Anak-anak kecil sangat takut dengan lelaki itu. Bukan saja karena tubuhnya yang tinggi besar; mukanya yang tak pernah tersenyum, dan bibirnya yang dower, tapi terutama karena kebiasaannya yang aneh. Suka mencaci dengan berteriak kepada siapa saja yang dijumpainya. tak peduli terhadap siapa saja --orang tua, anak-anak, laki-laki, perempuan, orang biasa, tokoh masyarakat-- lelaki yang di kampung kami dipanggil Ndara Mat Amit itu selalu bersikap kasar. Caci maki baginya seperti salam saja. Setiap ketemu orang, kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah caci-maki atau kata-kata tidak jelas maknanya yang rupanya dia maksudkan juga sebagai cacian. Mungkin karena itu, atau mungkin juga karena tak tahu arti ndara, anak-anak tidak ada yang memanggilnya Ndara, hanya Mat Amit saja. Semula aku sendiri juga hanya memanggilnya Mat Amit, tapi setelah dimarahi ibuku, aku ikut-ikut orang tua memanggilnya Ndara.
Tak ada seorang pun yang tahu persis di mana Ndara Mat Amit tinggal. Orang-orang hanya tahu dia itu bukan penduduk asli, orang dari luar kota, tapi punya banyak kenalan di kota kami. Ada yang bilang dia dipanggil Ndara karena masih keturunan Nabi. Hanya karena ia sering datang --hampir sebulan sekali, paling lama tiga bulan sekali-- banyak orang yang kemudian mengenalnya.
"Mat Amit! Mat Amit!" begitu teriak anak-anak bila melihat sosok raksasa itu datang. Dan anak-anak yang sedang asyik bermain itu pun buyar; berlarian ke sana kemari seperti gerombolan anak kijang melihat harimau.
Di antara yang sering dikunjungi Ndara Mat Amit adalah rumah kami. Kalau datang, ia tidak pernah lupa mampir ke rumah. Entah mengapa. Mungkin dia menyukai ayahku yang memang ramah terhadap setiap tamu. Ayah pernah menasihatiku: menghormati tamu itu merupakan anjuran Rasulullah; jadi siapa pun tamu kita, mesti kita hormati. Muslim yang baik ialah yang dapat menundukkan rasa suka dan tidak sukanya demi melaksanakan ajaran Rasulnya.
"Tapi Ndara Mat Amit sendiri tidak ramah, Yah," selaku, "bahkan menakutkan!"
"Apa yang kau takuti? Dia itu manusia biasa juga seperti kita," kata Ayah menjelaskan. "Dia kan tidak pernah mengigit orang. Orang itu kan macam-macam tabiatnya. Ada yang kasar, ada yang lembut. Ada yang sopan, ada yang tidak. Kita sendiri memang harus berusaha menjadi orang yang lembut dan sopan, tapi kan tidak harus membenci mereka yang belum bisa bersikap begitu. Dan ingat, cung (cung, dari kacung = panggilan untuk anak kecil); penampilan luar orang belum tentu menggambarkan pribadinya, bahkan seringkali kita terkecoh kalau hanya melihat penampilan seseorang. Bukankah sering kita melihat orang yang tampaknya sopan dan halus, ternyata tabiatnya suka menghasut."
Entah karena nasihat Ayah atau mungkin karena sudah terbiasa, akhirnya aku sendiri --tidak seperti banyak kawanku-- tidak begitu takut lagi dengan Ndara Mat Amit. Memang dulu --dalam kesempatan berkunjung ke rumah-- pernah aku dipanggil Ndara Mat Amit, tepatnya dibentak, hingga gemetaran.
"Hei, kamu, bajingan, kemari!"
Aku terpaku ketakutan. "Setan kecil! Punya telinga, tidak?" teriaknya lagi. "Aku memanggilmu, Bahlul!"
Aku pun ragu-ragu mendekat dengan kewaspadaan penuh. Pikirku, kalau dia macam-macam, mau mengampar misalnya, aku sudah siap melarikan diri.
Ternyata dia merogoh saku jasnya yang kumal, mengeluarkan beberapa uang receh, dan memberikannya kepadaku. "Ini, buat jajan kamu dan kawan-kawanmu!" katanya kasar.
"Goblok! Terima!" Ragu-ragu aku menerima pemberiannya.
"Lho, apalagi? kurang?" Dia merogoh lagi sakunya dan memberikan lagi uang receh kepadaku. "Sekarang minggat!" teriaknya kemudian mengejutkanku. "Cepat minggat! Monyet kecil!!!" Aku pun berlari meninggalkannyaa. Ngeri, tapi senang juga mendapat uang jajan yang cukup untuk menraktir kawan-kawan ke warung pecel De Karmonah. Ada baiknya juga orang sangar ini.
***
Sudah menjadi kebiasaan, pada bulan Maulud (Rabi'ul Awwal) Ayah mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di aula pesantrennya. Dulu acaranya sederhana saja. Tidak ada ceramah-ceramah seperti sekarang. Hanya berzanjenan, membaca syair-syair madah Al-Banzanji-nya Syeikh Jakfar Al-Barzanji, untuk mengenang dan memuji Rasulullah SAW. Orang-orang bergiliran membaca dengan lagu yang berbeda-beda. Ada yang irama dan nadanya seperti lagu India, ada yang seperti lagu Melayu, ada lagu padang pasir, dsb. Bahkan ada yang menembak irama lagu Pengantin Baru. Kalau lagunya agak sulit, orang-orang yang "koor" mengikutinya agak kerepotan juga. Biasanya ada grup rebana yang mengiringi.
Dalam acara semacam ini Ndara Mat Amit tidak pernah absen hadir dengan pakaian kebesarannya yang khas: sarung plekat, jas yang berkantong besar; peci torbus merah, dan sepatu dengan kaos kaki tebal. Dia kelihatan paling bersemangat menyahuti syair-syair yang dilagukan. Seperti sosoknya, suaranya juga paling menonjol. Keras, sember; dan sumbang; membuat anak-anak muda menahan senyum dan anak-anak kecil cekikikan campur takut. Tidak seperti biasanya, dalam acara seperti itu, Ndara Mat Amit tidak peduli; dia tetap asyik menyahuti shalawat Nabi dengan serius dan sepenuh hati.
Sampai suatu ketika, pada acara Mauludan seperti itu terjadi peristiwa yang menarik. Pada saat asyraqalan, di mana semua yang hadir berdiri sambil melantunkan shalawat mulai dari Thala'al Badru 'alainaa ... Ndara Mat Amit tampak menunduk-menunduk sambil menangis meraung-raaung. Sementara di bagian lain terlihat pemandangan yang serupa: Pak Min, kusir dokar yang biasa mengantar Ayah bila bepergian agak jauh, juga menunduk-menunduk sambil menangis, meski tidak sekeras Ndara Mat Amit. Tentu saja sikap kedua orang itu menarik perhatian sekalian yang hadir. bahkan setelah selesai acara berzanjenan, pada waktu acara makan bersama, kulihat Ayah mendekati Pak Min dan menanyainya, "Kang Min, tadi waktu asyraqalan aku lihat kamu kok menunduk-nunduk sambil menangis. Mengapa?"
"Lho, apa Kiai nggak pirso tadi itu Kanjeng Nabi rawuh?" Kang Min balas bertanya sambil berbisik.
"Lho, masak iya, Kang Min?" ayah seperti kaget. "Aku kok nggak melihat."
"Kusir samber gelap!" tibaa-tiba suara geledek Ndara Mat Amit menyambar. "Begitu saja ente pamer-pamerkan, Min, Min! Dasar kusir kucing kurap!"
"Siapa yang pamer, Yik (Yik berasal dari Sayyid = panggilan untuk orang Arab di Jawa)?" sahut Pak Min. "Aku kan ditanya Kiai. Memangnya aku mesti diam saja ditanya Kiai?"
"Kusir tengik, tak tahu malu!"
"Kau ini, Yik, yang tak tahu malu!" sergah Pak Min dengan berani, membuat orang-orang tercengang. "Dari dulu nggak capek-capeknya pakai topeng monyet. Sudahlah, Yik, yang wajar-wajar saja! Untuk apa pakai topeng segala! Ente pikir, dengan pakai topeng monyet begitu ente bisa menyembunyikan diri ente? kusir dokar saja tahu siapa ente sebenarnya."
Orang-orang mengira Ndara Mat Amit akan meradang dan menerkam atau setidaknya menyumpahi Kang Min habis-habisan. Ternyata tidak. Ndara kita ini malah menunduk dan tak lama kemudian, "Assalamu'alaikum!" katanya memberi salam kepada semua, dan --lho!-- ditinggalkannya majlis begitu saja.
Dari kejauhan masih terdengar lamat-lamat umpatannya, "Kusir edan!"
Sejak itu, Ndara Mat Amit menghilang. Tak pernah lagi datang ke kota kami.
Demikian pula Pak Min. tak lama setelah kepergian Ndara Mat Amit, Pak Min pamit kepada Ayah dan menyerahkan dokar dan kudanya. Katanya mau pulang ke desanya, tapi setelah itu tak pernah kembali.
"Dua orang itu," kata Ayah saat aku mintai penjelasan, "Sayyid Muhammad Hamid --yang dikenal sebagai Ndara Mat Amit-- dan Kiai Mukmin --yang biasa dipanggil Pak Min atau Kang Min-- sebenarnya sama-sama memakai topeng. Artinya keduanya ingin menyembunyikan diri mereka yang sebenarnya agar tidak dikenali orang. Keduanya ingin tampak awam, bahkan hina, di depan umum. Yang satu dengan berlagak kasar tak tahu sopan; yang satunya lagi bersembunyi dalam pekerjaannya sebagai kusir. Dulu banyak orang saleh yang menyembunyikan diri seperti itu, bahkan ada yang berpura-pura gila. Ada yang melakukan hal itu karena khawatir didekati penguasa; ada yang tak mau kehilangan kenikmatan sebagai hamba yang papa di hadapan Allah; ada juga yang semata-mata karena takut hatinya terserang ujub."
"Tapi, seperti kau ketahui, takdir mempertemukan kedua tokoh bertopeng itu dan tanpa sadar topeng-topeng mereka terlepas. Keistimewaan mereka pun terlihat oleh kita. Kamu lihat waktu berzanjenan itu: dari sekian banyak kiai, tak ada seorang pun yang melihat kehadiran Rasulullah, juga Ayah. Hanya mereka berdua. Itu, waAllahu a'lam, merupakan tanda bahwa hati mereka memang bersih. hanya mereka yang mempunyai hati bersih, yang dapat melihat alam malakut dan roh suci nabi. Ayah yakin mereka berdua tak akan pernah kembali kemari, selamanya. Wali mastur, yang menyembunyikan kesalehannya, selalu menghilang bila ketahuan umum."
Rembang, 3 Ramadan 1423
Berkah dari Gus Mus, Lukisan Kaligrafi; Kumpulan Cerpen A. Mustofa Bisri (Jakarta: Kompas, 2008), 87-93.
0 comments:
Posting Komentar