Dyah Ratna Meta Novi
Desain lengkung banyak digunakan pada bangunan-bangunan di dunia Islam, kemudian ke luar wilayah Islam.
Peradaban Islam meninggalkan jejaknya di dunia arsitektur. Sejumlah desain muncul dalam perkembangan peradaban Islam. Diakui, perkembangan dalam bidang arsitektur di dunia Islam itu tak selalu muncul dari pemikiran para cendekiawan Muslim.
Biasanya, ada persinggungan dengan hasil peradaban lain hingga kadang melahirkan sebuah produk peradaban yang kemudian Muslim mengembangkannya lebih jauh. Hasil peradaban itu pun diadopsi oleh bangsa-bangsa lain. Ini terjadi pada desain lengkung.
Selama ini, desain lengkung sangat akrab dengan arsitektur bangunan di dunia Islam. Bentuk lengkung sebelumnya memang berasal dari warisan budaya Yunani dan Romawi yang membuat desain lengkung setengah lingkaran. Umat Islam mengadopsi dan mengembangkannya lebih maju.
Lalu, umat Islam memperkaya desain lengkung yang belum ada, seperti umat Muslim yang mengembangkan berbagai macam desain lengkung, termasuk tapal kuda, melintang, dan multifoil. Desain-desain lengkung itu menjadi bagian penting dalam arsitektur Islam.
Desain lengkung mempunyai karakteristik elastisitas yang memungkinkan bangunan mencapai keseimbangan. Bentuk lengkung bisa mengurangi jumlah material yang harus digunakan. Selain itu, desain lengkung pun memberi inspirasi bagi bentuk seni lain, terutama bentuk-bentuk mebel.
Umat Islam menguasai desain lengkung dan mampu menggunakan desain lengkung tersebut lebih baik daripada bangsa-bangsa lain di dunia. Kesukaan umat Muslim terhadap desain lengkung ini berkaitan dengan cinta mereka terhadap pohon palem.
Mereka meniru lengkungan yang anggun dari cabang-cabang pohon palem dalam konstruksi bangunan mereka. Selain itu, desain lengkung juga mempunyai makna spiritual yang berasal dari sifat bola alam semesta dan simbolisme Ilahi kubah dari mana lengkung berasal.
Cendekiawan Muslim yang memiliki pengetahuan tentang geometri dan hukum-hukum statis juga memainkan peran utamanya dalam pengembangan berbagai jenis lengkung ini. Semula, desain lengkung tersebut untuk tujuan struktural dan fungsional dalam bangunan.
Namun kemudian, desain ini digunakan pula untuk tujuan dekoratif. Sejumlah catatan mengungkapkan, Sisilia memainkan peran penting bagi mengalirnya desain-desain yang dirancang umat Islam, termasuk desain lengkung lancip.
Penyebaran desain lengkung lancip ke negara-negara Eropa dilakukan melalui kontak dagang antara pedagang Amalfitan dan pedagang Mesir. Pedagang dari Amalfitan tersebut kemungkinan menyaksikan arsitektur Masjid Ibn Thulun di Mesir.
Lalu, mereka menggambarkannya kepada orang-orang Eropa. Pertama kali, desain lengkup lancip digunakan di Eropa pada teras biara Monte Cassimo pada 1071. Lalu, desain lengkung lancip itu mulai menyebar ke Eropa.
Adopsi desain lengkung di Monte Cassimo selanjutnya mendorong gereja-gereja lainnya yang mengadopsi desain serupa. Sehingga, bangunan dengan desain lengkung lancip mulai menyebar di Prancis, khususnya di selatan.
Pada pertengahan abad ke-12, desain lengkung lancip itu menyebar pula di Jerman. Desain lengkung Muslim digambarkan sebagai sesuatu yang tidak pernah tidur karena sifatnya struktural-fungsional serta dekoratif. Pun, bersifat universal dan sesuai perkembangan zaman.
Tak hanya itu, desain lengkung pun menjadi dasar arsitektur bangunan bergaya gothik sebagai solusi untuk mengatasi masalah statik kubah romantik. Pengamalan yang hampir sama tentang desain lengkung dialami oleh seorang dokter dan ilmuwan yang bernama Constatine.
Dia memiliki banyak pengalaman terkait dengan teknik bangunan Islam dan bentuk-bentuk konstruksi bangunan Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara. Ia dibantu oleh asisten yang orang Arab untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab tentang desain lengkung.
Penggunaan desain lengkung
Banyak desain lengkung yang dihasilkan umat Islam, di antaranya lengkung tapal kuda. Desain lengkung ini pertama kali digunakan di Masjid Agung Umayyah, Damaskus. Masjid ini dibangun antara 706 hingga 715.
Bentuk lengkung tapal kuda sendiri memiliki sejumlah makna atau arti. Sejumlah orang percaya bahwa tapal kuda mempunyai kekuatan pelindung dari mata jahat di Afrika Utara sampai sekarang. Sehingga, mereka sering memasang tapal kuda pada pintu depan rumah.
Namun, hal ini bertentangan dengan kepercayaan ortodoks Islam. Tapal kuda juga dianggap sebagai simbol dari kesucian dan kekudusan. Selain itu, lengkungan tapal kuda juga mempunyai nilai estetika dan dekoratif.
Muslim menggunakan bentuk kurva untuk mengembangkan lengkung setengah lingkaran dalam arsitektur Islam. Lengkung setengah lingkaran tersebut merupakan versi perbaikan dari lengkung Roma yang jauh lebih bundar bentuknya.
Pengenalan desain lengkung tapal kuda ke Cordoba terjadi saat ditetapkannya jalur transmisi ke Eropa melalui wilayah Kristen di Andalusia. Proses ini dimulai oleh Mozarabs, Kristen yang tinggal di Andalusia.
Di antara Mozarabs tersebut, terdapat seniman, pelajar, pembuat bangunan, ataupun arsitek yang mempunyai pengetahuan tentang arsitektur bangunan Muslim, termasuk lengkung tapal kuda. Lalu, muncullah bangunan-bangunan keagamaan di wilayah utara Spanyol dalam gaya itu.
Sebagai contoh, bangunan biara St Miguel de Escalada, dekat Leon, yang dibangun oleh para biarawan ketika mereka tiba dari Cordoba pada tahun 913. Menurut laman Muslimheritage, lengkung tapal kuda juga diilustrasikan oleh Mozarabs dalam manuskrip mereka.
Salah satu manuskrip Mozarabs yang menuliskan lengkung tapal kuda adalah manuskrip karya Beatus dari Lebana. Sejumlah catatan sejarah juga menunjukkan bahwa pembuat gambar dalam manuskrip karya Beatus bernama Magins yang bekerja di biara St Miguel de Esacalda.
Gereja St Cebrian de Mazote yang juga didirikan oleh Mozarabs Cordoba pada 921 juga dibangun serupa dengan struktur dan unsur-unsur dekoratif yang terdapat di biara St Miguel de Escalada, lengkap dengan lengkung tapal kudanya.
Jenis lengkung lainnya adalah lengkung melintang. Pengembangan lengkung ini dilakukan pada abad ke-8. Lengkung ini digunakan pertama kalinya pada bangunan Istana Ukhaidir yang terletak di Irak yang berdiri antara 720 hingga 800.
Rupanya, penggunaan lengkung melintang di Istana Ukhaidir tersebut mendorong penggunaan lengkung melintang pada bangunan-bangunan di wilayah lain. Penggunaan desain lengkung ini digunakan pada bangunan istana atau masjid.
Orang-orang Eropa mulai menggunakan lengkung melintang pada bangunan-bangunan mereka sejak abad ke-11. Namun, hingga saat ini, belum ada bukti-bukti yang jelas tentang bagaimana dan kapan lengkung melintang tersebut mulai disebarkan ke seluruh penjuru Eropa. ed:ferry
Memahami Keberadaan Menara
Peradaban Islam tak hanya meninggalkan desain lengkung. Namun, ada pula bangunan yang menjadi simbol pencapaian peradaban Islam, yaitu menara. Biasanya, bangunan menara ini menyatu dengan masjid. Ini tak sekadar bangunan, namun ada sistem nilai yang melandasinya.
Dalam peradaban Islam, menara, terutama menara masjid, muncul saat peradaban awal Islam, yaitu saat masa-masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya di Madinah. Ini bermula bagaimana cara mengumandangkan panggilan shalat bagi umat Islam saat itu.
Saat itu, biasanya panggilan shalat dilakukan di jalan atau di atap rumah-rumah yang tinggi. Seiring berkembangnya waktu dan berpikir mengenai efektivitas, kemudian muncullah pemikiran untuk membangun sebuah menara masjid.
Keberadaan menara kemudian memang tak hanya berfungsi untuk mengumandangkan azan. Namun, juga untuk menyampaikan pengumuman kepada umat Islam. Sebab, masjid tak hanya sebagai tempat shalat, tetapi tempat kegiatan lainnya, seperti kegiatan sosial dan pemerintahan.
Presiden Islamic Culture Foundation, Cherif Jah Abderahman, pernah menyatakan, menara ini tak hanya sebuah bangunan. Namun, ini merupakan simbol yang merangkum sistem nilai, pengetahuan, dan tradisi dalam Islam.
Dengan cara yang sama, terkait dengan menara, umat Islam juga berupaya dan bekerja meletakkan fondasi ajaran Islam dalam membangun peradaban dan arsitektur. Arsitek Muslim terus berupaya mengatasi masalah teknik dengan melahirkan beragam bentuk menara.
Dari sinilah, kemudian lahir bentuk-bentuk menara masjid yang lebih tinggi, indah, dan signifikan. Tentu, disesuaikan dengan kebutuhan. Abderahman mengatakan, terkadang masyarakat Barat sekarang ini tak memahami bagaimana mestinya menafsir keberadaan menara ini.
Sebuah bangunan yang mewujud mengantarkan sebuah makna. Ia juga melambangkan sebuah simbol dan kehadiran. Demikian pula dengan bangunan sebuah menara. Dalam peradaban Islam, menara melambangkan kehadiran Islam.
Dalam sebuah kesadaran kolektif umat manusia, sejak masa awal, konsep superioritas dan rasa unggul masuk ke dalam relung hati mereka. Maka kemudian, muncul banyak menara di setiap negara yang menyimbolkan perasaan itu dan tentu menunjukkan hasil sebuah peradaban.
Jika melacak sejarah, semua bisa melihat menara-menara di Italia yang menandakan adanya rivalitas di antara kota-kota yang ada di sana. Lihat pula Menara Eiffel dan gedung-gedung pencakar langit yang ada di New York yang menjadi penanda kekuatan teknologi. meta, ed:ferry
0 comments:
Posting Komentar