
Kecenderungan kaum Ansar pada pribadi ‘Ali, dapat dijawab dengan teori Sosio-Antropologis Bangsa Arab yang diajukan beberapa orientalis. Secara singkatnya menurut teori tersebut, bangsa Arab yang membentuk umat Islam terdiri dari subkultur Arab Selatan dan subkultur Arab Tengah-Utara. Secara umum ciri-ciri subkultur Arab Selatan adalah memiliki sensitivitas religius yang tinggi serta para pemimpinnya dipilih berdasarkan kesucian keturunan (hereditary sanctity). Sedang subkultur Arab Utara-Tengah sangat menghargai keberanian dan kepahlawanan dan pemimpin, umumnya pemimpin dipilih berdasarkan usia dan senioritas. Kaum Ansar sendiri, terdiri dari suku Aws dan Khazraj, berasal dari daerah Arab Selatan yang migrasi ke Madinah.8
Selain itu adapula riwayat yang menceritakan bahwa ‘Ali bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah, siapa orang yang akan diangkat menjadi pemimpin setelah engkau?’ Beliau berkata,
“Kalau kalian mengangkat Abu Bakar sebagai pemimpin, kalian akan mendapatkan dia sebagai orang yang dipercaya (jujur), zuhud dalam urusan dunia, dan serius dalam urusan akhirat. Kalau kalian mengangkat Umar sebagai pemimpin, kalian akan mendapatkannya sebagai orang yang gagah perkasa, jujur dan dipercaya, tidak takut kepada siapapun di jalan Allah. Dan jika kalian mengangkat Ali sebagai pemimpin dan aku tidak melihat kalian mau melakukannya, kalian akan mendapati dia sebagai petunjuk yang akan mengajak kalian ke jalan yang lurus.”9
Riwayat ini juga mendukung bahwa Nabi saw tidak menunjuk seorangpun menjadi penggantinya. Namun yang penting disini adalah pandangan Nabi saw bahwa kepemimpinan ‘Ali yang tidak sepenuhnya disetujui kaum muslim, terutama kaum Quraish. Konon, ada beberapa hal, menurut kaum Quraish, yang menyebabkan mereka menolak kepemimpinan ‘Ali, diantaranya terlalu muda, cenderung bermain-main dalam majlis, keras kepala, suka mencela orang lain.10 Namun menurut ‘Umar, kaum Quraish tidak akan tahan terhadap ‘Ali karena, seandainya ‘Ali berkuasa atas mereka, ia akan berurusan dengan mereka berdasarkan kenyataan pahit.11 Kaum Quraish juga tidak akan menemukan dalam diri ‘Ali kemurahan hati yang akhirnya mereka pasti akan mencabut baiat mereka dan peperangan pun terjadi.12 Selain itu, mereka juga tidak menginginkan nubuwwah dan khalifah bergabung pada klan Hashim.13
Ikhtilāf setelah Nabi saw wafat
Setelah wafatnya Nabi saw tanpa meninggalkan pesan apapun tentang seluk beluk siapa penggantinya yang memegang kekuasaan kaum muslim, para sahabat di Madinah membentuk kelompok-kelompok politik yang berbeda seperti Ansar, Muhajirin, dan klan Hashīm. Masing-masing kelompok itu mempunyai pemimpin sendiri. Ansar dipimpin oleh Sa’ad ibn Ubadah, Muhajirin mendukung Abu Bakar dan Umar, sedang klan Hāshim memberikan dukungan kuat kepada ’Ali. Ansar mengklaim kekuasaan dengan alasan bahwa mereka merupakan bagian terbesar dari angkatan bersenjata muslim. Bahkan mereka menyarankan, sebagai alternatif, agar kedaulatan dibagi dua. Kaum Muhajirin mempertahankan kesatuan umat Islam dan mengklaim kekuasaan dengan alasan bahwa semua orang Arab hanya mau menerima kepemimpinan dari suku Quraish saja termasuk pula nas-nas Nabi saw tentang keunggulan Quraish. Klaim klan Hāshim didasarkan pada kedekatan atau pertalian mereka dengan keluarga Nabi –mengenai klaim berdasarkan nas dibicarakan nanti.14
Secara mendadak kelompok-kelompok tersebut, kecuali klan Hāshim, berkumpul di Saqifah Bani Sa’adah dan mengadakan perdebatan politik. Setelah tarik-ulur dengan mengklaim kelebihan masing-masing kelompok dan muncul kembalinya permusuhan antar suku, yaitu suku Aus dan Khazraj dalam Ansar setelah disulut oleh kaum Muhajirin, terpilihlah Abu Bakar sebagai pemersatu kedua kelompok tersebut.15
Sebagaimana disepakati sejarahwan, klan Hāshim, terutama ‘Ali yang tidak mengikuti perdebatan politik tersebut karena mengurusi jenazah Nabi saw, tidak sepakat atas keputusan mendadak di Saqifah tersebut. Mereka menolak keputusan tersebut karena mempunyai hak dalam masalah imamah yang diabaikan oleh kaum muslim. Beberapa pendukung ‘Ali menunda baiat atas Abū Bakar, bahkan adapula yang menolak membaiat Abū Bakar seperti Miqdad ibn Aswad, Salmān al-Fārisi, Abū Zar al-Ghifarī, sebagaimana Sa’ad ibn Ubadah, pemimpin Ansar.16 Konon, semua keluarga Hāshim baru membaiat Abu Bakar setelah wafatnya Fatimah yang sebelumnya berselisih pendapat dengan Abu Bakar mengenai tanah Fadak sebagai warisan Nabi saw atau tidak.17
Khilafah menurut Sunni
Berdasar riwayat diatas, jumhur Sunni berpendapat bahwa pemilihan khalifah setelah Nabi saw wafat dilaksanakan dengan musyawarah sebagaimana tradisi mereka dan yang dicontohkan Nabi dalam pelbagai urusan keduniawian. Hal ini dikarenakan tidak terdapatnya perintah yang tegas dalam al-Qur’ān berkenaan dengan pemilihan khalifah (pengganti) Rasululllah, kecuali perintah-perintah yang bersifat umum yang menyangkut persoalan khalifah atau lain-lainnya seperti ketika Allah mensifatkan kaum muslim dengan firman-Nya dan urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka, misalnya:
38. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.
159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Begitu pula tidak disebutkan di dalam sunnah penjelasan tentang sistem pemilihan khalifah, kecuali nasihat-nasihat yang melarang ikhtilaf atau perpecahan, seakan-akan syariat ingin menyerahkan urusan ini kepada kaum muslimin untuk diselesaikan oleh mereka sendiri.
Namun penjelasan bagaimana musyawarah pengangkatan imam menjadi persoalan bagi para sahabat dan generasi selanjutnya. Ini dibuktikan dengan perjalanan sejarah pengangkatan empat khalifah. Abu Bakar, khalifah pertama diangkat melalui “musyawarah” yang tergesa-gesa yang berhasil menyatukan umat Islam. ‘Umar sendiri diangkat melalui SK Abu Bakar dengan dukungan dua sahabat. ‘Uthmān dipilih berdasarkan ahl al-aqd wa al-hall (tokoh yang mengikat dan membubarkan) yang dibentuk sendiri oleh khalifah sebelumnya, Umar. ‘Ali diangkat dengan dukungan terbuka oleh masyarakat muslim secara langsung. Sistem monarki pun pernah berjalan dalam sejarah Islam, sebagaimana “dianjurkan” Muawiyah dan Marwan untuk mencegah timbulnya perang saudara.18 Terlepas dari fakta-fakta diatas, yang menjadi titik penting dalam imamah bagi Sunni adalah musyawarah antara kaum muslim, termasuk di dalamnya adalah ijma’ (kesepakatan bersama).19
Selain persoalan model pemilihan imam diatas, persoalan siapa yang dipilih juga disyaratkan oleh Sunni. Jumhur kelompok Sunni berpendapat bahwa imam harus dari kaum Quraish.20 Namun sebagian ulama, seperti Ibn Khaldun, al-Ghazali tidak sepakat dengan pembatasan khusus suku Quraish. Mereka membolehkan siapa saja berhak menjadi imam, sebagaimana pendapat yang diutarakan Khawarij dan Mu’tazilah. Lebih dalam, Ibn Khaldun mengajukan ketentuan bagi calon Imam, yaitu memiliki ashabiyah (dukungan komunal), karena kekuasaan sosial politik bersifat sementara, maka golongan yang memiliki kekuatan dan mewakili ashabiyah komunal pada waktu tertentu akan dapat meraih kekuasaan.21
Prinsip lainnya yang dipegang Sunni, yaitu baiat. Baiat secara umum dapat diartikan sebagai transaksi perjanjian antara pemimpin dengan umat Islam/rakyat dalam mendirikan imamah atau khilafah. Baiat dibagi dua kelompok. Pertama, baiat khusus, yaitu baiat yang dilakukan oleh ahl al-hall wa al-‘aqd. Baiat ini dilakukan dengan cara memaklumatkan persetujuan mereka terhadap seorang khalifah. Kedua, baiat umum, yaitu suatu baiat yang berlangsung setelah baiat khusus, berlaku untuk masyarakat umum. Baiat ini merupakan suatu ikrar kesetiaan, ketaatan dalam pengakuan atas pemerintah yang berkuasa serta tidak keluar dari kesatuan.22
Dalam permasalahan baiat, ulama Sunni berbeda pendapat tentang baiat mana yang menetapkan adanya seorang imam atau khalifah. Sebagian ulama, seperti al-Mawardi, Ahmad Shalabi berpendapat bahwa yang berwenang menetapkan dan membaiat imam adalah ahl al-hall wa al-‘aqd. Penetapan dan pembaiatan mereka adalah final, karena mereka wakil rakyat yang telah diberi kepercayaan. Sebagian ulama memandang bahwa ahl-al-hall wa al-‘aqd hanya berwenang mengemukakan calon khalifah, sedangkan yang menetapkan khalifah adalah umat atau rakyat. Dengan demikian suatu kepemimpinan tidak bisa ditetapkan kecuali setelah selesai baiat umat. Pendapat ini dikemukakan oleh ibn Taymiyah, Ahmad ibn Hanbal.23
Selanjutnya dalam persoalan khilafah, apakah harus ada khalifah tunggal untuk seluruh umat Islam? Atau tidak? Kebanyakan ulama menafsirkan bahwa khilafah harus dipimpin oleh satu khalifah atau pemimpin bagi seluruh umat Islam. Namun penulis lebih sepakat bahwa khilafah tidak harus diartikan menjadikan seluruh wilayah umat Islam dalam satu kepemimpinan, sebagaimana pendapat Ibn Taymiyah yang membolehkan mengangkat beberapa khalifah di dunia Islam.24 Hal ini sejalan dengan sejarah sosial Islam yang dalam sebagian masa-masa tersebut memiliki dua khalifah sekaligus, khalifah Abdullah bin Zubair semasa dengan Dinasti Umayyah, bahkan lebih dari tiga khalifah. Hal tersebut dikarenakan perbedaan paham atau penolakan kapasitas khalifah yang ada. Berikut adalah data dinasti besar yang ada dalam sejarah sosial Islam: dinasti Umayah di Damaskus (661-750 M); dinasti Abbasiyah di Baghdad (750-1258 M); dinasti Umayyah di Spanyol (756-1031 M); Dinasti Fatimiyah di Mesir (909-1171 M); dinasti Turki Usmani di Istanbul (1300-1922 M); kerajaan Safawi di Persia (1501-1786 M); kerajaan Mogul di India (1526-1858 M); dan beberapa dinasti-dinasti kecil lainnya di Timur dan Barat yang berdiri independen (terutama masa kelemahan dinasti Abbasiyah di Baghdad).25 Sebagaimana uraian sejarah diatas, diketahui bahwa dalam satu masa, umat Islam memiliki beberapa khalifah, misalnya dinasti Abbasiyah di Baghdad, dinasti Umayyah di Spanyol, dan dinasti Fatimiyah di Mesir.
Imamah menurut Shī’ah
Berbeda dengan Sunni, bagi kaum Shīah, imam setelah Nabi saw wafat adalah ‘Ali beserta keturunannya melalui Fatimah. Selain itu mereka juga tidak sepakat bahwa imam itu dipilih dengan dasar musyawarah, mereka menyebutkan bahwa pemilihan ‘Ali adalah berdasarkan nas. Menurut Shī’i tidak mungkin Nabi saw dengan segala kelebihannya, sebagai pemimpin sebuah gerakan revolusioner yang mengubah dunia tidak meninggalkan petunjuk apapun tentang masa depan Islam sepeninggalnya? Diantara yang dijadikan dasar kepemimpinan ‘Ali adalah Hadith yang menimbulkan kontroversi di kalangan sejarahwan, teologi dan ahli hadith, yakni hadith Ghadir Khum.
Hadith ini yang menceritakan perjalanan pulang Nabi saw dari haji wada. Dalam perjalanan tersebut, Nabi saw berhenti di daerah rawa Ghadir Khum. Disinilah turunlah ayat tabligh :
67. Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Ayat diatas, menurut golongan Shī’i turun berkenaan pengangkatan ‘Ali sebagai pemimpin.26 Selain itu ada pula momen penting, dimana Nabi saw bersabda yang kemudian biasa disebut hadith ghadir :27
rã8äQ oi 8äQ p rvãp oi dãp ktfeã rvqiéfRY rvqi #naoi
“Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maula (pemimpin)nya, maka Ali juga sebagai maula (pemimpin) nya. Ya Allah, cintailah yang mencintainya dan musuhi yang memusuhinya”.
Selain itu bagi Shīah Ithnā Ashariyah, yang mempunyai doktrin imamah, menyatakan bahwa imam sampai akhir zaman berjumlah 12 imam sesuai dengan sabda Nabi saw:
dä]éfQéZ5hwbækfb&%k)dä]ÖZ~f5=FQän)ükt~YéNj}û&1ûN^n}v =iö ã;slü
G}=]oiktfadä]dä]äiéæö#f^Y
“Sesungguhnya perkara (agama) ini tidak selesai sehingga berlalu dua belas khalifah. Jabir berkata, kemudian beliau (Nabi saw) mengatakan sesuatu dengan samar. Aku bertanya pada ayahku, “Apa yang beliau katakan?” Ia menjawab, “Semuanya dari golongan Quraish.”28
Bagi kaum Shīah hadith Ghadir merupakan penunjukan Nabi saw atas pribadi ‘Ali sebagai penggantinya dan merupakan wahyu dari Tuhan. Sedang bagi Sunni, ada banyak pendapat dalam menafsirkan hadith tersebut. Diantaranya bahwa hadith tersebut merupakan penunjukkan kedekatan ‘Ali, bukan kepemimpinan; Penunjukkan ‘Ali sebagai “guru spiritual”; menguatkan kepemimpinan ‘Ali di Yaman, yang waktu itu kurang disenangi pasukannya; bahkan ada yang langsung menjustifikasi bahwa hadith tersebut adalah hadith palsu.
Terlepas dari segi penafsiran diatas, ada satu pertanyaan penting, yaitu mengapa ‘Ali, sewaktu pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, tidak menggunakan dasar nas ini. Seandainya ia menggunakan dalil nas tersebut niscaya kaum muslim tidak berebut kursi kepemimpinan. Dalam sejarah, ‘Ali lebih menunjukkan ketidaksetujuannya atas pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah dan ia berhak dalam pemutusan kekhalifahan karena kedekatan (klan Hāshim yang merupakan inti Quraish), wawasan serta kelebihdahuluan dalam menerima Islam.29
Selain itu, pemunculan hadith Ghadir ini terjadi pada masa-masa belakangan, yaitu saat terjadi konflik ‘Ali dan Muawiyah, setelah pembunuhan ‘Uthmān. Adapun sahabat yang pertama kali memunculkan hadith Ghadir tersebut adalah ‘Ammar ibn Yasir.30 Selain itu sesaat sebelum kemangkatan ‘Ali, ia ditanya apakah kaum muslim harus membaiat al-Hasan, putranya, ‘Ali menjawab, “Aku tidak memerintah, juga tidak melarangmu, kamu lebih tahu.”31 Hal ini menunjukkan bahwa ia membiarkan kaum muslim mengatur urusan keduniaan sendiri dan ia tidak menunjuk pengganti setelahnya sebagaimana yang dicontohkan gurunya, Nabi Muhammad saw.
Namun Shi’ah memandang bahwa tindakan diam ‘Ali tersebut dikarenakan demi kemaslahatan dan kesatuan umat yang masih “bayi”, meski ia yakin paling berhak menjabat khalifah.32 Lebih lanjut, menurut Baqir Shadr, perselisihan antara ‘Ali dengan mayoritas sahabat tentang masalah imamah adalah dikarenakan perbedaan ijtihad. Kelompok minoritas ‘Ali yang tunduk sepenuhnya pada nas-nas agama dalam segala lini kehidupan dan kelompok mayoritas, termasuk ‘Umar ibn Khattab, yang hanya merasa tunduk pada hal-hal ibadah dan yang gaib dan memalingkan, meninggalkan nas pada bidang-bidang kehidupan duniawi sesuai dengan kemaslahatan.33
Penutup
Persoalan khilafah (sebagaimana definisi yang penulis kutip diawal bahasan, yaitu pengangkatan pemimpin sebagai pengganti Nabi saw atau dapat dikatakan mendirikan sebuah “negara” dalam Islam) memiliki beberapa penafsiran. Riwayat-riwayat yang merupakan sumber istimbat pembentukan doktrin ajaran Islam pun berbeda-beda. Perbedaan penafsiran (termasuk pula standar jarh wa ta’dil) riwayat tentang kepemimpinan setelah Nabi saw telah memecah kesatuan umat Islam. Kini kaum muslim terbagi menjadi dua kelompok besar, pertama mayoritas Sunni yang mendukung bahwa Nabi Muhammad saw tidak menunjuk khalifah setelahnya. Sebagai implikasi logisnya, musyawarah, yang sejak dahulu dikenal para sahabat, menempati unsur penting dalam imamah. Selain itu, tidak ada keharusan untuk mengangkat khalifah tunggal untuk seluruh umat Islam. Sebagaimana fakta adanya tiga khalifah pada satu masa, misalnya, dinasti Umayyah di Spanyol, dinasti Abbasiyah di Baghdad dan dinasti Fatimiyah di Mesir. Adapun baiat dan teori al-Aimmah min al-Quraish mengalami perubahan dan penafsiran kembali. Sedangkan mengenai model musyawarah, bentuk negara dan lain sebagainya menjadi perdebatan tiada henti sejalan dengan akal yang terus berpikir.
Kelompok kedua, minoritas Shī’ah yang menganggap bahwa Nabi saw menunjuk ‘Ali sebagai penggantinya. Beberapa riwayat menunjukkan bahwa kepemimpinan ‘Ali beserta keturunannya hanya terbatas sampai 12 imam. Namun Shī’ah sendiri terbagi menjadi beberapa kelompok karena setelah kemangkatan seorang imam, hampir dipastikan terjadi perpecahan karena perbedaan siapa yang diwasiati sebagai penerusnya. Menunggu kedatangan imam Mahdi, imam ke-12, munculkan istilah wilayah al-faqih dalam masalah imamah kaum Shī’ah yang terus-menerus dimodifikasi. Wa Allāh a’lam wa Huwa al-Haq.
BIBLIOGRAFI
Ahmad, Mumtaz. Ed. Ter. Ena Hadi. Masalah-Masalah Teori Politik Islam (Bandung: Mizan, 1996).
Al-Jurjani, Ali Muhammad. Kitab al-Ta’rifāt (Singapura: Al-Haramain, tth).
Al-Suyūtī, Jalāl al-Dīn. Al-Dur al-Manthūr II (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1990)
As-Salus, Ali Ahmad. Ensiklopedi Sunnah-Syiah 1 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001).
Ayoub, Mahmoud M. ter. Munir A. Mu’in, The Crisis of Muslim History (Bandung: Mizan, 2004).
Dahlan, Abdul Azis (et al). Ensiklopedi Hukum Islam 1, II & III (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999).
Dewan Redaksi EI, Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997).
Hashem, O. Syi’ah Ditolak Syi’ah Dicari (Jakarta: Al-Huda, 2000).
Hughes, Thomas Patrick. Dictionary Islam (New Delhi: Oriental Books Print Corporation, 1976).
Jafri, S. H. M. Dari Saqifah Sampai Imamah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995).
Modarresee, Mohammed Reza. ter. Hamideh Elahinia. Syi’ah dalam Sunah (Tt: Citra, 2005).
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam II (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997),
Rakhmat, Jalaludin. Skisme dalam Islam, Sebuah Telaah Ulang II dilansir www.isnet.org.
End Note
1. Ali Ahmad as-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah 1 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001),10.
2. Thomas Patrick Hughes, Dictionary Islam (New Delhi: Oriental Books Print Corporation, 1976), 203.
3. Ali Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifāt (Singapura: Al-Haramain, tth), 35.
4. Abdul Azis Dahlan (et al). Ensiklopedi Hukum Islam II1 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), 918.
5. As-Salus, 10.
6. Dikutip dari Ibn Qutaibah, Al-Imamah wa al-Siyasah aw Tarikh al-Khulafa’. Lihat Mahmoud M. Ayoub, ter. Munir A. Mu’in, The Crisis of Muslim History (Bandung: Mizan, 2004), 42.
7. Ibid.,43.
8. Jalaludin Rakhmat, Skisme dalam Islam, Sebuah Telaah Ulang II. www.isnet.org; S. H. M. Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), 39-42.
9. Dikutip dari Ahmad, Musnad Ahmad ibn Hanbal. Lihat As-Salus., 149.
10. Mahmoud M. Ayoub, 52 & 74.
11. Kemungkinan besar karena dendam kesumat antara ‘Ali dengan Quraish Makkah –termasuk pembesar-pembesarnya- yang masuk Islam saat pembukaan Makkah (fath al-Makkah). Banyak anggota keluarga dari Quraish Makkah tersebut yang terbunuh karena tebasan pedang ‘Ali pada masa-masa perang sebelum fath al-Makkah. Lihat As-Salus, 25.
12. Mahmoud M. Ayoub, 74.
13. Jalaludin Rakhmat, Skisme dalam Islam, Sebuah Telaah Ulang II. www.isnet.org.
14. Mumtaz Ahmad, Ed. Ter. Ena Hadi. Masalah-Masalah Teori Politik Islam (Bandung: Mizan, 1996), 64.
15. Mahmoud M. Ayoub, 49-57.
16. Ibid., 55; As-Salus, 17; Jafri, 91-94.
17. Ibid., 51.
18. Sebagian ulama membenarkan kebolehan monarki dengan berbagai alasan. Pembenaran tersebut mungkin karena masalah imamah merupakan persoalan ijtihad. Namun sebagian ulama, seperti al-Baghdadi, Abu Ya’la, Ibn Hazm, Ibn Khaldun menyatakan bahwa imamah sama sekali bukanlah suatu instansi turun temurun, bahkan menurut Ibn Khaldun sistem monarki terlarang oleh agama. Mumtaz Ahmad, 95-100.
19. Ibid., 74; Dalam prinsip musyawarah termasuk pula adanya ijma’ (pendapat mayoritas). Meski mayoritas dan minoritas tidak selalu mengikuti jalan yang benar, namun juga salah apabila mengabaikan pendapat mayoritas tentang bagaimana mengatur urusan keduniawian serta kepentingan-kepentingan umum. Ibid., 108.
20. Suku Quraish adalah suku yang berpengaruh kuat pada masa pra dan sesudah kedatangan Islam. Suku ini dikenal sebagai pengurus bayt Allāh dan penguasa kota Makkah. Lebih jauh, teori al-Aimmah min al-Quraish sudah kehilangan dukungan semenjak runtuhnya kerajaan Turki Uthmani. Dewan Redaksi EI, Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), 78 & 81. Yang menjadi pertanyaan penulis, seandainya al-Aimmah min al-Quraish benar-benar petunjuk bagi imamah, mestinya kaum muslim, terutama Ansar tidak mempermasalahkan imamah dan argumen Shīah pun bisa digunakan karena mereka adalah pendukung ahl al-bait yang berasal dari klan Hashim, inti dari suku Quraish ataukah teori al-Aimmah min al-Quraish tersebut hanyalah penafsiran atas keutamaan kaum Quraish?
21. Mumtaz Ahmad, 90-91 & 98.
22. Abdul Azis Dahlan (et al). Ensiklopedi Hukum Islam 1 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), 180.
23. Ibid., 181.
24. Ibid. II, 625.
25. Ibid., III, 920; Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam II (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), 63-67.
26. Riwayat diatas mempunyai banyak sanad dan beberapa sahabat, seperti Ibn Mas’ud membaca ayat tersebut dengan: Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu bahwa ‘Ali adalah wali mukminin, dan jika ......Lihat Jalāl al-Dīn al-Suyūtī. Al-Dur al-Manthūr II (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), 528; O. Hashem, Syi’ah Ditolak Syi’ah Dicari (Jakarta: Al-Huda, 2000), 325.
27. Hadith ini bersumber dari berbagai riwayat hadith, sejarah dan sastra. Diriwayatkan oleh 110 sahabat Nabi saw. Lihat Ibid., 329-333.
28. Hadith ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan sebagainya dengan berbagai redaksi. Bahkan dalam Kitab Perjanjian Lama pun terdapat nubuat adanya 12 pemimpin dari keturunan Ismail. Ibid., 339-344; Mohammed Reza Modarresee, ter. Hamideh Elahinia. Syi’ah dalam Sunah (Tt: Citra, 2005), 15-19.
29. Mahmoud M. Ayoub, 51-52.
30. Ibid., 72.
31. Ibid., 208.
32. Jalaludin Rakhmat, Skisme dalam Islam, Sebuah Telaah Ulang II. www.isnet.org.
33. Ibid.
0 comments:
Posting Komentar