Percakapan Imam Ali as. Dengan Kumayl bin Ziyad tentang para Wali Tuhan, yang selalu ada pada setiap zaman:
هجم بهم العلم على حقيقة البصيرة وباشروا روح اليقين واستلانوا مااستعوره المترفون وأنسوا بما استوحش منه الجاهلون وصحبوا الدنيا بأبدان أرواحها معلقة بالمحل الأعلى
Pengetahuan sejati datang menyerbu para wali Allah dari lubuk hati yang paling dalam (bashirah). Mereka telah menyentuh ruh al-yaqin. Segala sesuatu yang sukar bagi mereka yang suka bermewah-mewahan (mutraf), terasa sangat ringan bagi para wali Allah. Apa yang ditakuti oleh para jahil, mereka hadapi dengan mesra. Mereka hidup bersama orang-orang biasa, tapi ruh-ruh mereka berada jauh di tempat tertinggi.
ولعله إلى هذا الحد إنما يتيسرله هذه المعارفة أحيانا ثم يتدرج إلى أن يكون له متى شاء
Sampai pada tingkatan ini datangnya ekstase (yang disertai pengetahuan sejati tentang Allah) itu sesekali saja. Tetapi secara berangsur-angsur ia akan sampai pada suatu tingkatan di mana ia bisa memperoleh ekstase sekehendaknya.
ثم إنه ليتقدم هذه الرتبة فلا يتوقف أمره إلى مشيئته بل كلما لاحظ شيئا لاحظ غيره وإن لم تكن ملاحظته للإعتبار فيسنح له تعريج عن عالم الزور إلى عالم الحق مستقر به ويحتف حوله الغافلون
Dari tingkatan ini ia masih akan melangkah lebih jauh lagi pada suatu tingkatan di mana ekstase tidak bisa lagi dikendalikan kehendaknya. Setiap kali ia melihat seseuatu, ia pasti melihat Allah di baliknya. Bahkan sekalipun ia tidak melihat sesuatu untuk i’tibar (menarik pelajaran di balik segala sesuatu}, maka hatinya akan tetap saja naik dari alam kepalsuan ini menuju alam Allah. Ia akan terus begitu tanpa diketahui oleh orang-orang sekitarnya.
فإذا عبر الرياضة إلى النيل صار سره مرأة مجلوة محاذيا بها شطر الحق ودرت عليه اللذات العلى وفرح بنفسه لما بها من أثر الحق وكان له نظرإلى نفسه وكان بعد مترددا
Jika riyadhah telah mencapai tujuannya, maka sang ‘arif akan melihat hatinya seperti cermin yang bersih dan mengkilat di mana Allah dengan jelas dapat terpantul darinya. Ia akan dihujani oleh kelezatan-kelezatan maknawi yang tak terperikan. Dirinya begitu bahagia karena sapaan Allah. Dalam keadaan seperti ini ia bingung di antara dua hal: melihat Allah dan dirinya. (sama halnya dengan orang yang berhadapan dengan cermin, kadang-kadang ia memusatkan perhatiannya pada gambar yang tercermin darinya, dan terkadang memusatkan perhatiannya pada cermin yang memantulkan gambaran dirinya).
ثم إنه ليغيب عن نفسه فيلحظ جناب القدس فقط وإن لحظ نفسه فمن حيث هي بزينتها وهناك يحق الوصول.
Pada tahapan berikutnya, seorang ‘arif akan terlupa akan dirinya dan ia hanya melihat Allah. Atau sekalipun ia melihat dirinya, maka ia melihat dirinya semata-mata karena memang dirinya telah menjadi cermin –yang memantulkan- Allah, sama sekali bukan karena merasa dirinya indah (sama halnya dengan seseorang yang melihat bayangan dirinya di depan cermin, ia akan melihat bayangannya saja; sekalipun ia tidak memperhatikan cerminnya, tapi cermin itu akan kelihatan ketika melihat bayangan dirinya –meski cermin tidak dilihat karena keindahannya). Pada titik inilah ruhnya mencapai kesatuan dengan-Nya (dan dengan demikian sempurnalah perjalanan ruhaninya dari makhluk kepada Allah)
Source: Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan (An Introduction to The Islam Science). Terj. Mengenal Irfan, Meniti Maqam-maqam Kearifan (Jakarta: Iiman dan Hikmah, 2002)
0 comments:
Posting Komentar