"Ingin meningkatkan traffic pengunjung dan popularity web anda secara cepat dan tak terbatas...? ...Serahkan pada saya..., Saya akan melakukannya untuk anda GRATIS...! ...Klik disini-1 dan disini-2"

Rabu, 08 September 2010

Sejarah Kata Minal ‘Aidin wal Faizin dan Halal bihalal

Memasuki ‘Idul Fitri, sembari bersilaturahmi, kita saling berharap dengan berdoa kepada sanak keluarga dan para sahabat, “minal ‘aidin wal faizin”. Apa sebenarnya makna doa itu? Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa memang frasa Minal Aidin Wal Faizin "berasal dari bahasa Arab, bahasa yang banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama Islam maupun Kristen." Qaris mengatakan bahwa selain tidak dikenal dalam budaya Arab, frasa Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat dimengerti oleh orang Indonesia. Frasa ini bisa ditemui dalam kamus bahasa Indonesia, tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam lema kata per kata.

Dari segi bahasa, minal ‘aidin dapat diartikan dengan “[semoga kita] termasuk orang-orang yang kembali”. Kembali di sini dimaksudkan kembali kepada fitrah manusia, yaitu “asal kejadiannya” atau “kesucian”. Bisa juga berarti “agama yang benar”.

Setelah berlalunya Ramadhan, bulan untuk mengasah dan mengasuh jiwa dengan berpuasa, kita saling berharap bisa kembali ke asal kejadian kita, kembali ke dalam keadaan yang suci seperti saat kita dilahirkan dulu, serta bisa kembali mengamalkan ajaran agama yang benar.

Sedangkan, al-faizin diambil dari kata fawz yang berarti keberuntungan. Dalam konteks dan maknanya, ayat-ayat yang menggunakan kata fawz, seluruhnya [kecuali dalam QS 4: 73], berarti “pengampunan dan keridhaan Tuhan serta kebahagiaan surgawi”. Karena itu, Wal faizin hendaknya dipahami sebagai harapan dan doa, semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh keberuntungan berupa memperoleh ampunan dan ridha Allah swt sehingga kita semua mendapat kenikmatan surga-Nya.

Dengan demikian, minal ‘aidin wal faizin adalah doa untuk kita semua, agar kita dapat kembali menemukan jati diri kita dan agar kita bersama memperoleh keberuntungan berupa ampunan, ridha, dan kenikmatan surgawi.

Saling mendoakan itu – dalam tradisi khas banyak umat Muslim di Indonesia – berbentuk acara Halal Bihalal. Banyak versi menyangkut asal muasal halal bihalal ini. Salah satunya mengatakan bahwa pada masa pemerintahannya di Keraton Surakarta, Mangkunegara I mempunyai inisiatif, setelah shalat ‘Idul Fitri, seluruh rakyat dikumpulkan di balai istana untuk sungkem kepada raja dan permaisuri. Kemudian masing-masing bersalaman, saling maaf-memaafkan di antara mereka yang hadir. Tujuan inisiatif ini adalah untuk menghemat waktu, pikiran, tenaga, dan juga biaya.

Apa yang dilakukan masyarakat di lingkungan Keraton Surakarta tersebut kemudian ditiru organisasi-organisasi Islam, dengan sebutan halal bihalal. Pada perkembangan selanjutnya, halal bihalal banyak dilakukan instansi pemerintah dan masyarakat umum secara luas.

Dari pandangan hukum Islam dan arti kebahasaan, halal bihalal merupakan suatu bentuk aktivitas yang mengantarkan para pelakunya untuk meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya membeku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu, serta menyelesaikan problem yang menghadang terjalinnya keharmonisan hubungan. [M Quraish Shihab, Lentera Hati].

Tradisi halal bihalal selama membawa kebaikan [maslahat], tidak menjadi ajang pamer, berbangga-bangga [sombong], tak menimbulkan kecemburuan sosial dalam masyarakat, dan dalam pelaksanaannya tidak berlebihan sehingga menimbulkan pemborosan, sangat dianjurkan dalam Islam.

Sumber: ???

0 comments:

Posting Komentar