Wahai saudaraku! Tetaplah menyakini dan membenarkan terhadap apa pun yang tampak keluar dari komunitas sufi dan jangan sekali-kali berprasangka negatif terhadap penafsiran yang mereka ajukan mengenai suatu ayat al-Qur’an dan hadits dengan menduga bahwa mereka sedang melakukan pembelokan terhadap makna literal keduanya. Karena yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa makna literal ayat dan hadis memiliki pemahaman yang berbeda-beda berdasarkan kapasitas dan kualitas masing-masing pembacanya.
Memang di antara pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman yang ditarik secara langsung dari teks ayat dan hadis, serta pemahaman yang umumnya disampaikan oleh kebanyakan orang. Namun di sisi lain, ada pemahaman-pemahaman lainnya yang sifatnya sangat mendalam mengenai ayat dan hadis itu dan itu hanya bisa dipahami oleh mereka yang dibuka tirainya oleh Allah swt mengenai misteri-misteri pemahaman yang terkandung pada ayat dan hadis itu.
Dalam sebuah hadis Nabi dijelaskan bahwa pada setiap ayat itu terkandung pemahaman eksplisit (zhahir), pemahamam implisit (bathin), pemahaman pembatas (hadd), dan pemahaman pemertemu (mathla’), sekitar tujuh sampai tujuh puluh pemahaman.
Pemahaman eksplisit adalah pemahaman rasional dan dapat diterima yang diperoleh berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang bermanfaat di mana penngetahuan-pengetahuan itu mampu melahirkan perbuatan-perbuatan positif (al-a’mal al-shalihah). Pemahaman implisit adalah pengetahuan-pengetahuan ketuhanan (al-ma’arif al-ilahiyyat). Pemahaman mathla’ adalah pemahaman yang merupakan titik temu antara masing-masing titik eksplisit maupun implisit. Sedang pemahaman hadd merupakan jalan untuk melihat secara integral dan objektif.
Wahai saudaraku! Pahamilah baik-baik dan jangan sampai anda terhalangi oleh pernyataan orang-orang yang gemar mendebat dan para penentang untuk menerima makna-makna yang berasal dari pemahaman-pemahaman pengetahuan komunitas sufi yang masih dianggap asing ini.
Mereka yang tidak objektif itu mengatakan bahwa makna-makna ini merupakan penyimpangan terhadap al-Qur’an dan al-hadits. Padahal hal seperti ini bukanlah merupakan suatu penyimpangan. Penyimpangan baru bisa dikatakan terjadi, jika para sufi itu mengatakan, “tidak ada makna lain dari al-Qur’an dan al-Hadits selain makna yang telah kami kemukakan.” Tapi pada kenyataannya para sufi itu tidak pernah mengatakan demikian. Mereka bahkan tetap mengakui makna-makna eksplisit pada posisi literalnya sehingga dengan demikian dapat ditemukan tema-tema sentral dari ayat dan hadits itu.
Pemahaman tentang Allah swt yang mereka dapati dalam diri mereka sesungguhnya merupakan pemahaman yang diberikan Allah swt kepada mereka atas anugerah-Nya dan Allah swt juga telah membukakan tirai hati mereka untuk memahami pengetahuan itu atas rahmat dan limpahan-Nya. Maksud dari “al-Fath” (pembukaan tirai) sendiri dalam bahasa yang sering dipergunakan dalam komunitas sufi bermakna tersingkapnya tirai jiwa, hati, ruh, dan misteri dari al-Qur’an dan al-Hadits yang dibawa oleh Nabi.
Karenanya, seorang wali Allah swt (al-wali) tidaklah datang dengan membawa syariat baru. Mereka hanya datang dengan membawa pemahaman baru terhadap al-Qur’an dan al-Hadits yang belum diketahui oleh orang lain sebelumnya. Karena itu, tidak terlampau mengagetkan, misalnya, jika ada sekelompok orang yang tidak mempercayai komunitas sufi dan merasa asing dengan pernyataan yang dilontarkan para sufi. Mereka lalu mengatakan dengan nada sinis dan meremehkan, “Pernyataan ini belum pernah diungkapkan orang-orang sebelumnya.”
Karenanya yang terbaik adalah mengambil sesuatu yang datang dari komunitas sufi dengan dilandasi kepercayaan yang mendalam dan mengambil manfaat dari mereka yang telah menyampaikan pemahaman itu. Karena seseorang yang kegiatannya cuma menolak dan mengingkari eksistensi komunitas sufi, ia tidak akan memperoleh manfaat dari salah satu wali Allah swt yang hidup pada masanya. Cukuplah itu menjadi kerugian yang nyata.
Lagi pula belum tentu apa yang dipahami oleh penentang terhadap apa yang disampaikan seorang sufi itu sama dengan apa yang dimaksudkan oleh sufi itu. Ini pernah terjadi pada seorang ulama dari Baghdad. Bahwa suatu ketika ia pergi ke Masjid Agung. Ia mendengar lamat-lamat seseorang yang sedang minum khamr bersyair:
“Ketika tanggal dua puluh Sya’ban telah lewat
Maka lanjutkan mabukmu di malam hari sampai siangnya
Dan jangan mabuk dengan gelas-gelas kecil
Karena waktu akan terasa sempit dengan yang kecil-kecil “
Dengan wajah bingung yang sangat kentara, ulama tadi pergi meninggalkan orang yang sedang teler itu untuk kemudian pergi menuju Makkah. Tragisnya ulama itu tetap saja dalam kondisi seperti itu sampai menemui ajalnya.
Sesungguhnya hanya mereka yang terhalang hatinya dan tidak dibukakan pusat pemahaman hatinya oleh Allah swt yang tidak mampu mendengar syair-syair dan pujian-pujian. Karena jika Allah swt telah membukakan tirai pusat pemahaman hatinya, niscaya ia akan mampu melihat semua itu dengan kejernihan tujuan serta mampu mendengarnya dengan kedalaman pemahaman serta cahaya makrifat. Ia juga akan mampu mengambil isyarat yang terkandung dari makna-makna misteri yang tersembunyi. Ia pun akan mengikuti ungkapan yang terbaik, sesuai dengan apa yang telah tertanam dalam hatinya.
Dalam satu ayat, Allah swt berfirman, “Sampaikan kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan dan kemudian mengikuti apa yang terbaik dari perkataan itu. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (al-Zumar [39]: 17-18).
Abu al-Hasan al-Syadzili suatu saat berkata, “Sungguh Allah swt telah menguji komunitas sufi ini dengan makhluk-makhluk Allah swt yang lain berupa hujatan yang dilancarkan orang-orang tukang debat.”
Anehnya sedikit sekali bisa anda temukan seseorang di antara mereka yang dibukakan hatinya oleh Allah swt berbalik untuk membenarkan seseorang yang benar-benar wali Allah. Bahkan orang tadi dengan sengit mengatakan, “Benar, Allah swt memang memiliki orang yang dikasihi-Nya dan orang-orang terpilih yang benar-benar ada. Tapi di mana mereka itu?”
Dengan demikian, jangan pernah merekomendasikan satu nama wali Allah swt pada orang-orang seperti itu. Karena orang-orang itu akan menolak dengan berbagai alasan semua bentuk keistimewaan yang telah diberikan Allah swt kepada wali-Nya itu dan dengan sekuat tenaga mereka mengumbar argumentasi-argumentasi yang intinya menolak keberadaan nama yang telah direkomendasikan bahwa nama yang disebutkan itu bukanlah wali Allah.
Tampaknya memang sudah tidak terlihat lagi baginya bahwa sifat-sifat wali Allah swt itu hanya bisa diketahui oleh wali-wali Allah swt saja. Maka atas hak apa seseorang yang bukan wali Allah swt menafikan keterkasihan Allah itu dari seseorang? Tentu sikap seperti ini tidak lain hanyalah murni disebabkan karena fanatisme yang berlebihan. Seperti yang dapat kita lihat pada masa kita sekarang ini, bagaimana pengingkaran Ibn Taymiyah terhadap kami dan sahabat-sahabat kami yang telah mencapai tahap makrifatullah.
Wahai saudaraku! Anda patut waspada pada orang-orang yang punya karakter seperti ini. Anda juga sepatutnya lari dari majelis mereka. Seperti anda lari ketika menemui binatang buas yang memangsa. Semoga Allah swt menjadikan anda dan kami sebagai golongan orang-orang yang membenarkan wali Allah swt dan meyakini karamah-karamah atas anugerah dan karunia-Nya.
Source: Abd al-Wahhab al-Sya’rani, al-Thabaqat al-Kubra: al-Musammat bi Lawaqih al-Anwar fi Thabaqat al-Akhyar, ter. Beranda Sang Sufi (Jakarta: Hikmah, 2003)
0 comments:
Posting Komentar