Perlahan-lahan kami menjadi sadar. Beberapa tahun yang lalu, saya berjalan menuju kantor setelah kebaktian Minggu pagi untuk mencari kantong sandwich di meja yang berisikan tiga brownies coklat. Sekelompok orang bijak yang tidak dikenal yang tahu kalau saya suka coklat menaruhnya di sana, bersama dengan secarik kertas yang bertuliskan sebuah cerita. Saya segera duduk dan mulai memakan brownie pertama sambil membaca cerita berikut.
Dua orang remaja memohon izin kepada ayahnya untuk pergi ke bioskop menyaksikan film yang semua temannya telah lihat. Setelah membaca ulasan film itu di internet, sang ayah menolak permintaan mereka.
“Ayah, kenapa enggak boleh?” mereka mengeluh. “Ini film di atas 13 tahun kok, dan usia kami jauh di atas 13 tahun!”
Ayahnya menjawab, “Karena film itu mengandung adegan telanjang dan menggambarkan ketidaksopanan sebagai perilaku yang dianggap normal dan wajar.”
“Tapi ayah, semua itu hanya bagian kecil dari film! Itu kata teman-teman kami yang sudah melihat. Film itu dua jam lamanya, dan adegan seperti itu cuma beberapa menit dari keseluruhan film! Film ini berdasarkan kisah nyata, tentang kemenangan kebaikan atas kejahatan, dan ada tema lain seperti keberanian dan pengorbanan. Ulasan film juga menyebutkan hal itu!”
“Jawaban ayah ‘tidak’, dan itu jawaban final. Kalian dipersilakan untuk tetap di rumah malam ini, ajak beberapa teman kalian, dan menyaksikan salah satu koleksi video bagus yang kita miliki. Tapi kalian tidak akan pergi dan nonton film itu. Akhir pembicaraan.”
Dua remaja itu berjalan sedih menuju ruang keluarga dan tiduran di sofa. Ketika mereka mengeluh, mereka terkejut mendengar suara ayah mereka yang sedang menyiapkan sesuatu di dapur. Mereka segera menyadari aroma lezat brownies yang dipanggang, dan salah seorang dari mereka berkata, “Ayah pasti merasa menyesal, dan sekarang ia berusaha untuk menebusnya dengan membuat brownies untuk kita. Mungkin kita bisa membujuknya dengan pujian ketika beliau keluar dan meminta izin kembali untuk pergi ke bioskop setelahnya.”
Waktu itu saya mulai memakan brownies kedua dari kantong sandwich dan berpikir apakah ada hubungannya antara brownies yang saya makan dengan membaca kisah brownies. Saya melanjutkan membaca.
Remaja itu tidak kecewa. Segera ayah mereka muncul dengan sepiring brownies hangat, yang ditawarkan kepada anak-anaknya. Mereka mengambil satu per satu.
Lalu ayah mereka berkata, “Sebelum kalian memakannya, ayah ingin mengatakan sesuatu: Ayah sangat menyayangi kalian berdua.”
Remaja itu saling tersenyum dan menatap. Ayah sudah melunak. “Itu sebabnya ayah membuat brownies ini dengan bahan-bahan terbaik sejak awal. Kebanyakan bahan-bahannya organik; tepung organik terbaik, telur terbaik, gula organik terbaik, vanila termahal, dan coklat.” Brownies itu nampak lezat dan para remaja itu mulai tidak sabar dengan ucapan panjang ayahnya.
“Tapi ayah ingin jujur kepada kalian. Ada satu bahan yang ayah tambahkan dan tidak biasanya ditemukan dalam brownies. Ayah mendapatkan bahan itu dari halaman belakang. Tapi kalian tidak perlu khawatir, karena ayah hanya menambahkannya sedikit untuk brownies kalian. Jumlahnya praktis tidak seberapa. Jadi lanjutkan makan dan ayah ingin tahu apa yang kalian pikirkan.”
“Ayah, maukah ayah beri tahu bahan rahasia itu sebelum kami lanjutkan makan?”
“Kenapa? Jumlah yang ayah tambahkan sangat sedikit. Hanya satu sendok penuh. Kalian bahkan tidak merasakannya.”
“Ayolah Ayah, katakan pada kami bahan apa itu.”
“Jangan khawatir! Bahannya organik, sama seperti yang lainnya.”
“Ayah?!”
“Baiklah kalau kalian memaksa. Bahan rahasia organik itu… kotoran anjing.”
Saya langsung berhenti mengunyah brownies kedua dan meludahkannya ke tempat sampah samping meja kantor saya. Saya melanjutkan membaca, dengan ketakutan di sisa paragraf.
Kedua remaja itu langsung menjatuhkan brownies mereka ke piring dan mulai memeriksa jari-jari mereka dengan takut.
“Ayah! Kenapa ayah lakukan itu? Ayah telah menyiksa kami dengan aroma brownies yang dimasak setengah jam lalu dan sekarang ayah memberi tahu dengan menambahkan kotoran anjing! Kami tidak mau makan brownies itu lagi!”
“Kenapa tidak? Jumlah kotoran anjing itu sangat sedikit dibandingkan dengan bahan lainnya. Tidak akan membahayakan kalian. Semua sudah tercampur dengan bahan lain. Kalian bahkan tidak merasakannya. Sama seperti brownies lainnya. Ayo, lanjutkan makan!”
“Tidak, Ayah, tidak akan!”
“Itulah alasan yang sama kenapa ayah tidak mengizinkan kalian pergi menyaksikan film itu. Kalian tidak tahan dengan sedikit kotoran anjing di brownies, tapi membiarkan sedikit ketidaksopanan di film itu? Kita berdoa agar Tuhan tidak memberi kita ujian, lalu kenapa kita yang berhati baik menghibur diri sendiri dengan sesuatu yang akan membekas dengan dosa dalam pikiran kita yang akan menggiring kita pada ujian setelah kita menyaksikan itu pertama kalinya?”
Saya membuang semua yang teringat pada brownies kedua, begitu juga brownies ketiga yang belum disentuh. Apa yang nampak lezat beberapa menit yang lalu menjadi menjijikkan. Hanya karena sedikit kesempatan, apa yang saya makan menjadi sedikit tercemar. (Tentu saja bukan yang itu… tapi saya tidak bisa meyakinkan diri sendiri).
Penerjemah: Ali Reza Aljufri © 2010
Catatan: Orang yang lebih tua harus tetap memantau orang yang lebih muda atas apa yang mereka saksikan di televisi atau film. Tentu kita semua tahu (atas apa yang saya perhatikan), hampir kebanyakan film Barat—khususnya Hollywood—menampilkan adegan seksual atau kekerasan, misalnya. Menariknya, film dengan adegan seperti itu tidak hanya dimainkan oleh manusia, tapi juga dalam bentuk animasi, yang sangat diminati oleh anak-remaja. “Children have never been very good at listening to their elders, but they have never failed to imitate them,” kata James Arthur Baldwin.
http://ejajufri.wordpress.com/2010/05/05/resep-rahasia-nonton-film/
0 comments:
Posting Komentar