Seorang teman ketika SMA bertanya kepada saya melalui telepon menanyakan perihal nikah beda agama dirinya dengan seorang wanita Katolik bagaimana status hukumnya dalam Islam. Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang mudah untuk dijawab dengan “ya” atau “tidak” karena argumentasi dan dasar pijakan merupakan kunci pokok dalam masalah “rumit” ini. Ada satu ayat yang dapat dijadikan argument bahwasanya di dalam Islam ada praktik pernikahan lintas agama, yaitu di dalam Al Maidah ayat 5. di dalam ayat tersebut ada beberapa azas berkenaan dengan pernikahan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non Islam serta status makanan sembelihan Ahli Kitab, ayat tersebut berbunyi: “Hari ini telah dihalalkan kepada kalian segala hal yang baik, makanan Ahli Kitab, dan makanan kalian juga halal bagi Ahli Kitab. Begitupula wanita-wanita janda mukmin dan Ahli Kitab sebelum kalian”.
Apakah Ahli Kitab Itu?
Sebelum kita memasuki ranah lebih jauh, kita harus bisa mendefinisikan apakah yang dimaksud dengan “Ahli Kitab” tersebut. Ahli Kitab adalah sekelompok orang atau masyarakat tertentu yang memiliki sebuah kitab suci dan ajaran dari Tuhan sejak zaman sebelum datangnya agama Islam, atau lebih singkatnya para penganut ajaran Yahudi, Kristen, yang ada sebelum Islam dan sesudah Islam lahir serta pada dekade kedepan dapat diterapkan pada segala agama yang mempunyai kitab suci. Ada yang mendefiniskan bahwa yang dimaksud Ahli kitab adalah orang yang menguasai (pakar) terhadap kitab suci sebelum Al Quran turun, tetapi hal ini tidaklah tepat karena jika kata “Ahli” diartikan pakar dalam bidang pengetahuan (dalam konteks ini), maka “Ahli Bait” juga harus diartikan pakar rumah, padahal Ahli Bait adalah keluarga dan keturunan Rasulullah pasca pernikahan Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah.
Sebutan Ahli Kitab dengan sendirinya tertuju kepada segolongan bukan muslim, dan tidak diajukan sendiri kepada muslim meskipun dia memiliki kitab suci, yaitu Al Quran. Ahli kitab tidak dapat disebut kaum muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan menentang, kenabian dan kerasulan Muhammad serta ajaran yang beliau sampaikan, oleh karena itu dalam terminology Al Quran mereka disebut sebagai “kafir” yang berarti “menentang” atau “mengingkari”. Jadi sebenarnya kafir bukanlah sesuatu yang menjadi momok, melainkan hanya pembatas antara keimanan agama Islam dengan lainnya, sama seperti sebutan “goyim” dari umat Yahudi kepada umat diluar Yahudi. Seperti dimaklumi bahwasannya Al Quran tidak pernah memberikan secara langsung bahwa Ahli Kitab adalah kafir mutlak (dengan kata sifat Isim fail), tetapi selalu dengan perkataan “sebagian” atau “segolongan” tidak seluruhnya secara umum.
Siapakah yang tergolong Ahli Kitab?
Kembali kepada hakikat Ahli Kitab, pada dasarnya kebanyakan umat Islam mengetahui bahwa Ahli Kitab adalah Yahudi dan Kristen, untuk menyeragamkan maksud dan tujuan kita akan mengambil titik temu berdasarkan agama Yahudi dan Kristen. Umat Yahudi dan Nasrani mempunyai kedudukan yang khusus dalam agama Islam karena agama mereka adalah pendahulu dari agama Islam. Al quran dengan gamblang menyebut kaum Yahudi dan Kristen sebagai Ahli Kitab. Akan tetapi Al Quran juga menyebutkan beebrapa kelompok agama lain, yaitu Majusi (penganut Zoroaster) dan Shabean. Nabi sendiri memungut jizyah dari kaum Majusi di Bahrain dan Persia sebagaimana disebutkan dalam hadis yang shahih dan kitab hadis yang lainnya. Imam Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, dan al Turmudzi serta lainnya telah meriwayatkan bahwa nabi memungut jizyah dari kaum Majusi Hajar, dan dari hadis Abdurrahman bin Auf bahwa dia bersaksi untuk Umar tentang hal tersebut ketika Umar mengajak para sahabat untuk bermusyarah mengenai hal itu. Oleh karena itu sebagian ulama menganggap ada golongan Ahli Kitab diluar Yahudi dan Kristen, sebab jizyah hanya dibenarkan dipungut dari Ahli Kitab yang hidup di negeri Islam.
Imam Malik dan Syafii meriwayatkan hadis yang berbeda yang diambil dari Abdurrahman bin Auf bahwa ia berkata: “Aku bersaksi, sungguh telah mendengar Rasulullah SAW bersabda “Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah Ahli Kitab”. Ibnu Taimiyah menuturkan adanya sebuah hadis yang menyebutkan bahwa kaum Majusi dikategorikan sebagai Ahli Kitab:
“Karena itulah Nabi bersabda tentang kaum Majusi “Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab”, dan beliaupun membuat perdamaian dengan penduduk Bahrain yang dikalangan mereka ada kaum Majusi, dan para khalifah serta para ulama Islam semuanya sepakat dalam hal ini”.
Para ahli fiqih memang masih terdapat perbedaan pendapat mengenai Majusi dan Shabean. Kaum Majusi bagi Abu Hanifah sama dengan Ahli Kitab. Begitupula kaum majusi bagi Abu Tsaur, berbeda dari banyak kalangan yang berpendapat bahwa mereka itu diperlakukan sama seperti Ahli Kitab hanya urusan jizyah saja, dan mereka juga mempunyai dasar yaitu sebuah hadis “Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunah kepada Ahli Kitab, tanpa memakan sembelihan mereka dan menikahi wanita mereka”. Tetapi pengecualian ini tidak benar, sebagaimana diterangkan oleh para ahli hadis. Abu Manshur Abdul Qadir bin Thahir al Baghadi dalam bukunya al Faraq bainal Firaq menyebutkan:
Kaum Majusi itu mempercayai kenabian Zarasuthra dan turunya wahyu kepadanya dari Allah, kaum Sabiin mempercayai kenabian Hermes, Walis, Plato, dan sejumlah filsuf serta para pembawa syariat yang lain. Setiap kelompok dari mereka mengaku turunnya wahyu dari langit kepada orang-orang yang mereka percayai kenabian mereka, dan mereka katakana bahwa wahyu itu mengandung perintah, larangan, berita tentang kematian, tentang pahala dan siksa serta tentang surga dan neraka yang disana ada balasan bagi perbuatan yang telah lewat.
Yang unik adalah Prof. Dr. Hamka (Buya Hamka) menggolongkan seluruh ajaran baik itu Buddha, Hindu, atau Konfucius adalah kemungkinan merupakan ajaran dari nabi yang tidak disebutkan oleh Al Quran:
“tidaklah agaknya akan jauh dari kemungkinan kalau pemimpin-pemimpin rohaniyah yang besar-besar, seperti Lao Tse, Kung Fu Tse, atau Budha Gautama, Zarasuthra di Persia dan pengarang pertama dari Upanisab adalah nabi-nabi Allah belaka yang diutus kepada ummat mereka. Dan mungkin juga Socrates di Yunani seorang Nabi. Bersama nabi-nabi itu diturunkan kitab dengan kebenaran, yaitu tuntunan bagi ummat itu dalam mencari hakikat Yang Maha Kuasa”.
Abdullah Yusuf Ali di dalam tafsirnya perihal keselamatan agama-agama di luar Islam juga memberikan pendapat bahwasannya tidak hanya agama yang sudah mendunia saja yang tergolong Ahli Kitab, ajaran moral juga termasuk di dalamnya. Selain menurut Abdullah Yusuf Ali, menurut Rasyid Ridha, alasan bahwa selain Yahudi, Kristen, dan Majusi tidak disebut Ahli Kitab secara letterlijk adalah perihal regional:
“Yang nampak ialah bahwa Al Quran menyebut para penganut agama-agama terdahulu, kaum Shabean dan Majusi, dan tidak menyebut kaum Brahma (Hindu), Buddha dan para pengikut Konfusius karena kaum Shabean dan Majusi dikenal oleh bangsa Arab yang menajdi sasaran mula-mula alamat Al Quran, karena kaum Majusi itu berada berdekatan dengan mereka di Iraq dan Bahrain, dan mereka nelum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka belum mengetahui golongan yang lain “.
Dalam sebuah riwayat, kaum Hindu ternyata di kemudian hari di kategorikan sebagai Ahli Kitab, hal ini terdapat di dalam fakta sejarah ketika Panglima Muhammad bin Qasim melakukan penyebaran Islam pada tahun 711 Masehi di India, beliau melihat umat Hindu beribadah di dalam Pura, maka beliau bertanya apakah mereka mempunyai kitab suci dan ketika diberitahu mereka mempunyai kitab suci, maka Panglima Muhamamd Ibn Qasim memerintahkan agar menyamakan umat Hindu seperti Ahli Kitab.
Nama agama yang jarang terdengar adalah mengenai agama Shabean/Shabiin/Shabi’ah. Agama Shabiah mempunyai nabi dan kitab suci tersendiri. Nabi mereka adalah Yahya anak dari Nabi Zakariya dan kitab suci mereka adalah Kanza Raba. Abdullah Yusuf Ali memberikan keterangan perihal hal ini:
Belakangan ini, riset-riset mengungkapkan sebuah kelompok kecil suatu komunitas agama berjumlah sekitar 2,000 orang di Lower Iraq, dekat Basrah. Dalam bahasa Arab mereka disebut Subbi (jamaknya Subba). Mereka juga disebut Sabians dan Nasoreans, atau Mandaeans, atau Kekristenan dari Nabi Yahya. Mereka mengklaim sebagai Gnostik atau orang-orang yang mengetahui akan Kehidupan yang Agung. Mereka berpakaian putih dan percaya kepada penyucian berkala dengan menggunakan air. Kitab mereka Ginza Raba menggunakan suatu dialek dari bahasa Aram
Kaum pseudo-Sabian dari Harran yang menarik perhatian Khalifah al Ma’mun ar Rasyid pada 830 M karena rambut mereka yang panjang dan pakaian mereka yang khusus, barangkali menggunakan nama itu, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran dengan maksud memperoleh hak-hak khusus kaum Ahli Kitab. Mereka adalah orang-orang Syiria penyembah bintang dengan kecenderungan Hellenistik, sama halnya dengan kaum Yahudi di masa Isa. Cukup meragukan apakah mereka berhak disebut Ahli Kitab dalam artian teknis istilah itu”
Agama Sabiah menyembah Allah yang Esa serta memiliki ajaran yang hampir mirip dengan ajaran Islam, seperti penyucian dengan air, berzakat, serta sholat dengan bersujud pula seperti umat Islam.
Jadi tidak tepat jika kita mengatakan Sabiah itu adalah agama penyembah bintang dan planet seperti catatan kaki Al Quran Departemen Agama, karena yang merupakan penyembah berhala itu adalah orang-orang paganis yang menyusup ke dalam agama Sabiah ini yang biasa disebut “Pseudo-Sabian”.
Apakah Ahli Kitab itu Musyrik?
Ada ulama berpendapat bahwa sejatinya saat ini tidak ada yang di sebut Ahli Kitab, karena yang di maksud Ahli Kitab saat ayat Al Maidah ayat 3 turun adalah Ahli Kitab yang masih mempunyai ajaran agama yang benar dan mengakui kenabian Muhammad. Ahli Kitab yang sekarang menurut mereka sudah tidak ada lagi mengingat ajarannya sudah tidak sama dengan ajaran “asli” mereka, begitu pula kitab sucinya. Sehingga adalah haram menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab saat ini, mereka tergolong dalam kategori musyrik sesuai dengan surat Al Baqarah 221 yaitu keharaman menikahi wanita musyrik. Sepintas alasan tersebut adalah “dikuatkan” oleh justifikasi teks, tetapi tidak ada satu dalilpun yang mengatakan Ahli Kitab adalah musyrik.
Seperti yang sudah saya singgung dimuka, Al Quran tidak pernah langsung memberikan predikat musryik kepada mereka. Ibnu Taymiah adalah salah satu ulama yang menolak bahwa Ahli Kitab adalah musyrik. Menurut Ibnu Taymiah Ahli Kitab tidak temasuk ke dalam kaum musyrik. Menjadikan (memandang) Ahli Kitab sebagai kaum musyrik dengan dalil firman Allah Surat Al Hajj ayat 17: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi Keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu, maka karena Allah menyifati mereka telah melakukan syirik, dan karena syirik itu adalah sesuatu yang mereka ada-adakan yang tidak di perintahkan oleh Allah, wajiblah mereka itu dibedakan dari kaum musyrik, sebab asal-usul agama mereka mengikuti kitab-kitab yang diturunkan Allah. Selain itu alasan bahwa Ahli Kitab bukanlah musyrik adalah surat Al Baqarah ayat 221 yang berisi pengharaman pernikahan dengan wanita musyrik itu berbicara mengenai wanita musyrik Arab yang menyembah patung dan dewa-dewa, bukan mengenai Ahli Kitab, jadi menyamakan Ahli Kitab dengan musyrik Arab yang mempunyai dewa tertinggi bernama Hubal adalah pendapat yang bathil. Musyrik Arab penyembah dewa tidaklah mempunyai kitab suci.
Ada yang berpendapat bahwa Ahli Kitab yang di maksud di sana adalah Ahli Kitab yang masih bertauhid, bagi mereka Nasrani yang di maksud adalah Nasrani yang tidak menyembah Nabi Isa, tetapi hal ini adalah argumen yang lemah, sebab istri Usman bin Affan yang beragama Kristen (Nai’lah al Kalbiyah) termasuk Kristen yang menyembah Nabi Isa pada umumnya dan tidak ada bukti bahwa ajarannya berbeda dengan Nasrani saat ini, jadi argument tersebut adalah argument tidak berdasar. Buya Hamkapun di dalam tafsir Al Azhar juga berpendapat meskipun Ahli Kitab tersebut menuhankan Nabi Isa dirinya tetap halal untuk dinikahi. Prof. Dr. Umar Shihab, MA juga menyetujui hal ini:
“Timbul masalah, apakah orang Kristen yang percaya kepada trinitas sekarang ini masih tergolong sebagai ahl al-kitab atau tidak? Menurut hemat penulis, mereka itu masih tergolong ahl al-kitab karena orang-orang seperti itu sudah ada pada masa Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw sendiripun tidak mengatakan kalau mereka telah keluar dari golongan ahl al-kitab”
Bagaimanakah pendapat haramnya menikahi wanita Ahli Kitab oleh Umar bin Khattab dan Abdullah Ibnu Umar?
Memang di kabarkan bahwa Umar bin Khattab pernah marah mendengar pernikahan sahabat Hudzaifah bin Yamman dan Thalhah bin Ubaidilah ketika menikahi non muslim. Hal ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa di sangkal, namun tentunya kita dapat bertanya, mengapa Umar mengharamkan pernikahan beda agama tersebut?. Suatu ketika Umar menerima surat dari Hudzaifah bin Yamman yang isinya menceritakan bahwa dirinya telah menikahi wanita Yahudi di kota Madain, ketika Hudzaifah meminta pendapat, maka Umar dalam surat jawabannya memberi peringatan keras antara lain dengan mengatakan:
“Kuharap engkau melepaskan surat ini sampai dia itu engkau lepaskan (ceraikan). Sebab aku khawatir kaum Muslim akan mengikuti jejakmu, lalu mereka mengutamakan para wanita Ahli Dzimmah karena kecantikan mereka. Hal ini sudah merupakan bencana bagi wanita kaum muslim”.
Umar hanya khawatir jika terdapat pernikahan beda agama kala itu yang berkembang luas, para sahabat-sahabat nabi akan membelot dan masuk komunitas non muslim. Hudzaifah dan Thalhah adalah tokoh yang menonjol di zamannya terlebih Hudzaifah adalah intelijen handal sejak nabi SAW masih hidup, jadi wajar saja jika Umar khawatir terhadap nasib pemerintahan baik agama dan Negara di bawah kekuasaanya, karena itu tindakan Umar adalah sejenis tindakan politik (tasharruf siyasi) yang timbul karena pertimbangan kemanfaatan (manfaat) menurut tuntutan zaman dan tempat. Menurut Abu Hanifah “kita ikuti pendapat Umar itu, namun kita tidak memandang perkara tersebut sebagai terlarang. Kita hanya berpendapat hendaknya para wanita muslim diutamakan”. Pendapat yang demikian memang adakalanya dapat di benarkan karena dalam memilih kriteria istri hendaknya yang nomor 1 adalah agamanya, walaupun hadis tersebut terkait dengan konteks waktu itu di mana wanita sangat jarang yang memiliki pengetahuan perihal agama yang cukup bagus. Abdullah bin Umar juga mengharamkan perihal pernikahan beda agama ini, beliau berpendapat bahwasannya Ahli Kitab tergolong kedalam kelompok musyrik:
“Aku telah mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seorang wanita yang berkata bahwa tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah”
Pendapat Umar dan putranya tersebut merupakan pendapat minoritas dari ulama-ulama Islam. Nabi Muhammad, para sahabat, tabiin tidak ada yang mengharamkannya.
Bagimanakah hukumnya pria Islam menikahi wanita penganut agama Buddha, Konghucu, atau agama Tao sekalipun?
Adapun seorang sarjana Islam, yaitu Maulana Muhammad Ali M.A., LL.B. di dalam bukunya “Islamologi” membolehkan adanya perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita baik yang beragama Buddha ataupun Tao sekalipun. Pendapat tersebut berbunyi demikian:
”Quran dinyatakan bahwa wahyu ilahi telah diturunkan kepada sekalian bangsa di dunia (35:24), kecuali kaum musrik Arab saja yang belum pernah keturunan wahyu (32:3, 36:6), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Islam hanya dilarang berkawin dengan kaum musrik bangsa Arab, sedang perkawinan dengan wanita yang menganut agama lain di dunia, diperbolehkan. Kaum Kristen, kaum Yahudi, kaum Majusi, kaum Buddis, dan Kaum Hindu, semuanya tergolong kaum Ahli Kitab. Semua bangsa yang mula-mula diturunkan agama Allah, mereka harus diperlakukan sebagai kaum Ahli Kitab. Maka dari itu, wanita Hindu dan wanita Majusi halal dikawin, sama seperti wanita Kon Fu Tse, wanita Buddha, dan wanita Tao”.
Menurut Maulana Muhammad Ali, wanita mana saja di dunia ini yang di dalam agamanya terdapat kitab suci yang berasal dari Allah adalah halal untuk dinikahi.
Kesimpulannya ?
Saya akan mengambil salah satu pendapat ulama terbesar Indonesia yaitu Buya Hamka untuk mewakili pandangan yang membolehkan pernikahan lintas agama ini antara pria muslim dan wanita non Islam dengan dalil surat Al Maidah ayat 3 dan pendapat ulama tafsir tersebut:
“ diterangkan bahwa kamu orang mu’min halal kawin dengan perempuan yang mu’minat dan halal pula kawin dengan perempuan Ahlul Kitab. Asal telah selesai di bayar maharnya. Dengan demikian teranglah bahwa seorang mu’min selain boleh mengawini perempuan sesama Islam, kalau ada jodoh dan nasib boleh pula mengawini perempuan Ahlul Kitab; Yahudi dan Nasrani. Artinya dengan tidak usah dia masuk Islam terlebih dahulu, sebab dalam hal agama tidak ada paksaan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam s urat Al Baqarah ayat 256 “.
Adapun pendapat Abdullah Yusuf Ali sebagai berikut:
“Islam is not exclusive. Social intercourse, including inter-marriage, is permitted with the People of the Book. A muslim man may marry a woman from their ranks on the same terms as he would marry a Muslim woman.”
Yang menjadi masalah sekarang adalah, di dalam Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974) tidak di benarkan adanya nikah beda agama (perkawinan campur), hal ini ditegaskan dalam pasal 2 ayat 1 bahwa pernikahan adalah adalah sah apabila dilaksanakan dengan agama dan kepercayaanya masing-masing serta pasal 40 huruf “c” dan pasal 44 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebagai orang Indonesia tentunya kita harus mengikuti hukum yang berlaku di Indonesia mengenai hal yang demikian. Secara syariat maka pernikahan ini adalah mubah (boleh), tetapi kita jangan lupa terdapat hukum positif yang tidak melegalkan hal ini. Wallahu ‘alam bi showab.
http://mygoder.wordpress.com/2007/12/20/perempuan-ahli-kita/
0 comments:
Posting Komentar