Alkisah, dahulu kala di sebuah desa di negeri Cina, hidup seorang saudagar yang kaya-raya. Ia memiliki perkebunan yang sangat luas. Bisa dibilang ia adalah konglomerat di masanya.
Suatu hari, dalam perjalanan pulang sehabis memeriksa perkebunannya, ia melihat seorang petani miskin yang sedang asyik menikmati makan siangnya yang sederhana. Dengan angkuh, sang saudagar berkata, "Hai petani miskin, bagaimana engkau bisa menikmati makanan itu! Aku tidak akan mau melakukannya, meski dibayar berapa pun!"
Si petani menjawab, "Tuan, semalam aku bermimpi bahwa orang terkaya di desa ini akan meninggal malam ini."
Sang saudagar kaget bukan kepalang, karena ia adalah satu-satunya orang terkaya di desa ini. Dengan marah, ia lalu berkata, "Hati-hati hai petani, jangan asal bicara! Bila tidak terbukti, aku akan membunuhmu!" Segera ia pun meninggalkan si petani.
Sepanjang perjalanan, ia terus mengomel kesal. Namun, tak dapat dipungkiri, ia terpengaruh juga oleh perkataan petani tadi. Nafsu makannya sontak hilang, tidur pun sulit. Akhirnya, ia memerintahkan pembantunya untuk memanggil tabib terbaik.
Tabib lalu memeriksa kondisi kesehatan sang saudagar itu, dan berkata, "Tuan, Anda dalam kondisi prima. Mustahil bila Anda akan meninggal malam ini." Sang saudagar tetap tidak merasa tenang. Akhirnya, tabib berkata, "Baiklah tuan, demi menenangkan Anda, saya akan menemani Anda hingga esok pagi."
Waktu pun berjalan detik demi detik, hingga malam pun tiba. Sang saudagar mulai terlihat pucat. Malam kian larut, dan tabib terus berupaya menenangkannya. Hingga akhirnya pagi pun menjelang, tanpa terjadi apa-apa pada sang saudagar.
Seketika dengan nada yang sangat marah, ia berteriak, "Kurang ajar petani itu! Ia telah menipuku. Akan kubunuh ia sekarang!" Ia segera menyambar pedangnya dan mengendarai kudanya untuk mencari si petani. Namun, ketika sampai di kampung si petani, ia memperoleh kabar bahwa semalam si petani telah meninggal.
----------------
Dear friends,
Dari kisah ini terlihat bahwa di mata Tuhan, petani itulah orang kaya yang sebenarnya. Mengapa demikian? Karena, ia selalu mensyukuri karunia Tuhan, apa pun bentuknya. Berbeda sekali dengan sang saudagar, yang selalu merasa kekurangan, meskipun telah memiliki kekayaan yang banyak. Di sini bisa terlihat siapakah orang kaya sejati: mereka yang selalu merasa cukup, ataukah mereka yang selalu merasa kurang?
Kisah bijak dari Cina ini mengingatkan saya pada bait indah dalam munajat Sayidah Fatimah az-Zahra: "Tuhanku, jadikanlah aku merasa cukup dengan segala pemberian-Mu."
Ah, betapa damai dan indah dunia, bila penghuninya adalah orang-orang yang pandai bersyukur.
0 comments:
Posting Komentar