"Ingin meningkatkan traffic pengunjung dan popularity web anda secara cepat dan tak terbatas...? ...Serahkan pada saya..., Saya akan melakukannya untuk anda GRATIS...! ...Klik disini-1 dan disini-2"

Sabtu, 04 September 2010

Budha merupakan agama Ilahi

Dalam rentang sejarah, manusia selalu tak pernah lepas dari masalah agama. Ini karena hanya melaluinyalah manusia bisa menyempurnakan wujudnya dan berhubungan dengan Kekasih Sejatinya. Akan tetapi sejarah juga membuktikan bahwa dalam rentang panjang lembarannya, perjalanan manusia menuju puncak kesempurnaannya ini dikotori oleh agama-agama bumi (ardhi) yang ternoda. Agama malah dinodai dan dijadikan ajang untuk memenuhi hawa nafsu dan mencari kedudukan dunia.

Budha pun sepertinya mempunyai nasib yang sama. Sebagian orang berpendapat bahwa Budha adalah salah seorang nabi Allah dan ajaran pertamanya adalah bersumber dari wahyu. Kendati setelah itu ajarannya terjerembab pada kubangan penyimpangan besar. Pandangan ini dapat dikemukakan dalam dua dalil utama, yaitu mengenai Esensi ajaran Buddhisme Kuno dan kesamaan antara ‘Budha’ dengan ‘Bulher dan Yudzasif’.

Sebagian orang berkata bahwa Budha adalah salah seorang nabi Allah dan ajaran pertamanya adalah bersumber dari wahyu. Kendati setelah itu, terjerembab pada kubangan penyimpangan besar. Pandangan ini dapat dikemukakan dalam dua dalil:

Dalil pertama: Esensi Budhisme Kuno

A. Esensi Budhisme kuno

Esensi Budhisme kuno sangat jelas dan sama sekali tidak memerlukan perubahan dan konstruksi filsafat dan tanpa pelbagai enigma yang menimbun rahasia. Menciptakan rahasia, rumusan, kerumitan filsafat dan irfan adalah rekaaan dan kerjaan orang-orang Budha setelahnya.[1] Budhisme adalah membangunkan dan menyadarkan masyarakat. Landasan pertama agama ini berpijak pada menghilangkan penderitaan, kegelisahan personal dan sosial, dan ketenangan lahir dan batin.[2]

Salah satu unsur penting agama adalah kesederhanaannya sedemikian sehingga konsep-konsepnya dengan mudah dapat dipahami secara umum. Tanpa ragu, kita tidak dapat menerima secara lahir agama yang dijejali selaksa konsep yang tidak dapat dipahami, pelik dan membingungkan. Sementara pada saat yang sama ia berbicara kepada seluruh manusia. Gambaran seorang arif yang bertauhid atau seorang filosof rasionalis, mengajarkan agama secara umum, menjuntai dan seluruh orang mampu memahaminya. Bukan dengan bahasa yang jauh dari pemahaman umat. Atas alasan ini, pembawa agama-agama wahyu tidak menjelaskan ajaran-ajarannya dengan metode irfani atau filosofis, melainkan mereka membawa ajaran-ajaran dan makrifat yang dapat diterima oleh fitrah manusia dan dipahami dengan mudah oleh manusia.

Akan tetapi, ucapan yang disebutkan di atas tidak bermakna bahwa agama-agama Ilahi hanya menyoroti masalah permukaan saja. Pada seluruh agama, terpendam maarif yang menjulang dan mendalam. Akan tetapi pembahasan di sini bukanlah masalah kedalaman atau kesubliman sebuah ajaran agama. Budhisme kuno berusaha sedapat mungkin menghindar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis. Budha memilih untuk diam di hadapan pelbagai pertanyaan metafisis dan jarang sekali ia menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini dimana keberadaan ruh dan bagaimana mencapai kebahagiaan, ia tidak dapat mentranformasinya kepada yang lain.[3] Sikap sedemikian dalam menghadapai pelbagai persoalan metafisis adalah sikap yang diharapkan dari sebuah agama Ilahi. Nabi Saw dalam menjawab pelbagai persoalan metafisis seperti ruh memilih sikap seperti ini.[4]

Budhisme kuno meyakini bahwa problema hakiki manusia dalam pembahasan filsafat dan rasionalitas tidaklah ternodai oleh delusi, melainkan dapat disimpulkan pada pelbagai pencerapan dan kecendrungannya. Dan harus dilalui dengan metode praktis sehingga dapat menjinakkan pelbagai kepentingan dan syahwat. Dan terkadang manusia dengan menundukkan pelbagai syahwat ini ia akan meraih keceriaan dan mentari wujudnya akan bersinar terang.[5] Kita lihat bahwa pendekatan semacam ini juga terdapat dalam ajaran-ajaran agama Islam. Dalam Islam ajaran-ajaran seperti ini juga diangkat adalah bahwa ketika manusia mensucikan jiwanya dari selain Tuhan maka hikmah akan mengalir deras dari hatinya melalui lisannya.[6] Karena itu, bahwa dengan memperhatikan kriteria-kriteria berikut ini maka budhisme kuno dapat disebut sebagai agama Ilahi:

1. Sumber maknawi dan kesiapan Budhisme.[7]

2. Adanya beberapa redaksi dalam kitab suci agama Budha yang menunjukkan bahwa orang-orang Budha adalah orang yang menganut ajaran tauhid secara hakiki.[8]

3. Perjalanan spiritual Budha dari alam material menuju alam wahdah. Dan keluarnya dari alam wahdah untuk menangkap manusia-manusia.[9]

4. Keyakinan terhadap kemustahilan mengenal dzat Tuhan.[10]

5. Keyakinan terhadap tidak langgengnya dunia.[11]

6. Keyakinan terhadap adanya dimensi ruhani pada diri manusia.[12]

7. Keyakinan bahwa dengan kematian ragawi manusia, ia tidak akan binasa[13] dan ruh akan menjalani kehidupan yang baru.[14]

8. Keyakinan bahwa manusia setelah kematian ragawinya, akan melanjutkan kehidupannya dalam bentuk raga mitsali (imaginalis).[15]


Pelbagai ajaran keyakinan Budhisme pada awal kemunculannya:

1. Tuhan dalam ajaran Budha:

Budha sekali-kali tidak pernah berkata-kata tentang dzat TUhan dan tidak menjadikannya sebagai pandangan jawalnya; lantaran ia memandang mustahil untuk dapat memahami kedalaman dzat Tuhan.[16] Banyak riwayat dalam Islam yang dinukil dari para Imam Syiah yang melarang pemikiran dan pembicaraan tentang dzat Tuhan.[17] Budhisme kiwari menghendaki adanya penyingkapan (kasyf) dan mukasyafah (disclosure) terhadap Sang Pencipta Semesta, bukan menetapkan dan berargumen tentangnya.[18]

Ajaran ini memiliki akar pada ajaran-ajaran Budha kuno; karena Budha memandang bahwa kayu (landasan) penalaran tidak mampu menjejakkan kakinya pada domain metafisika. Kita meyakini bahwa akal memiliki izin untuk berpikir dan bernalar pada alam metafisika, akan tetapi konsekuensi dari pemikiran ini menjelma dalam bentuk irfan teoritis (nazhari) dan filsafat: Aku tahu bahwa kita tidak mengetahui apa pun tentang alam non-material. Iya! Dapat mengakses atmosfer non-material hanya dapat dicapai dengan menjadi non-material dan hal itu dapat diperoleh dengan melepaskan dari segala belenggu alam materi. Dan inilah titik common (persamaan) antara ajaran-ajaran Islam – agama terakhir yang diterima Allah Swt – dan ajaran-ajaran kuno Budhisme.

Mengenai hal ini, dalam penggalan redaksi kitab suci Budha kiwari kita menjumpai: "Aku adalah Brahma. Aku adalah Tuhan Mahaagung dan Mahatinggi. Aku tidak terlahirkan dan bukan seorang makhluk. Aku menciptakan semesta. Aku adalah Tuhan alam semesta. Aku dapat mencipta, merubah, mengganti, dan memberikan kehidupan. Aku adalah Bapak dan Tuan segala sesuatu."[19] Redaksi ini seruan yang menawan hati ayat-ayat tauhid bernada merdu hinggap di benak orang yang mendengarnya. Sementara berdasarkan sebagian redaksi lainnya Nirvana (Fa'al maa yasya; artinya Dia melakukan apa saja yang dikehendakinya) yang merupakan entitas sarmadi, tetap, qadim, tanpa masa, tidak mati dan tidak menghuni dunia, kebaikan murni, tunggal, satu-satunya empu kesempurnaan dan tidak terjangkau oleh kehidupan fana.[20]

Akan tetapi kita perhatikan bahwa apa yang disabdakan Budha pendiri Budhisme kuno, berkebalikan dengan yang dikemukakan oleh Budhisme kiwari. Ajaran Budha kuno kuno sekali-kali tidak pernah memandang Budha sebagai Tuhan mutlak dan entitas tanpa batas. Budhisme kuno tidak beriman kepada Tuhan yang bercirikan manusia.[21] Dari sisi lain, pendiri Budha memandang bahwa seluruh fenomena semesta adalah binasa, sirna dan berubah-ubah.[22] Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa sifat-sifat yang disebutkan sebelumnya terkait dengan "Brahma" dan "Nirvana" hanya dapat dicocokkan dengan Tuhan yang Esa, sosok Tuhan tidak terkandung pada cakupan pemikiran dan sekali-kali tidak bersifat materi dan tidak terbatas.

2. Semesta dalam ajaran Budha

Budha kuno sedemikan ia memperhatikan dunia sehingga ia tidak memandang dunia selain petunjuk dan baiknya perbuatan manusia. Dalam pandangannya, semesta merupakan sebuah realitas yang transient (berlalu) dan berubah-ubah dimana mengejar dunia hanya menimbulkan kesengsaraan dan menghilangkan ketenangan. Realitas sedemikian tidak layak untuk dijadikan sebagai sandaran hati.[23]

Sementara Imam Ja'far Shadiq As mengilustrasikan berubah-rubahnya dunia sedemikian: "Apabila dunia adalah fana dan tempat lintasan lalu mengapa harus menyandarkan hati kepadanya."[24] Imam Hasan Mujtaba As mengungkapkan realitas dunia dengan ilustrasi yang lain: "Sesungguhnya dunia merupakan tempat segala kesengsaraan dan ujian dan segala yang ada di dalamnya akan binasa."[25]

3. Manusia dalam ajaran Budha

Ajaran Budha kuno menegaskan tentang adanya dimensi ruhani dalam diri manusia. Manusia tidak akan sirna dengan kematian jasmaninya. Melainkan ia akan terrangkum dalam bentuk jasmani baru (mitsali, malakuti) untuk melanjutkan kehidupannya.[26] Budha meyakini keharusan adanya bimbingan (manusia sempurna yaitu seorang nabi) dan kewajiban untuk mengikuti jejaknya. Akan tetapi ia juga meyakini bahwa manusia harus melintasi jalan kesempurnaannya sendiri-sendiri.[27] Karena itu manusia harus mengikuti jejak langkah seorang pembimbing (nabi) untuk dapat melintasi jalan kesempurnaan, kemudian saat ia menaklukkan syahwatnya ia laksana pelita benderang dan menemukan kebahagiaan seutuhnya.[28]

Keyakinan terhadap unsur metafisika pada diri manusia dan kehidupan setelah kematian, juga merupakan kemestian adanya pembimbing dan manusia sempurna untuk membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia. Demikian juga kemestian adanya kebebasan dalam diri manusia untuk meniti jalan kesempurnaan ini yang merupakan salah satu hal yang pasti dalam agama Islam.

Dengan meninjau secara global ajaran-ajaran Budha kuno, anggapan bahwa ajaran Budha kiwari yang memiliki akar wahyu sangat menarik perhatian dan amat mengherankan.

Karena itulah disebutkan bahwa Budhisme kiwari tidak termasuk sebagai agama monotheisme dengan beberapa dalil dan telah mengambil jarak yang menganga dengan ajaran-ajaran Budha kuno, karena:

1. Meyakini reinkarnasi.[29]

2. Menyembah Budha.[30]

3. Anti rasionalitas dan meyakini sihir, magik dan penguasaaan terhadap setan dan jin merupakan bagian dari keyakinan Budhisme kiwari, sementara Budha memperingatkan pengikutnya terhadap masalah ini.[31]

4. Keyakinan terhadap pembacaan lagu-lagu untuk mengenang masa semasa Budha menjabat di pemerintahan, mengenang setan-setan, tuhan-tuhan dan maujud-maujud rekaan untuk memperoleh pengetahuan yang hanya diciptakan pada angan-angan manusia masa jahiliyah. Budha mengingkari jalan yang ditempuh oleh Budhisme kiwari dan sangat menekankan pada usaha manusia untuk melintasi jalan kesempurnaan.

5. Menyebarnya konsep-konsep yang tidak jelas, pelik, dan tanpa dasar dalam ajaran Budhisme kiwari. Budhisme kuno tidak memiliki konsep-konsep pelik seperti ini. Ajaran Budha merupakan ajaran yang terang laksana purnama dan mentari. [32]


Dalil kedua: Kisah "Blohar dan Yudzasif" dan pencocokkannya atas "Budha"


Kisah ini pertama kali disebutkan pada kitab Kamal al-Din[33] dan setelah itu pada kitab Bihar al-Anwar[34] serta 'Ain al-Hayat.[35] Allamah Majlisi Ra menempatkan riwayat ini pada bilangan contoh-contoh yang tiada bandingnannya dalam memutus hubungan dengan dunia dan mengetahui segala celanya. Beliau memandang hikmat-hikmat sedemikian menyebabkan terlepasnya manusia dan tidak perlunya mengetahui masalah-masalah seperti materi (matter), jism (hayula), form (shurat) yang hanya menghabiskan usia dan tidak sampainya manusia kepada kebahagiaan dan ketenangan.[36] Dalam kisah ini, disebutkan bahwa Yudzasif merupakan salah satu nabi-nabi Ilahi.[37]

Terdapat bukti-bukti bahwa "Yudzasif" adalah orang yang disebutkan dalam hadis adalah Budha dalam ajaran Budha. Di sini kita akan menyebutkan dua dalil saja: 1). Bukti bahasa. 2). Bentuk tulisan. Nama-nama khusus Persia memiliki model yang lain dalam bahasa Arab. Sebagaimana kebanyakan bahkan seluruh huruf "pa" dalam bahasa Persia berubah menjadi "fa" atau "ba" dalam bahasa Arab. Orang-orang Arab menyebut "Pars" menjadi "Fars" dan Pahlevi menjadi "Fahlevi atau perubahan yang lebih banyak seperti "Pardis" menjadi "Firdaus." "Dal" yang pada masa lalu seperti "dza" dalam bahasa Arab yang pengucapannya lebih dekat kepada "Za" ditulis dengan huruf "Dzal" atau "Zaa," sebagaimana "Yudasif" ditulis menjadi "Yuzasif" dan "Buzurghmehr" ditulis menjadi "Budzarjamahr." Pada hakikatnya, nama-nama khusus senantisa mengalami perubahan, pergantian dan perbedaan bacaan sepanjang perjalanan sejarah. Lagi bukti lainnya dalam pembahasan ini dimana pada bahasa Ma'qul "Budhai Syakmunes" disebut sebagai "Burkamal Cakyamunes."

Bukti kedua: Terdapat kemiripan yang sangat dekat antara kehidupan Budha dan kisah Yudzasif.[38] Sebagian kemiripan-kemiripan ini dua kisah ini menjelaskan:

1. Tempat kelahiran (India) dan berasal dari kaum ningrat.[39]

2. Nubuat (prediksi) ahli perbintangan tentang kepemimpinan dan kenabiannya.[40]

3. Penegasan Budha dan Yudzasif atas fananya dunia dan sifatnya yang sementara (transient). Dengan memperhatikan dalil kedua atas pandangan yang telah disampaikan maka jawaban dari pertanyaan yang diajukan di atas menjadi jelas.

Akhir kata, kembali kami menegaskan ucapan pertama bahwa hasil dari dua dalil yang disebutkan menegaskan bahwa ajaran Budha kuno merupakan ajaran tauhid. Sebagaimana disebutkan bahwa ajaran Budha sebagiamana ajaran Zoroaster dan Kristen yang mengambil jarak menganga dari ajaran-ajaran asli para nabi mereka dan terjerembab pada kubangan penyimpangan. []


------
[1]. Jalaluddin Asytiyani, 'Irfân-e Budhism, hal. 77.

[2]. Ibid, hal. 364

[3]. 'Irfan Budhism wa Janism, hal. 226. Silahkan lihat, Islam Syinasi Din Tathbiqi, Manucher Khudayar Muhibbi, hal. 160; Will Durant, Tarikh-e Tamaddan, Ahmad Aram, jil. 1, hal. 497.

[4]. (Qs. Al-Isra [17]:85)

[5]. John Binass, Târikh-e Jâm'e Adyân, Hikmat, 'Ali Asghar, hal. 188.

[6]. Wasâil al-Syiah, jil. 11, hal. 122-124; Muhammadi Rei Syahri, Mizan al-Hikmah, jil. 2, hal. 66, Maktab A'lam al-Islami.

[7]. Amir Husain Ranjbar, Dar Jastejuye Riseye-hai Asemani, jil. 1, hal. 42.

[8]. Ibid, hal. 155.

[9]. Tarikh-e Jame' Adyan, hal. 184; Sayid Hasan Amin, Bâztab Usture-hâye Budha dar Irân wa Islâm, hal. 24.

[10]. Fanai, Sayid Abuthalib, Ibrahimiyan, Mahmud, Din Syinâsi Tathbiqi, jil. 1, hal. 57.

[11]. Ibid, hal. 58.

[12]. Ibid, hal. 60.

[13]. Ibid.

[14]. Târikh-e Jahân-e Bâstan, Mu'mini, Muhammad Baqir, Ansari, Muhammad Shadiq, Hamadani, 'Ali, jil. 1, hal. 381.

[15]. Fanai, Sayid Abu Thalib, Ibrahimyan, Mahmud, Din Syinâsi Tathbiqi, jil. 1, hal. 60.

[16]. Ibid, hal. 58.

[17]. Al-Tauhid, Syaikh Shaduq, Sayid Hasyim Husaini Tehrani, hal. 454-458.

[18]. Dar Jastejuy-e Risye-hâye Âsemân, hal. 154.

[19]. Ibid, hal. 155.

[20]. Ibid.

[21]. Irfân, Budhism wa Janism, hal. 77, 90, dan 107.

[22]. Baztab Usture-hâye Budha dar Irân wa Islâm, hal. 36. Dar Jastejuy-e Risye-hâye Âsemân, hal. 155. Din Syinasi Tathbiqi, hal. 54-58-60, dalam riwayat-riwayat Islam, dunia diperkenalkan sebagai fana dan sementara. Silahkan lihat, al-Tauhid, hal. 376-378.

[23]. Fanai, Sayid Abu Thalib, Ibrahimyan, Mahmud, Din Syinâsi Tathbiqi, jil. 1, hal. 58-60; Irfân, Budhism wa Janism, hal. 235.

[24]. Al-Tauhid, hal. 376-378.

[25]. Ibid.

[26]. Fanai, Sayid Abu Thalib, Ibrahimyan, Mahmud, Din Syinâsi Tathbiqi, jil. 1, hal. 60-62.

[27]. Irfân, Budhism wa Janism, hal. 296.

[28]. Târikh-e Jame' Adyan, hal. 188-191.

[29]. Silahkan lihat, Hikmat, 'Ali Asghar, Nuh Guftâr dar Târikh Adyân, hal. 77; Târikh-e Jahân-e Bâstan, hal. 381. Târikh Jâm'e Adyân, hal. 188-191. Ali Akbar Kasmai, Khudâ Bâwari dar Din wa Falsafeh.

[30]. Din Syinâsi Tathbiqi, hal. 57-58. Abdullah Muballighi Abadi, Târikh Adyan wa Madzâhib Jahân, jil. 1, Dar Jastejuye Risye-hâ-ye Âsemân, hal. 42.

[31].'Irfân Budhism Janism, hal. 299.

[32]. Ibid, hal. 77.

[33]. Syaikh Shaduq, Kamâl al-Din wa Tamâm al-Ni'ma, Ali Akbar Ghaffari, hal. 577-638.

[34]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 75, hal. 383-485.

[35]. Allamah Majlisi, 'Ain al-Hayât, hal. 315-387.

[36]. Ibid, hal. 386.

[37]. Ibid, hal. 381 dan 384.

[38]. Baztâb Usture-hâye Budha dar Irân wa Islâm, hal. 44-81.

[39]. 'Ain al-Hayât, hal. 322. Hasyim Radhi, Adyân-e Buzurgh-e Jahân, hal. 178.

[40]. 'Ain al-Hayât, hal. 322, Adyân-e Buzurgh-e Jahân, hal. 188.


http://indonesia.islamquest.net/QuestionArchive/6295.aspx

0 comments:

Posting Komentar